Prolog

26 2 0
                                    


Jalan  Pasundan
Berjalan menembus jarak 3 kilometer, derap langkah kaki Almahyra terus berpacu. Tak peduli peluh yang membasahi wajahnya yang mulai sayu. Napasnya memburu, irama jantung berdetak tak menentu. Tas ransel yang menempel di punggungnya cukup berat seperti menggendong kumpulan batu.

Ia letih. Dirinya luruh di dekat persimpangan jalan. Sudah seperti gelandangan yang tak punya arah pikiran. Tasnya ia hempaskan kasar ke bawah. Jika tak terkontrol jiwa raganya, ingin ia berlari ke tengah jalan raya lantas mengakhiri hidupnya. Tapi, ia takut mati dengan tragis. Secercah cahaya masih bertengger di hatinya, ada orang yang mungkin masih menunggunya untuk bangkit kembali. Ada.  Almahyra yakin itu.

Keraguan seringkali menyergap, sebenarnya untuk apa dirinya bertahan?
Tak lain untuk mengejar mimpinya menjadi seorang sarjana hukum, bukan?
Almahyra paham, itulah yang patut diperjuangkan mati-matian sebagai manifestasi janji masa kecilnya.

Lantas gadis itu menatap lalu lalang kendaraan. Andai ia menemukan ayahnya di salah satu pengemudi kendaraan, serasa ingin berlari lalu mengambrukkan  peluk rindunya. Menumpahkan segala resah yang sudah bermetamorfosa menjadi duri lara.

“Oh ayah, andai engkau tahu betapa terlukanya dirimu ketika melihat putrimu berjalan tertatih merintih menahan pedih” bisik Almahyra dengan hati perih.

Teringat kata-kata terakhir ayahnya sebelum pergi ke Jakarta,

“Hyra, berbakti sama ibu di rumah ya,”

Lidahnya mendadak kelu, tenggorokannya mengering. Hatinya panas.

Betapa dirinya sangat merindukan sosok ayahnya.

Trapesium AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang