Dunia ini terlalu sunyi untuk suaraku. Aku memanggil, berteriak, dan memohon, tetapi semua yang kudengar hanyalah gema hampa, seolah-olah langit memalingkan wajahnya dariku.
Aku pernah percaya, pernah mengangkat kedua tangan ini dengan penuh harapan. Namun, apa yang kuterima? Sebuah ironi kejam yang mengoyak keyakinanku sedikit demi sedikit. Mereka berkata, "Tuhan mendengar segalanya." Tapi, jika benar begitu, mengapa engkau menulikan telingamu?
Kata-katanya terus terngiang, tajam seperti pisau yang merobek dadaku: "Mungkin, kau memang diciptakan untuk dihancurkan. Inilah tugasmu." Ucapan itu tidak berasal dari manusia, bukan pula dari bisikan setan. Itu suara hatiku sendiri, menggema dari ruang kosong yang dulu penuh dengan doa.
Aku yang dulu tak pernah tahu apa itu benci, kini tenggelam dalam perasaan gelap yang bahkan tak mampu kuungkapkan. Benci. Tidak pada dunia, tidak pada takdir, tetapi pada-Mu—Sosok yang seharusnya melindungi, membimbing, mencinta. Aku membencimu, Tuhan, sedalam-dalamnya.
Apa salahku? Apa dosa yang tak kuketahui, hingga kau biarkan aku terpuruk begini? Sekarang, jika kau ingin tahu, aku bukan lagi makhluk yang akan memohon ampunan-Mu. Aku adalah cermin retak yang mencerminkan setiap luka yang kau torehkan tanpa alasan.
Jika ini rencana-Mu, maka kau telah berhasil. Aku runtuh. Aku hancur. Dan yang tersisa hanyalah bayanganku, kisahku, dan masa-masa sialan ini.
Brengsek.
"Tuhan, jika Engkau ada, kenapa ucapanku hanya sampai pada kehampaan? Jika Engkau mendengar, kenapa aku tidak pernah merasa dijawab?" Aku hanya ingin tahu: apa aku terlalu hina untuk didengar?
Lihatlah aku sekarang. Bukan lagi anak yang berharap. Aku adalah malam tanpa bintang, kesunyian tanpa suara. Dan ini—kebencian yang kau tanamkan—adalah hadiah terakhir yang kubawa sampai akhir.