Btw, aku baca novel belakangan, dengan sebelumnya baca versi komiknya, yang sialnya belum update setelah berbulan-bulan.
Satu cerita yang sama, dengan 'feel' yang berbeda. Dalam komik suasananya digambarkan kelam dengan pemilihan warna dasar gelap, tapi perasaan si tokoh utama ga sampai. Sedangkan dalam novel itu sungguh terasa. Bukan sesuatu yang membuat kita frustasi, tapi merasa kasihan. Perasaan seperti dia memendam rasa sakit yang begitu dalam sampai si tokoh utama ga sadar.
Bahkan adegan intim pun terasa berbeda. Dalam komik itu hanya terasa 'intim' dengan bumbu rasa sakit. Tapi dalam novel itu terasa seperti pelepasan rasa sakit, kefrustasian, penyesalan. Detail sama, namun terasa berbeda. (Ini adegan yg cuma bisa dibaca orang dewasa. Anak kecil ga usah ikutan)
Perasaan itu bukan sesuatu yg dipelajari, tapi dirasakan. Ga ada tekhnik khusus.
Dulu sebelum depresi, aku susah buat cerita sedih. Tapi setelah depresi, pikirannya malah sedih melulu. Ternyata sisi positif depresi itu gimana kita jadi memahami kesedihan itu sendiri. Karena itu, kisah dalam novel dan komik itu punya perasaan yang berbeda, karena yang membuatnya dua orang yang berbeda. Dan dua orang itu punya pemahaman yang berbeda soal rasa sakit.
Untuk hal ini, aku ga menyesali rasa sakit karena merasa ini seperti sebuah pengalaman baru. Dunia baru. Terima rasa sakitmu. Peluk mereka, lalu tulis, seperti aku yang menulis "The Last Letter" dan kejang-kejang ternyata banyak yang suka.
Oke. Sekian kicauan burung onta ini. Selamat petang!