Orang-orang pasti punya satu ruang. Di mana ia akan menangis, berteriak, mengacak-acak segala isi hati dan kepalanya. Alasannya hanya satu. Benar-benar hanya satu; tiada lagi selain mencurahkan segala rasa yang meluap, tapi benar-benar tak bisa diutarakan dengan sebenar-benarnya.
-
Dilihat dengan mata, perasaan itu tak nyata. Tapi dengan hati, bisa terlihat dengan sempurna. Namun yang tahu dan bisa melihatnya, hanya pemiliknya. Kamu tidak tahu, mereka tidak tahu, apa lagi ia; satu-satunya alasan mengapa rasa itu bisa hadir dan dapat membuat pemilik rasa gundah gulana.
-
Sudah lelah sejatinya. Sudah pasrah semestinya. Menahan segalanya tanpa ada yang tahu. Tanpa ada yang mau tahu. Bukan tak ingin meneriakkan segalanya pada semesta. Tapi hanya takut apabila suaranya akan memantul, menggema, namun akan menghasilkan suara yang lainnya. Takut mengganggu. Takut membawa petaka. Takut ini, dan takut itu. Serta masih takut-takut yang lain. Yang tak bisa disebutkan hingga takut yang terakhir.
-
Seharusnya yang kemarin adalah yang terakhir. Mengucap namamu dalam pikir dan hati. Tapi lagi-lagi hati ingkar. Hati memang selalu tak kuat menahan janji. Terlebih janji yang dibuat sendiri. Pada akhirnya, air hujan kembali turun. Mengalir tanpa ada jemari yang ingin membantu menghapus. Bahkan jemari sendiri sudah enggan menghilangkan air itu dari pipi berwarna sawo matang itu. Mungkin jemari itu sudah lelah menghapusnya. Karena ketika dihapus, lagi-lagi air itu jatuh lagi, mengalir lagi, sampai jemari saja lelah menghapusnya. Sampai mata saja lelah untuk memejam dan menahan segalanya agar tak tumpah ke bumi.
-
Semua raga takut. Semua anggota tubuh takut. Semesta pula takut. Akan satu hal yang bisa menghancurkan segalanya. Hanya sesuatu, hanya satu, yaitu perasaan.
-
Sabtu, 19/04/20