GusmiatiGusmiati

Untuk cinta yang tak pernah sudah,
          	Untuk luka yang tak pernah sembuh 
          	Untuk mu yang tetap saja menguasai akal
          	Untuk aku yang tak pernah sadar, bahwa tak selamanya pengharapan akan terwujud. 
          	Kala itu putih Dongker bebicara. 
          	Indaah. . . . .
          	Sejuk. . . . 
          	Bahagia. .  .  
          	Tangis, pecah. Kita membenci perpisahan 
          	Lalu kembali tertemukan 
          	Kita kembali merajut semua, kembali meniti semua
          	Berbagai puing dikala itu yang sempat kau lupakan kembali kau susun 
          	Dan kini kembali kau ucapkan, jarak bukan halangan. 
          	Tidak kah tuan berfikir 
          	Puan benci perpisahan tak cukup kah kala itu menjadi lara? Belum puaskah kala itu menjadi luka? 
          	Kita sempat sembuh, sempat memilih lain hati sebelum kembali pada satu hati. 
          	Sadar tuan, saya membenci kehilangan.
          	Saya membenci luka. 
          	Saya lara, saya luka. 

GusmiatiGusmiati

Untuk cinta yang tak pernah sudah,
          Untuk luka yang tak pernah sembuh 
          Untuk mu yang tetap saja menguasai akal
          Untuk aku yang tak pernah sadar, bahwa tak selamanya pengharapan akan terwujud. 
          Kala itu putih Dongker bebicara. 
          Indaah. . . . .
          Sejuk. . . . 
          Bahagia. .  .  
          Tangis, pecah. Kita membenci perpisahan 
          Lalu kembali tertemukan 
          Kita kembali merajut semua, kembali meniti semua
          Berbagai puing dikala itu yang sempat kau lupakan kembali kau susun 
          Dan kini kembali kau ucapkan, jarak bukan halangan. 
          Tidak kah tuan berfikir 
          Puan benci perpisahan tak cukup kah kala itu menjadi lara? Belum puaskah kala itu menjadi luka? 
          Kita sempat sembuh, sempat memilih lain hati sebelum kembali pada satu hati. 
          Sadar tuan, saya membenci kehilangan.
          Saya membenci luka. 
          Saya lara, saya luka. 

GusmiatiGusmiati

Ketika sang bumi merindukan hujan, ketika semesta tak mengizinkan. 
          Ketika kita harus saling merelakan, sabar siapa yang paling dalam?
          Kau yang terlalu ikhlas mengabaikan? Atau aku terlalu sabar menunggu? 
          Tak ada kata pantas dalam perpisahan, tak ada kata takdir dalam sebuah penghianatan. 
          Jangan terlalu asing untuk masa silam, sebab kita pernah disana. 
          Bukan kah dahulu kita sama sama merindukan hujan? Sama sama menikmati jingga yang kata nya sama dipelopak mata? 
          Tertawa bersama menikmati bintang yang kian malam kian hilang? Karna egois nya tuan merenggut semua didalam kornea. 
          Kita sesederhana itu dahulu, secangkir berdua.
          Terimakasih tuan.