Untuk cinta yang tak pernah sudah,
Untuk luka yang tak pernah sembuh
Untuk mu yang tetap saja menguasai akal
Untuk aku yang tak pernah sadar, bahwa tak selamanya pengharapan akan terwujud.
Kala itu putih Dongker bebicara.
Indaah. . . . .
Sejuk. . . .
Bahagia. . .
Tangis, pecah. Kita membenci perpisahan
Lalu kembali tertemukan
Kita kembali merajut semua, kembali meniti semua
Berbagai puing dikala itu yang sempat kau lupakan kembali kau susun
Dan kini kembali kau ucapkan, jarak bukan halangan.
Tidak kah tuan berfikir
Puan benci perpisahan tak cukup kah kala itu menjadi lara? Belum puaskah kala itu menjadi luka?
Kita sempat sembuh, sempat memilih lain hati sebelum kembali pada satu hati.
Sadar tuan, saya membenci kehilangan.
Saya membenci luka.
Saya lara, saya luka.