HanifPradana

Di dalam relung hati yang terdalam,
          	Kenangan bersamamu terpatri indah.
          	Tujuh tahun berlalu, kini berat bagai timbangan,
          	Ingin ku melupakanmu, namun tak mudah bagai angan.
          	
          	Setiap jalan yang ku lalui,
          	Senyummu masih menghiasi pikiran ini.
          	Namun ku harus melangkah, meninggalkan bayangmu,
          	Meski hati ini terasa pilu.
          	
          	Kisah yang kita tulis bersama,
          	Bagai lukisan indah di alam semesta.
          	Namun kini ku mencoba, mencari jalan baru,
          	Melupakanmu, meski hati masih terus memburu.
          	
          	Pada tiap senja yang melabuhkan senyum,
          	Kenangan kita masih menghiasi pelupuk mata.
          	Namun ku ingin menghapusnya, menjauh dari ingatan,
          	Agar hati ini dapat kembali tersenyum tanpa belenggu.
          	
          	Tujuh tahun bersamamu, berharga dalam cerita,
          	Namun kini ku hadapi kenyataan yang berat.
          	Ingin ku melupakanmu, meraih bahagia yang baru,
          	Meski sulit, ku berusaha tuk hadapi dunia tanpa ragu.
          	
          	Kini biarkanlah aku melangkah perlahan,
          	Mengubur kenangan bersamamu dalam hati yang dalam.
          	Meski terasa sakit, aku akan terus berusaha,
          	Melupakanmu, untuk kembali menemukan cinta yang sejati.
          	
          	Demikianlah puisi yang kutulis dalam penantian,
          	Untuk melupakanmu, dalam perjalanan hidup yang panjang.
          	Tujuh tahun berlalu, kini ku hadapi kenyataan,
          	Bahwa kita harus berpisah, dan aku harus melupakanmu, sayang.

HanifPradana

Di dalam relung hati yang terdalam,
          Kenangan bersamamu terpatri indah.
          Tujuh tahun berlalu, kini berat bagai timbangan,
          Ingin ku melupakanmu, namun tak mudah bagai angan.
          
          Setiap jalan yang ku lalui,
          Senyummu masih menghiasi pikiran ini.
          Namun ku harus melangkah, meninggalkan bayangmu,
          Meski hati ini terasa pilu.
          
          Kisah yang kita tulis bersama,
          Bagai lukisan indah di alam semesta.
          Namun kini ku mencoba, mencari jalan baru,
          Melupakanmu, meski hati masih terus memburu.
          
          Pada tiap senja yang melabuhkan senyum,
          Kenangan kita masih menghiasi pelupuk mata.
          Namun ku ingin menghapusnya, menjauh dari ingatan,
          Agar hati ini dapat kembali tersenyum tanpa belenggu.
          
          Tujuh tahun bersamamu, berharga dalam cerita,
          Namun kini ku hadapi kenyataan yang berat.
          Ingin ku melupakanmu, meraih bahagia yang baru,
          Meski sulit, ku berusaha tuk hadapi dunia tanpa ragu.
          
          Kini biarkanlah aku melangkah perlahan,
          Mengubur kenangan bersamamu dalam hati yang dalam.
          Meski terasa sakit, aku akan terus berusaha,
          Melupakanmu, untuk kembali menemukan cinta yang sejati.
          
          Demikianlah puisi yang kutulis dalam penantian,
          Untuk melupakanmu, dalam perjalanan hidup yang panjang.
          Tujuh tahun berlalu, kini ku hadapi kenyataan,
          Bahwa kita harus berpisah, dan aku harus melupakanmu, sayang.

HanifPradana

Dalam Cahaya Doamu
          Karya Hanif Pradana
          
          Dulu aku hanyalah bayang-bayang yang tersembunyi, Terombang-ambing dalam gelombang waktu yang tak menentu. Namun takdir Allah mengarahkanku pada sebuah cahaya, Yaitu doamu yang lembut, yang menghidupkan jiwa yang layu.
          
          Kau adalah bintang di malam gelapku, Yang sinarnya menuntunku ke arah yang benar. Dalam doamu, aku menemukan kekuatan, Untuk mengubah jalan hidupku, menjadi lebih baik, lebih terang.
          
          Aku kini merasakan perubahan yang mendalam, Seperti embun pagi yang menyegarkan bumi. Takdir Allah telah mengarahkan langkahku, Untuk terus berada dalam doamu, menyerap setiap doa yang tulus.
          
          Kau telah menanamkan harapan di hatiku, Yang tumbuh subur menjadi tekad untuk berubah. Dalam setiap lafaz doa yang kau panjatkan, Aku menemukan alasan untuk melangkah lebih jauh, lebih kuat.
          
          Jangan pernah ragu, bahwa setiap doa yang kau ucap, Menjadi cahaya yang membimbingku di tengah kegelapan. Aku berjanji, akan terus berkembang dan menjadi lebih baik, Sebagai wujud syukurku atas cinta dan doa yang kau berikan.
          
          Di bawah naungan takdir Allah, aku melangkah penuh harapan, Dengan keyakinan bahwa aku akan terus tumbuh dalam doamu. Dalam setiap langkahku, aku bawa serta doa itu, Sebagai pengingat bahwa aku bukan hanya hidup untuk diriku, tapi juga untukmu.
          
          Tegal, 2024

HanifPradana

Harapan dalam Takdir
          Karya Hanif Pradana
          
          Di bawah langit yang sama, kita berpijak, Namun jarak telah memisah, sebuah pelajaran pahit. Kau jauh di sana, di belahan dunia yang berbeda, Sementara aku di sini, menunggu dalam doa dan harapan.
          
          Kau adalah bintang di malam gelapku, Cahaya yang membimbing, meski tak terlihat jelas. Kita telah terpisah oleh jalan yang berbeda, Namun hati ini tetap bersandar pada takdir yang tak tergenggam.
          
          Setiap detik yang berlalu, aku mengirimkan doa, Semoga Allah mendengar, dan mengabulkan harapan kita. Jika ini adalah jalan yang ditentukan-Nya, Biarlah Dia menyatukan kembali, dalam rencana-Nya yang indah.
          
          Aku percaya pada kekuatan takdir dan cinta, Bahwa dalam setiap langkah dan keputusan, Tersimpan rahasia Allah yang penuh berkah, Yang akan menyatukan kita kembali, jika itu yang terbaik.
          
          Jadi, aku menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, Dengan harapan yang tak pernah pudar oleh waktu. Sampai saat itu tiba, di hari yang indah, Saat kita bertemu kembali, di bawah takdir-Nya yang agung.
          
          Tegal, 2024 

HanifPradana

Aku cuman mau menulis.
          Dengan semerbak wangi bunga di malam hari.
          Tinta yang berani mencoret kertas putih dan tertulis sajak indah tanpa senyummu di samping.
          Tulisan ini tentang suara hati yang tak berani berucap karena telah luput oleh hening.
          
          Sejak saat itu, aku hanya terdiam.
          Dan memulai memanjakan mata.
          Tuk tidak menoleh terlalu lama.
          Sebab, semesta masih mau memberiku beribu-ribu kejutan.
          
          Tegal, 4 Juni 2023

HanifPradana

Prolog
          The Beginning Of The Story
          
          aku berpikir dapat merubah semuanya, namun ternyata aku tidak dapat menyamakan seperti keputusan takdir.
          Tuhan selalu mempunyai rencana lain, dan Dialah yang mengetahui jejak langkah ke depan jauh dari pada perkiraanku.
          sekedar prediksi hanya akan memuai kenestapaan, bukan berujung pasrah namun tidak mau bertindak yang nanti akan berakhri sama.
          
          aku adalah aku, dan aku adalah penulis dari sebuah kisah di mana ku memulai untuk meurai peristiwa yang aku alami.
          sejengkal demi sejengkal, selarik demi selarik, tak apa meski tak selaras, setidaknya kertas ini tak akan pernah kosong.
          karena kekosongan telah dimiliki oleh hati yang bimbang akan takdir.
          
          aku mulai memutar musik sembari jemari ini menari untuk mengetik.
          dengan begitu, aku dapat mengawali prolog kisah ini dengan asyik.
          meski tanpa mesin ketik, tapi pikiran dan hati telah berkutik.
          tulisan kisah yang  ditemnai oleh rintik.
          
          Kota Tegal, 30 Maret 2023

HanifPradana

Di malam itu aku merasa takut. 
          Karena gak ada kamu di sisiku. 
          Meski suaramu yang tunggu. 
          Tak sejengkal telinga ini mendengar guraumu. 
          
          Kau pikir ini hanya candaan. 
          Tapi aku hanya ingin mendengar. 
          Ucapkanlah sesuatu untuk mengetuk. 
          Supaya hati berhenti untuk menggerutu. 
          
          Denting nada tinggi telah menurun. 
          Supaya engkau tau. 
          Betapa dewasanya aku memahamimu. 
          Betapa sabarnya aku mengerti tentang kamu.

HanifPradana

Bolehkah aku memetik rindu di sana, agar aku juga merasakannya. 
          Bolehkah aku mengoyak sedikit luka, agar aku merasakan sedih di sana. 
          Bolehkah aku sedikit tersenyum, agar aku merasakan bahagia. 
          Bolehkah aku sedikit diam, agar tau rasanya dicampakkan begitu saja.