Hanuwu

"Kita berpisah dengan cara yang baik."
          	
          	
          	Haniva menengadah menatap pria di hadapannya. Matanya memicing, sejurus dengan kedua tangannya yang terkepal. "Baik-baik saja, katamu? Biar kuulang. Kau bilang, kita berpisah dengan cara yang baik?"
          	
          	
          	Heeseung mengangguk, meneguk blue moonnya pelan-pelan. "Kita berpisah dengan cara yang baik, Haniva. Kau yang memilih menyudahi hubungan kita dan aku menerimanya sebab tidak ada lagi yang dapat dipertahankan."
          	
          	
          	"Tidak ada yang bisa dipertahankan atau memang kau tidak ingin mempertahankannya?"
          	
          	
          	Haniva tersenyum kecut. Tegukan margaritanya nyaris tidak sekuat tadi. Menjadi suatu kepuasan tersendiri baginya melihat Heeseung mati kutu, persis tikus basah di got. 
          	
          	
          	"Dengar." Heeseung meletakkan gelas blue moonnya keras, mengetuk permukaan meja Untuk merampas atensi Haniva. "Kau yang membuat segalanya menjadi mungkin. Jika kau berpikir aku tidak ingin mempertahankanmu, untuk apa aku aku memohon padamu supaya kau tidak pergi ke Nevada? Kau keras kepala. Kau yang memaksa pergi dan mengorbankan segalanya. Jika kau ingin bermain-main dengan ambisi..."
          	
          	
          	Tubuh Haniva menegang, nyaris gemetar ketika Heeseung mempertegas segalanya. Gelas Margarita di tangannya hampir melayang, tapi ia masih menahannya. Takut dan bimbang menjadi satu. Perlahan tubuhnya mulai menggigil. 
          	
          	
          	Oh, ya ampun, kemana Heeseung yang dikenalnya dulu? Yang menjadi jaket kesukaannya ketika ia menggigil ketakutan? Haniva menggigit bibir bawahnya. 
          	
          	
          	Sepasang netra Heeseung berkabut penuh kecewa. "Jika kau ingin bermain-main dengan ambisi, aku bukanlah pria yang tepat, Haniva."

Hanuwu

Cerita ini saya buat karna saya stress, jadi maklumin kalau gak jelas banget (emot julid)
Reply

Hanuwu

"Kita berpisah dengan cara yang baik."
          
          
          Haniva menengadah menatap pria di hadapannya. Matanya memicing, sejurus dengan kedua tangannya yang terkepal. "Baik-baik saja, katamu? Biar kuulang. Kau bilang, kita berpisah dengan cara yang baik?"
          
          
          Heeseung mengangguk, meneguk blue moonnya pelan-pelan. "Kita berpisah dengan cara yang baik, Haniva. Kau yang memilih menyudahi hubungan kita dan aku menerimanya sebab tidak ada lagi yang dapat dipertahankan."
          
          
          "Tidak ada yang bisa dipertahankan atau memang kau tidak ingin mempertahankannya?"
          
          
          Haniva tersenyum kecut. Tegukan margaritanya nyaris tidak sekuat tadi. Menjadi suatu kepuasan tersendiri baginya melihat Heeseung mati kutu, persis tikus basah di got. 
          
          
          "Dengar." Heeseung meletakkan gelas blue moonnya keras, mengetuk permukaan meja Untuk merampas atensi Haniva. "Kau yang membuat segalanya menjadi mungkin. Jika kau berpikir aku tidak ingin mempertahankanmu, untuk apa aku aku memohon padamu supaya kau tidak pergi ke Nevada? Kau keras kepala. Kau yang memaksa pergi dan mengorbankan segalanya. Jika kau ingin bermain-main dengan ambisi..."
          
          
          Tubuh Haniva menegang, nyaris gemetar ketika Heeseung mempertegas segalanya. Gelas Margarita di tangannya hampir melayang, tapi ia masih menahannya. Takut dan bimbang menjadi satu. Perlahan tubuhnya mulai menggigil. 
          
          
          Oh, ya ampun, kemana Heeseung yang dikenalnya dulu? Yang menjadi jaket kesukaannya ketika ia menggigil ketakutan? Haniva menggigit bibir bawahnya. 
          
          
          Sepasang netra Heeseung berkabut penuh kecewa. "Jika kau ingin bermain-main dengan ambisi, aku bukanlah pria yang tepat, Haniva."

Hanuwu

Cerita ini saya buat karna saya stress, jadi maklumin kalau gak jelas banget (emot julid)
Reply

Hanuwu

"Seseorang pernah mengatakan bahwa amulet memiliki bentuk menyerupai manusia. Tapi mereka tidak benar-benar manusia."
          
          
          Sunghoon mengangkat kepalanya. Jarak beberapa kursi darinya, Amanda bercerita heboh kepada 2 temannya. Noi dan Mutiara. Suaranya terdengar lantang, gayanya menggebu-gebu.
          
          
          "Mereka memang kelihatan seperti manusia biasa, tapi mereka tidak makan makanan manusia..."
          
          
          Sunghoon melirik piringnya. Daging sapi tumis di piringnya beraroma sangat busuk untuknya. Sementara sayur-sayur di sekelilingnya terlihat begitu menjijikan di matanya. Ia ingin muntah, tapi tidak ada yang bisa dimuntahkan.
          
          
          "Mereka mengambil sari-sari kehidupan makhluk lain. Istilah lainnya, mereka mengambil energi jiwa makhluk lain..."
          
          
          Sunghoon menopang dagu. Tukang bicara seperti Amanda selalu bisa membuat orang lain mendengarnya dengan seksama dan berhasil membangun situasi, meski struktur ceritanya agak aneh. Lucu sekali.
          
          
          "Pohon yang energinya diambil oleh amulet, akan layu dan mati dalam hitungan detik. Hewan yang energinya diambil oleh amulet, akan lemah dan mati dalam hitungan menit. Manusia yang energinya diambil oleh amulet, akan menua dan ringkih, kemudian mati dalam beberapa jam..."
          
          
          Ia masih memerhatikan Amanda. Televisi di kafetaria masih menayangkan perihal kasus kematian seorang tuna wisma tanpa adanya tanda-tanda kekerasan fisik dan sakit.
          
          
          "Bukankah itu sangat mengerikan? Mereka dapat berubah menjadi hewan yang sangat lucu dan meminta belas kasihan, tapi saat kita tidak menyadarinya, mereka akan mengambil energi dalam jiwa kita dan membuat kita mati mengenaskan!"

Hanuwu

@ Hanuwu  Sunghon berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah meja Amanda. Senyumnya terulas tinggi. Ia mengetuk meja, merebut atensi Amanda yang masih ingin memperpanjang cerita.
            
            
            Amanda tersenyum ramah. "Oh, halo Sunghoon. Bagaimana makan siangmu?" Tanyanya berbasa-basi.
            
            
            "Tidak terlalu enak. Dagingnya terasa agak aneh." Sunghoon mengangkat bahunya, melempar lirikan sejenak pada piring makanan di mejanya. Ia mengulurkan tangannya pada Amanda. "Kau mau makan siang di tempat lain bersamaku? Akan kutraktir," katanya.
            
            
            Amanda menyambut tangannya ramah. Ia tersenyum kian tinggi dan membawa Amanda bersamanya setelah berpamitan basa-basi pada kedua teman Amanda.
            
            
            Sudah kuduga, jiwa orang-orang baik adalah sesuatu yang menyegarkan, pikirnya
            
            
            Konon katanya, manusia yang mati karena jiwanya menjadi makanan amulet, akan bangkit dari kematian mereka 49 hari setelah kematian dengan wujud baru. Sebagai sesama amulet. Dan ia cenderung akan meniru amulet yang menjadikan jiwa hidupnya dulu sebagai makanan.
            
            
            Dan Sunghoon meniru apa yang Heeseung lakukan padanya 129 tahun lalu.
            
            
            Dengan menggenggam tangan dan tersenyum laksana malaikat, ia menawarkan pahitnya kematian.
Reply

Hanuwu

"Kemana Hyunjin?"
          
          
          Jay menoleh ke samping. Mutiara tersenyum padanya sekilas, kemudian sibuk menatapi danau luas di hadapannya. "Sepertinya sedang menenangkan diri. Belakangan ini, dia dikejar-kejar anak-anak Aphrodite. itu pasti sulit sekali."
          
          
          "Di dalam danau sana?" Mutiara menunjuk ke depan, kemudian mendudukkan dirinya di samping Jay. "Aku ingin sekali mencoba menenangkan diri di dalam air. Tapi bukannya bisa berpikir dengan tenang, sepertinya aku akan kehabisan napas. Putra Poseidon cara menenangkan dirinya unik sekali ya?" 
          
          
          Jay mencuri pandang ke samping. Para Siren di danau mulai menyanyi. Sebentar lagi Hyunjin pasti muncul sambil mendumel. "Kau mau mencobanya?"
          
          
          "Kau mau aku mati kehabisan napas?"
          
          
          "Tidak akan. Dengan ini." Jay mengangkat sebuah selang kecil. Yang sebenarnya itu milik Taehyun untuk membuat sebuah robot yang bisa digunakan untuk menyelinap ke pondok-pondok lain.
          
          
          Mutiara mendesis. "Kau pasti bercanda."
          
          
          "Apakah aku terlihat seperti bercanda?"
          
          
          "Jay, itu tidak masuk akal."
          
          
          "Kalau begitu, ayo kita buktikan."
          
          
          Kemudian Mutiara menjerit ketika Jay mengangkat tubuhnya seperti mengangkat karung beras dan menceburkannya ke dalam danau, membuat para Siren mendesis tidak senang karena nyanyian indah -tapi maut- mereka diganggu.
          
          
          Mutiara hampir tenggelam. Demi Zeus, ia tidak bisa berenang dan ia tidak bisa bernapas dalam air!
          
          
          "Tidak bisakah hidupku tenang sehari saja? Jadi anak Poseidon sudah cukup buruk bagiku. Ditambah dengan anak-anak Aphrodite, suara Siren yang berisik sekali, dan sekarang kenapa saudaraku malah bermesraan di dalam air? Zeus, hukum putramu. Demi kecantikan Andromeda, aku membencinya!"
          
          
          Itu Hyunjin, yang meraung murka ketika Mutiara dan Jay jatuh ke dalam danau bersamaan. Dengan kaki Jay yang menendang wajah rupawannya.

Hanuwu

"Biarkan aku menebak, kau pasti putra Kronos?"
          
          Beomgyu berhenti berhenti bermain-main dengan bulu merak di tangannya. "Apakah aku terlihat seperti salah satu dari tiga dewa terkuat?"
          
          Gadis berambut hitam dengan paras rupawan itu menggeleng. "Tidak, tentu saja bukan. Tapi kau benar-benar putra Kronos, kan?"
          
          
          Beomgyu membuang wajahnya. Apa semua anak-anak Aphrodite itu hanya berparas rupawan, tapi tidak pintar? Sepertinya tidak. Jiheon juga anak Aphrodite, dan dia memikat Jisung putra Ares dengan kecerdasannya meski parasnya juga tidak kalah rupawan dari para saudara dan saudarinya.
          
          
          "Aku Noi, putri Aphrodite."
          
          
          Beomgyu memalingkan wajah, tampak tidak peduli. "Berkenalanlah denganku saat kau sudah bisa mengeja dengan baik nama ayahku."
          
          
          "Kronos. Apakah itu salah?"
          
          
          Helaan napas berat timbul dari bilah bibir Beomgyu. "Kutanya padamu, apakah aku terlihat seperti Hades? Atau Poseidon? Atau mungkin menyerupai Zeus?"
          
          
          Rambut hitam gadis itu bergerak tatkala ia menggeleng. "Mengapa bertanya begitu? Kau tidak mengakui bahwa Kronos adalah ayahmu?"
          
          
          Beomgyu berdiri, matanya memicing tajam. "Bedakan Kronos dengan Khronos. Aku Beomgyu, putra Khronos dengan h. Ayahku dewa waktu, bukan Titan yang menelan anak-anaknya."
          
          
          "Eh? Salah ya?"
          
          
          Raut wajah Beomgyu terlihat rumit. "Belajarlah mengeja sebelum kau mempermalukan dirimu sendiri."