Senja bertengger di penghujung langit. Waktu terkikis pada tiap nafas yang kita hela, mengatar kita semakin dekat pada hari esok. Tapi, kata 'kita' mungkin hanya merujuk pada aku seorang dan kita berdua tahu itu. Bukan berarti nafasmu akan berhenti begitu fajar membentangkan sayap. Lebih pada kejinya takdir dalam menyajikan latar kita.
Kamu ada untuk terbang bersama waktu, tapi tidak pernah sekalipun kamu akan kembali bertengger seperti aku dan kebanyakan orang. Bagimu, hari esok pun akan sama dengan lusa. Luka hanya akan menjadi penanda akan rasa sakit, tidak lebih. Kemudian mati adalah hadiah yang tidak bisa kamu pinta.
"Untuk hidup seorang diri, mengarungi waktu yang tak terbatas... Kamu yakin dengan semua ini?"
Kamu membalikkan mukamu padaku, memalingkan pandang dari senja yang kian larut. Waktu pun terus mengalir, namun dirimu tidak juga berubah. "Ng, mungkin aku akan sedikit kesepian."
"Lantas..."
"Hey, boleh aku meminta sesuatu?"
Keluhku terbantah dan aku pun biarkan itu mengalir, "Apa?"
"Waktu akan menyakitkan, tapi... Aku tetap ingin menikmati semuanya. Aku ingin egois, meski aku tau itu hanya akan menyakiti diriku ke depannya dan juga dirimu. Meski begitu, apa aku berlebihan untuk meminta? Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi."