Sedih banget, aku nangisin ini dari tadi, kayak— aduh, kayak nggak punya akal.
Guys, baca coba.
___
Dia mirip kamu. Terlalu mirip.
Matanya. Hidungnya. Cara dia mengernyit waktu terganggu. Itu semua kamu. Seolah Tuhan memutuskan untuk mencetak ulang wajahmu di tubuh mungil anak kita agar aku nggak lupa seperti apa kamu.
Supaya setiap kali aku lihat dia, aku bisa bilang, “Hei, itu kamu, ya?” dan pura-pura percaya kalau kamu belum benar-benar pergi.
Aku akan hidup, walau kadang cuma setengah.
Aku akan bertahan, walau kadang nyaris runtuh.
Aku akan jaga dia. Sepenuh hatiku. Dengan semua cinta yang kamu tinggalkan di tubuhku, yang nggak pernah kamu tarik kembali meski kamu pergi duluan.
I’ll raise him with love, the kind of love you gave me—quiet, patient, enduring.
Dan kalau suatu hari nanti Sangkara nanya, “Buna, di mana Ayah?”
Aku akan bilang, “Ayah selalu ada. Di dalam kamu.”
Karena kamu, sayang, nggak pernah benar-benar pergi.
Kamu hidup… di setiap degup yang aku rasakan saat menatap anak kita.
Supaya kamu bisa lihat betapa kamu tumbuh di dalam Sangkara, bukan cuma lewat bentuk wajah, tapi lewat getarannya. Keteguhanmu. Ketulusanmu. Segala yang nggak sempat kamu wariskan padaku, sekarang kamu wariskan lewat dia.
Aku bicara pelan ke telinganya tiap malam, berharap kamu bisa dengar lewat napasnya.
Aku bilang, “Papa sayang kamu.”
Supaya kalau semesta masih baik padaku, kamu bisa dengar dari kejauhan itu dan tahu—kita di sini, tetap mencintaimu.
Di sela-sela waktu. Di antara luka yang kini aku peluk. Di dalam bayi mungil kita yang jadi bukti paling nyata bahwa kamu pernah hidup, pernah ada, dan pernah mencintaiku habis-habisan.
Dan kali ini, sekali lagi, aku bisikkan-bukan ke langit, bukan ke udara, tapi ke dada sendiri, karena kamu tinggal di situ sekarang:
I still love you.
Always will.
And somehow, every breath I take... still tastes like you.