Rafliisme

Perjuangan separatisme bersenjata itu hanya masuk akal di masa lalu ketika kontrol negara masih lemah. Namun dalam konteks negara modern, khususnya Indonesia hari ini, aku menganggap separatisme bersenjata telah kehilangan rasionalitasnya, baik secara moral, strategis, maupun ekonomi.
          	
          	Satu pucuk senapan dengan 7 magazine yang masing masing berisi 30 butir peluru itu bisa setara dengan harga sepeda motor. Itu baru kebutuhan untuk satu orang untuk satu kali tempur. Coba bayangkan jika gerakan separatis punya ratusan atau ribuan senjata. Tentu uang yang diperlukan bisa sampai miliaran untuk satu kali pertempuran singkat. Uang sebesar itu tidak menghasilkan kesejahteraan, tidak menciptakan kestabilan dan justru meningkatkan represi aparat dan menghancurkan infrastruktur serta masa depan masyarakat yang diklaim sedang “diperjuangkan”.
          	
          	Uang sebanyak itu, daripada dipakai untuk memulai pertempuran jauh lebih baik jika digunakan untuk ikut Pilkada atau membuat yayasan atau LSM yang tujuannya untuk memajukan daerah. 
          	
          	Mungkin. Para separatis itu siap menderita dan siap mati.
          	
          	Tapi rakyat yang mereka perjuangkan belum tentu demikian. Mereka bisa saja berteriak ingin merdeka, tetapi yang sebenarnya mereka inginkan adalah hari esok yang lebih baik dari hari kemarin.
          	
          	Ketika konflik bersenjata dimulai, pabrik ditutup, investor pergi, dan wisatawan enggan datang. Rakyat memang membutuhkan otonomi dan kebebasan, tetapi ada hal yang lebih mendasar dari semua itu: pekerjaan dan makanan.
          	
          	Perjuangan bersenjata tidak membawa kesejahteraan. Ia hanya menggantikan ketidakadilan lama dengan kelaparan baru, dan melahirkan pengangguran bermulut besar yang menenteng senapan 
          	

Rafliisme

Perjuangan separatisme bersenjata itu hanya masuk akal di masa lalu ketika kontrol negara masih lemah. Namun dalam konteks negara modern, khususnya Indonesia hari ini, aku menganggap separatisme bersenjata telah kehilangan rasionalitasnya, baik secara moral, strategis, maupun ekonomi.
          
          Satu pucuk senapan dengan 7 magazine yang masing masing berisi 30 butir peluru itu bisa setara dengan harga sepeda motor. Itu baru kebutuhan untuk satu orang untuk satu kali tempur. Coba bayangkan jika gerakan separatis punya ratusan atau ribuan senjata. Tentu uang yang diperlukan bisa sampai miliaran untuk satu kali pertempuran singkat. Uang sebesar itu tidak menghasilkan kesejahteraan, tidak menciptakan kestabilan dan justru meningkatkan represi aparat dan menghancurkan infrastruktur serta masa depan masyarakat yang diklaim sedang “diperjuangkan”.
          
          Uang sebanyak itu, daripada dipakai untuk memulai pertempuran jauh lebih baik jika digunakan untuk ikut Pilkada atau membuat yayasan atau LSM yang tujuannya untuk memajukan daerah. 
          
          Mungkin. Para separatis itu siap menderita dan siap mati.
          
          Tapi rakyat yang mereka perjuangkan belum tentu demikian. Mereka bisa saja berteriak ingin merdeka, tetapi yang sebenarnya mereka inginkan adalah hari esok yang lebih baik dari hari kemarin.
          
          Ketika konflik bersenjata dimulai, pabrik ditutup, investor pergi, dan wisatawan enggan datang. Rakyat memang membutuhkan otonomi dan kebebasan, tetapi ada hal yang lebih mendasar dari semua itu: pekerjaan dan makanan.
          
          Perjuangan bersenjata tidak membawa kesejahteraan. Ia hanya menggantikan ketidakadilan lama dengan kelaparan baru, dan melahirkan pengangguran bermulut besar yang menenteng senapan 
          

Rafliisme

Pro pemerintah, pro oposisi. Itu cuman dikotomi palsu. Alat pemecah belah. 
          
          Kenapa seseorang menjadi pro pada suatu pihak? Padahal kebenaran tidak selalu dimiliki oleh satu pihak. Semua pihak bisa benar, semua pihak bisa salah. 
          
          Oposisi yang terdengar pro rakyat mungkin hanyalah orang orang populis, utopis. Atau lebih buruk, bisa jadi dia hanya oportunis. 
          
          Pemerintah bisa jadi hanya ingin melanjutkan kekorupan dan kekonyolan dengan dalih kestabilan. 
          
          Jadi daripada kita pro pada sesuatu. Lebih baik  kembangkan dulu logika logis, materialisme dan juga sikap kritis yang tidak sinis. 
          
          Karena dalam politik yang merusak bukanlah musuh yang jelas seperti asing, pemerintah atau oposisi. Yang merusak suatu negara adalah debat kusir, keyakinan fanatik dan juga rasa kebencian pada suatu pihak dengan buta 
          
          

Rafliisme

Aktivis ingin narasi korban demi tujuan 
          
          Massa ingin pelampiasan 
          
          Pejabat ingin melanjutkan kekonyolan dengan dalih kestabilan 
          
          Sedangkan aku hanya ingin teriak "KALIAN SEMUA BAJINGAN!" 
          
          
          
          
          Kalian harus berhenti merasa suci sementara kalian semua merusak dengan cara masing masing. 

Rafliisme

Sebuah senapan AK-47 yang terisi penuh bisa saja membunuh sampai 30 orang. Tapi dengan sesuatu yang disebut sebagai informasi, kita bisa membunuh lebih banyak orang dan bagian terbaik sekaligus yang terburuk. Pembunuhan itu bisa terjadi tanpa membuat tangan kita kotor. Dengan kata lain, orang lainlah yang akan melakukan pembunuhan untuk kita. 
          
          Dan sekarang, penyebaran informasi tidak lagi dimonopoli oleh media dan atau institusi negara. Sekarang informasi bisa dengan mudah dibuat dan disebarkan oleh setiap orang selama orang itu memiliki akses ke internet. Orang bisa membuat dan menyebarkan informasi tanpa verifikasi, tanpa tanggung jawab dan tanpa konsekuensi langsung. 
          
          Ironis ya. Senjata api jadi ilegal, tapi sesuatu yang lebih berbahaya dari sebuah senapan bisa dimiliki oleh setiap orang. 

Rafliisme

Sejarah telah mencatat. Perubahan besar dan instan biasanya tidak bertahan lama. Ok, rasanya mungkin terlalu jauh jika kita melihat sejarah seperti imperium besar Mongol dan Penaklukan Alexander yang hancur dalam waktu singkat. 
          
          Liat saja apa yang saat ini tengah terjadi pada tetangga terbaik sekaligus tetangga paling brengsek kita. Republik Rakyat Tiongkok. Beberapa puluh tahun yang lalu negeri itu tidak punya hal yang bisa membuatnya layak diperhitungkan selain luas wilayah dan juga ekonomi yang besar (karena banyak penduduk, bukan yang lain. 
          
          Tapi hanya dalam satu generasi, bangsa itu berubah yang tadinya terbelakang menjadi sesuatu yang kita sebut sebagai salah satu adidaya yang memiliki cukup kekuatan untuk berbuat brengsek tanpa konsekuensi yang membinasakan.
          
          Suatu keajaiban, orang boleh mengatakannya. Tapi itu juga harus dibayar dengan sangat mahal. Demi mengejar kemajuan, semua orang khususnya para pekerja harus menjalani kehidupan kerja 996 yang melelahkan sampai sampai bangsa itu mengalami penurunan pertumbuhan populasi karena masyarakatnya terlalu sibuk untuk bekerja hingga tidak punya waktu untuk berkembang biak. 
          
          Industri tentu tertampak karena kekurangan tenaga kerja. Tapi itu bukan masalah jika otomatisasi terus digalakkan. Yang jadi masalah ada bisnis properti. 30 % PDB negara itu berasal dari properti. Jika jumlah penduduk terus menurun, permintaan akan rumah tinggal baru tentu juga akan menurun. Jika ini terus berlanjut, matilah sudah bisnis properti di Tiongkok. 
          
          Bangsa itu akan mengalami stagnasi yang mungkin akan menjadi stagnasi yang paling parah. Yang mungkin lebih parah dari yang dialami Jepang 

Rafliisme

@ Rafliisme  jujur, masa depan Vietnam, Indonesia, Filipina dan juga India jauh lebih cerah dari Tiongkok. 
            
            
Reply

Rafliisme

Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku punya resolusi untuk 2026. Aku ingin nyelesain novelku, mungkin bukan 1 judul. Tapi aku pingin banget Selesaiin satu atau dua volume. 
          
          Resolusi lain: punya laptop/PC, dan punya tabungan yang cukup buat kuliah di tahun 2027. 

Rafliisme

Pesimis buruk, optimis baik. Atau malah sebaliknya.
          
          Bagiku itu cuman dikotomi palsu dan pembenaran atas sikap pesimis dan optimis mereka yang sudah tak sehat. Pesimisme berubah jadi sinisme, optimisme berubah jadi toxic positivity yang buta. 
          
          Optimis hanya baik jika kamu paham resiko, efek samping, tantangan, punya/paham rencana dan juga tidak buta bahwa ada harga yang harus dibayar yang entah itu berupa waktu, tenaga uang atau bahkan nyawa. 
          
          Pesimis hanya baik kalau kamu paham duduk masalahnya dan punya cukup kemampuan untuk menjadikan pesimisme itu sebagai alat untuk berpikir dan bergerak maju, dan bukan pasrah, sinis, kabur, buta hal positif dan menyalahkan pihak lain. 
          

Rafliisme

Jika racun adalah manusia. Aku yakin dia akan jadi orang yang berisik. Punya hati tapi tak hati hati dan selalu menuntut kesempurnaan meskipun tau kalau itu sama sekali tidak mungkin. 
          
          Bagi mereka satu atau dua langkah lebih baik tidak bisa diterima. Mereka ingin semua, mereka ingin Revolusi, mereka ingin perubahan total dan radikal. 
          
          Mereka hidup untuk memperjuangkan utopia tanpa kesadaran kalau yang dibutuhkan (bedakan antara kebutuhan dan keinginan) semua orang, sesederhana hari esok lebih baik

Rafliisme

Batasi medsos untuk sementara. Orang orang sudah jadi jahat. Banyak orang terlalu bodoh untuk bisa memberikan kritik dan pujian. 
          
          Kritik tanpa kebencian dan pujian tanpa kebutaan tampaknya sudah mulai langka di Instagram. 
          
          
          Kebebasan berpendapat membutuhkan kedewasaan berpikir, empati, pengetahuan dan juga kemampuan untuk melihat dan memahami sudut pandang lain. Dan yang aku lihat, mereka bisa melempar pujian dan kutukan seenaknya tanpa empat hal tadi. 
          
          
          Aku berpikir. Kebebasan berpendapat bukanlah hak, melainkan sebuah tanggung jawab yang berat dan TIDAK SEMUA ORANG LAYAK MENDAPATKANNYA. 
          
          

Raylanvas

@ Rafliisme  Iya bener. Setuju euyy 
Reply