Di usia sepuluh tahun saya menyentuh lautan diksi, menyelami plot yang luar biasa di usia saya. Williy Flarkies adalah novel pertama saya, kisah sci-fi tentang dunia terbalik yang tersembunyi di dalam cermin ajaib.

Itu membuat saya terpukau, dan seperti anak-anak pada umumnya yang senang meniru, saya mulai menulis. Novel pertama saya mengisahkan tentang seorang pemuda yang ingin menjadi pendekar, tetapi memiliki kutukan petir hitam yang mampu menghancurkan tubuhnya. Dengan tekadnya, ia ingin masuk akademi pendekar untuk melindungi keluarganya.

Anak ingusan itu dengan pede menyodorkan karya perdananya pada teman dan kakanya, yang tentu dikirtik habis-habisan. Bocah yang mengharapkan pujian itu ngambek, meninggalkan kisah yang sudah ditulis lebih dari enam puluh ribu kata begitu saja. Tetapi jujur, itu jadi bahan bakar saya untuk terus menulis lagi.

Saya kembali lagi menyelami kisah-kisah ajaib lain sendirian, dari genre misteri sampai komedi. Tere liye adalah gerbang masuk kedua saya, tulisannya sebening air sungai yang menghanyutkan, kemduian Rick Riordan memandu saya dalam perjalanan magis mitos Yunani, menggugah kembali imajinasi liar yang sudah lama berlari di pikiran saya.

Dan saya kembali saat remaja, di panggil pikiran dinamis yang mengkritisi dunia yang statis. Anak ingusan itu tumbuh menjadi remaja yang terlalu banyak berandai di dunia yang membosankan. Jadi saya torehkan semua keresahan, keinginan, kekhawatiran, kegusaran, idealisme saya dalam diksi.

Perlahan saya membangun refleksi hidup pribadi dalam tulisan saya, alih-alih pelarian. Karena saya lebih senang bertanya mengapa harus hidup, dari pada bagaimana harus hidup.