"Mas Fulan—ah, maaf. Mas—Pak Jagad?"
"Panggil Mas aja. Saya takut orang-orang jadi aneh, Dokter Gista kok manggil orang miskin ini 'Pak'. Dan ... nama saya tetap Fulan. Fulan bin Fulan."
Gista tertawa kecil. Tawa yang menyalur pada relung hati Jagad. Ia turut terkekeh.
Gista celingukan kanan-kiri. "Nggak ada yang nemenin ... Mas Fulannya ... di sini?"
Jagad mengangkat kedua bahu.
"Ngantri. Di dalam sesak. Masih antrian 20," tunjuknya sebuah kertas antrian kecil.
"Di dalam sekarang nomor berapa?"
"15. 5 lagi."
"Tapi saya nggak boleh bantuin serobot antrian. Nggak baik."
Lagi, Jagad tertawa renyah.
"Sudah enak makannya? Dokter Totok dan Dokter Riyadi bilang apa?"
Jagad menekuk bibirnya. "Masih bubur. Mungkin sebulan lagi kalau saya bandel. Tapi saya bisa pulang dalam seminggu dengan syarat bersemangat mau terapi."
"Semoga lekas sehat lagi," ucap Gista tulus. Lantas ia melirik gold Olivia Burton-nya. "Saya harus pulang. Kebetulan ketemu. Saya mau mengucapkan terimakasih untuk waktu itu. Kalau nggak ada Mas Fulan, mungkin saya yang ketabrak mobil."
Jagad menarik sudut bibirnya. Senyum mematikan yang biasa diumbarnya ketika memangsa. Namun, untuk kali ini, ia ragu. Perlukah Jagad menjadikan Gista mangsa juga, demi kepentingan penyelidikannya?
Hati Jagad berkecamuk.
"Saya juga makasih. Kita impas. Dokter juga udah bantuin saya ngeluarin itu rambutan. Saya dengar juga Dokter yang transfusi darah untuk saya."
Gista mengiyakan. "Sama-sama."
Lantas berlalu.
Rasa kecewa ditinggalkan, merayap. Sama seperti kala itu. Bagaimana ini?
(DITAKSIR GELANDANGAN TAJIR by shininghaha)
----