[ Veiaen's New Story Soon]
"Kalau lo yang menikah dengan Karin, lo bakal lebih tersiksa lagi," ucap Dareen dengan nada serius, matanya tak lepas dari tatapan tajam Deris.
"Sekarang? Apakah lo tersiksa dengan pernikahan itu?" tanya Deris lagi.
"Kenapa? Kalau gue yang nikah sama dia, kenapa gue bakal tersiksa? Seharusnya sekarang lo merasa tersiksa!" Deris mendesak, matanya menatap Dareen tajam, mencoba mencari celah di balik alasan kakaknya.
"Apa alasan sebenarnya ayah menjodohkan gue dengan Karin?" tanya Deris, suaranya penuh kebingungan dan frustrasi yang tampak jelas di wajahnya.
"Deris, gue memang yang memulai permainan ini, tapi lo adalah pion gue. Pion yang akan menjadi raja suatu saat nanti. Gue? Jika lo berhasil jadi raja, gue bisa mendapatkan apa yang gue mau dengan cara gue sendiri," ujar Dareen.
"Terserah kau saja," ucap Deris dengan nada tidak peduli.
Deris berbalik dan keluar dari kamar Dareen. Setiap langkahnya penuh dengan emosi yang meluap. Sementara Dareen, begitu melihat foto Karin dan Deris yang masih terpasang di papan tulis, ia merasa semakin marah dan frustasi.
Tanpa ragu, Dareen mengambil foto itu dan merobeknya dengan kasar. Setiap robekan foto itu seolah menambah kekosongan yang ia rasakan. Dengan gerakan cepat, ia menghapus semua tulisan di papan tulis, membersihkannya sebersih mungkin, seolah menghapus segala rencana yang telah lama tersusun.
Dareen merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Setiap solusi yang ia pikirkan terasa tidak cukup baik. Ia begitu emosi, terperangkap dalam rasa frustrasi dan cemas, sehingga pikirannya menjadi gelap. Tak ada ruang bagi logika atau strategi yang jernih. Semua langkah yang ia rencanakan terasa kabur, tertutup oleh amarah yang terus membengkak dalam dadanya.
"Ini soal keseimbangan. Kekuasaan hanya alat. Tapi kebebasan—itu adalah tujuan."
...
Break The Scale, Jan 19 2025