Ruang kelas di lantai tiga itu dipenuhi suara diskusi yang mulai memanas. Di depan papan tulis, Pak Harun berdiri dengan tangan bersilang, memperhatikan dengan tenang debat yang terjadi di antara para mahasiswanya. Matahari sore menyelinap melalui celah jendela, menciptakan bayangan panjang di lantai. Di salah satu barisan kursi tengah, Rania duduk dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Matanya menyisir sekeliling ruangan, menunggu giliran berbicara.
"Baik, kita lanjutkan," kata Pak Harun sambil menunjuk seorang mahasiswa yang baru saja menyampaikan argumen. "Rania, bagaimana pendapatmu soal Tragedi Mei 1998 yang baru saja dijelaskan tadi?"
Rania mengangkat alisnya, tersenyum tipis. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi dan melipat tangan di dada. "Tragedi itu memang tragis, Pak, tapi menurut saya, kejadian itu wajar terjadi."
Ruangan mendadak hening. Beberapa mahasiswa saling melirik, bingung atau tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Rania. Di barisan depan, Lina, seorang mahasiswa yang dikenal vokal mengemukakan pendapat, memutar tubuhnya untuk menatap langsung ke arah Rania.
"Wajar?" tanya Lina dengan nada tinggi. "Kamu serius?"
Rania hanya mengangkat bahu. "Ya. Kita semua tahu siapa yang paling diuntungkan dari krisis moneter waktu itu. Etnis Tionghoa, kan? Mereka menguasai sebagian besar sektor ekonomi, sementara pribumi kesulitan bahkan untuk makan sehari-hari. Kalau akhirnya ada kerusuhan, itu cuma reaksi dari ketimpangan yang udah terlalu lama terjadi."
Beberapa mahasiswa bergumam pelan, sementara yang lain menundukkan kepala, malas terlibat dalam diskusi yang semakin panas. Pak Harun mengernyit, tetapi tidak segera menyela. Ia ingin mendengar lebih banyak dari mahasiswinya tersebut.
Di Balik Cermin Retak sudah tayang sampai bab 4 ya!