Ia berhenti tepat di depan Hong, cukup dekat untuk melihat betapa kacaunya tatapan laki-laki itu.
“Parah sekali.”
Nut menyentuh lengan Hong.
“Tubuhmu panas.”
Hong menarik napas pendek, tidak stabil.
Nut menghela napas singkat, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sesuatu yang sudah lama ia cari.
“Kemarilah.”
Tanpa menunggu jawaban—karena Hong memang tidak bisa bicara—Nut melingkarkan lengannya ke pinggang Hong dan menarik tubuh itu ke bahunya.
Hong terkejut, tetapi tidak punya tenaga untuk melawan.
“Kau tidak perlu khawatir,” ujar Nut pelan, nadanya datar tetapi manis.
“Kalau tidak kutolong, kau akan pingsan di lantai. Sayang sekali kalau seseorang sepertimu dibiarkan begitu saja.”
Ia menuntun Hong sepanjang lorong, tubuh mereka hampir menempel. Nut tidak terlihat repot meski Hong berat.
Hong hanya bisa bergumam, “Jangan… sentuh… aku…”
Nut tersenyum kecil.
“Terlambat.”
Ia membuka salah satu kamar bar, menutup pintunya dari dalam, lalu mengunci.
Kamar itu hangat dan tenang.
Nut menurunkan Hong di sofa, membungkuk sedikit untuk melihat wajahnya dari dekat.
Tatapannya… terlalu mengenal.
Terlalu penuh tahu.
Padahal mereka belum pernah bertemu.
“Sudah lama aku menunggu momen seperti ini,” ucap Nut pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
“Tapi tidak kusangka akhirnya begini.”
Hong mencoba fokus, tetapi pandangannya kabur.
Nut menyeka keringat di pelipis Hong dengan ibu jarinya, gerakannya pelan seperti sudah biasa melakukannya.
“Tenanglah.”
Nada suaranya lembut, memberi rasa aman yang aneh.
“Aku tidak akan menyakitimu.”
Ia berhenti sejenak, napasnya menyentuh kulit Hong.
“Kecuali kau ingin.”
Hong menegang.
Nut hanya tersenyum kecil melihat reaksinya, lalu berdiri, mengambil handuk dingin, dan menaruhnya di kening Hong.
“Diam saja. Biarkan aku menangani ini.”