dominicuan

Brandon Sanderson pernah bilang kalo menerima feedback atau komentar dan menerapkannya ke tulisan kita adalah kemampuan terpisah dari kemampuan menulis. Feedback ato komentar adalah bagian penting dari proses belajar menulis, tapi gak semuanya perlu diterapkan ke cerita kita.
          	
          	There's a caveat. Ketika dia ngomongin feedback ato komentar, dia lagi bicarain masukkan dari pembaca ato critic partner. Komentar yang diterima dari pembaca ato critic partner biasanya bersifat deskriptif; menceritakan pengalaman membaca mereka. Subjektivitas lebih kental di komentar semacam ini, sehingga sangat riskan untuk langsung menerapkan feedback tanpa mempertimbangkan cerita yang ingin kita sampaikan. Dengan editor, feedback yang diberikan sifatnya preskriptif; mencoba menganalisa tulisan, menemukan kekurangan, dan mengembangkan strategi untuk memperbaiki dan/ato menguatkan naskah. Meski kedengarannya kita harus menerapkan masukkan editor, tetep mereka gak bisa memaksakan kehendaknya ke penulis. Penulis, pada prinsipnya, punya kendali penuh atas ceritanya. Butuh kemampuan untuk tau masukkan mana yang sejalan dengan visi kita dan bagaimana mengeksekusinya tanpa mengorbankan visi cerita!
          	
          	Kalo kalian sendiri yang lagi nulis, komentar ato feedback apa yang menurut kalian paling membantu proses kalian? Seperti apa komentarnya? Kenapa itu membantu kalian? Gw suka iri ketika ngeliat cerita yang rame dengan komentar karena ada banyak peluang belajar di sana. Mungkin gw akan ketinggalan jauh dengan penulis lain karena kehilangan kesempatan itu, tapi setidaknya gw pengen belajar dari kalian yang udah punya pengalaman menerima feedback dan mengaplikasikannya ke cerita kalian. So, kindly share your experience with me and for everyone! Gw yakin ada banyak yang pengen mendengar insight yang kalian bagikan :D

dominicuan

@Hedj__ Gw akuin, itu juga yang jadi culture shock gw saat pertama kali bergabung di sini. Selama ini gw mengira kalo semua penulis ingin mendapat komentar atau masukkan yang konstruktif, khusus soal struktur dan elemen krusial dalam cerita. Ternyata dugaan gw sangat salah, bahkan ketika penulisnya terbuka menerima komentar. 
          	  
          	  Tantangannya adalah di perbedaan perspektif, apalagi ketika kita berurusan dengan sesama penulis yang mungkin punya visi dan goals yang berbeda untuk tulisannya. Vote ato komentar asal bisa jadi lebih dari cukup bagi sebagian orang; sebagian lebih terbuka dengan kritik, tapi kita gak tau sejauh mana yang bisa diterima. Lagi-lagi, seperti pengalaman lu, ada kekhawatiran kalo yang kita sampaikan justru dianggap "serangan" oleh penulis bersangkutan.
          	  
          	  Berkaca dari balasan @CyberneticWanderer, kayaknya ini fenomena yang lazim ditemuin juga di penulis lain. Kalo dipikir wajar juga karena dalam berseni, kadang sulit melepaskan pembuat karya dari karyanya, baik saat kita memberi pandangan maupun saat kita yang menerimanya.
          	  
          	  Makasih banyak atas ucapan positifnya! Gw cuma ingin menjadi lebih dari sekadar penulis, tapi juga ruang aman buat siapa aja yang berada di perjalanan yang sama dengan gw. It ain't much, especially for someone fresh off the boat like me, but hey at least it's something. 
          	  
          	  Buat yang belum tau, Hedj ini adalah bagian dari komunitas menulis Black Pandora Club (BPC), salah satu komunitas yang aktif di WP. Kalian yang pengen belajar dan berinteraksi dengan sesama penulis bisa banget gabung. Setau gw ada banyak cabang untuk masing-masing genre, bahkan buat fanfiction! Kalo penasaran, bisa kunjungin profilnya di @Blackpandora_Club. Mereka sering membuka pendaftaran anggota baru secara berkala, so if y'all interested, give the profile a visit!
Reply

CyberneticWanderer

@Hedj__ sama kita bang (●'◡'●) dan aku gak ngomong asal- ini beneran realita yang terjadi di sisiku juga.
Reply

Hedj__

@dominicuan "... sama kayak nunggu Antartika kembali jadi padang rumput!" wk.
          	  
          	  Tentang apakah kita bisa bilang kalau memberi dan menerima feedback adalah dua kemampuan yang berbeda, menurut saya, mungkin jawabannya lebih kompleks dari yang saya pikir. Kesalahpahaman bisa timbul, bukan karena substansi kontennya, tetapi perspektif tiap orang dalam "memberi dan menerima" feedback bisa saja berbeda. Ada yang puas dengan satu 'bintang'; ada yang bahagia dibanjiri spam kolom komentarnya (meski ngga relevan sekalipun); dan ada pula yang sangat apresiatif jika feedback tersebut kritis dan benar-benar membangun. Di sisi lain, ketika kegiatan saling feedback ini mulai menyebabkan "si Pemberi" mulai overwhelmed dengan subyek feedback, terutama yang bukan seleranya, ini bisa mengarah ke "kesalahpahaman" yang dimaksud. Agak sulit dijelaskan, tetapi fenomena itu ada.
          	  
          	  Saya sendiri termasuk "yang pasrah" menerima, bentuk apapun itu. Mulai dari komentar asal-asalan, hingga kritik pedas yang mencecar ketidaksesuaian aturan kepenulisan, plot hole, info dump, dan lain-lain. Karena itu semua sangat berguna bagi saya pribadi dalam memahami sudut pandang pembaca, mengevaluasi target audiens, eksekusi cerita, kedalaman tema, writing style, tone dan vibe yang mereka rasakan sebagai pengalaman membaca. Di sisi lain, saya juga merasa bersalah ketika memberikan feedback tidak yang setara, sangat-sangat bersalah. Dan saya sangat khawatir itu bisa memicu "kesalahpahaman" di kedua belah pihak. Atas asas saling menghormati, opsi ini, sebisa mungkin akan saya hindari  agar tidak terulang. Jadi, itulah alasannya saya lebih menyukai opsi nomor empat ketimbang lainnya, mekipun pilihan itu datang dengan konsekuensi terberat.
          	  
          	  Saya sangat mengagumi semangatmu dalam membangun komunitas yang positif, Kawan. Platform ini, butuh lebih banyak penulis sepertimu. Sehat-sehatlah selalu! Pada dasarnya tidak ada yang benar atau salah. Semua bergantung dari pilihan yang diambil.
          	  
          	  Salam hangat,
          	  —Hedj
Reply

dominicuan

Brandon Sanderson pernah bilang kalo menerima feedback atau komentar dan menerapkannya ke tulisan kita adalah kemampuan terpisah dari kemampuan menulis. Feedback ato komentar adalah bagian penting dari proses belajar menulis, tapi gak semuanya perlu diterapkan ke cerita kita.
          
          There's a caveat. Ketika dia ngomongin feedback ato komentar, dia lagi bicarain masukkan dari pembaca ato critic partner. Komentar yang diterima dari pembaca ato critic partner biasanya bersifat deskriptif; menceritakan pengalaman membaca mereka. Subjektivitas lebih kental di komentar semacam ini, sehingga sangat riskan untuk langsung menerapkan feedback tanpa mempertimbangkan cerita yang ingin kita sampaikan. Dengan editor, feedback yang diberikan sifatnya preskriptif; mencoba menganalisa tulisan, menemukan kekurangan, dan mengembangkan strategi untuk memperbaiki dan/ato menguatkan naskah. Meski kedengarannya kita harus menerapkan masukkan editor, tetep mereka gak bisa memaksakan kehendaknya ke penulis. Penulis, pada prinsipnya, punya kendali penuh atas ceritanya. Butuh kemampuan untuk tau masukkan mana yang sejalan dengan visi kita dan bagaimana mengeksekusinya tanpa mengorbankan visi cerita!
          
          Kalo kalian sendiri yang lagi nulis, komentar ato feedback apa yang menurut kalian paling membantu proses kalian? Seperti apa komentarnya? Kenapa itu membantu kalian? Gw suka iri ketika ngeliat cerita yang rame dengan komentar karena ada banyak peluang belajar di sana. Mungkin gw akan ketinggalan jauh dengan penulis lain karena kehilangan kesempatan itu, tapi setidaknya gw pengen belajar dari kalian yang udah punya pengalaman menerima feedback dan mengaplikasikannya ke cerita kalian. So, kindly share your experience with me and for everyone! Gw yakin ada banyak yang pengen mendengar insight yang kalian bagikan :D

dominicuan

@Hedj__ Gw akuin, itu juga yang jadi culture shock gw saat pertama kali bergabung di sini. Selama ini gw mengira kalo semua penulis ingin mendapat komentar atau masukkan yang konstruktif, khusus soal struktur dan elemen krusial dalam cerita. Ternyata dugaan gw sangat salah, bahkan ketika penulisnya terbuka menerima komentar. 
            
            Tantangannya adalah di perbedaan perspektif, apalagi ketika kita berurusan dengan sesama penulis yang mungkin punya visi dan goals yang berbeda untuk tulisannya. Vote ato komentar asal bisa jadi lebih dari cukup bagi sebagian orang; sebagian lebih terbuka dengan kritik, tapi kita gak tau sejauh mana yang bisa diterima. Lagi-lagi, seperti pengalaman lu, ada kekhawatiran kalo yang kita sampaikan justru dianggap "serangan" oleh penulis bersangkutan.
            
            Berkaca dari balasan @CyberneticWanderer, kayaknya ini fenomena yang lazim ditemuin juga di penulis lain. Kalo dipikir wajar juga karena dalam berseni, kadang sulit melepaskan pembuat karya dari karyanya, baik saat kita memberi pandangan maupun saat kita yang menerimanya.
            
            Makasih banyak atas ucapan positifnya! Gw cuma ingin menjadi lebih dari sekadar penulis, tapi juga ruang aman buat siapa aja yang berada di perjalanan yang sama dengan gw. It ain't much, especially for someone fresh off the boat like me, but hey at least it's something. 
            
            Buat yang belum tau, Hedj ini adalah bagian dari komunitas menulis Black Pandora Club (BPC), salah satu komunitas yang aktif di WP. Kalian yang pengen belajar dan berinteraksi dengan sesama penulis bisa banget gabung. Setau gw ada banyak cabang untuk masing-masing genre, bahkan buat fanfiction! Kalo penasaran, bisa kunjungin profilnya di @Blackpandora_Club. Mereka sering membuka pendaftaran anggota baru secara berkala, so if y'all interested, give the profile a visit!
Reply

CyberneticWanderer

@Hedj__ sama kita bang (●'◡'●) dan aku gak ngomong asal- ini beneran realita yang terjadi di sisiku juga.
Reply

Hedj__

@dominicuan "... sama kayak nunggu Antartika kembali jadi padang rumput!" wk.
            
            Tentang apakah kita bisa bilang kalau memberi dan menerima feedback adalah dua kemampuan yang berbeda, menurut saya, mungkin jawabannya lebih kompleks dari yang saya pikir. Kesalahpahaman bisa timbul, bukan karena substansi kontennya, tetapi perspektif tiap orang dalam "memberi dan menerima" feedback bisa saja berbeda. Ada yang puas dengan satu 'bintang'; ada yang bahagia dibanjiri spam kolom komentarnya (meski ngga relevan sekalipun); dan ada pula yang sangat apresiatif jika feedback tersebut kritis dan benar-benar membangun. Di sisi lain, ketika kegiatan saling feedback ini mulai menyebabkan "si Pemberi" mulai overwhelmed dengan subyek feedback, terutama yang bukan seleranya, ini bisa mengarah ke "kesalahpahaman" yang dimaksud. Agak sulit dijelaskan, tetapi fenomena itu ada.
            
            Saya sendiri termasuk "yang pasrah" menerima, bentuk apapun itu. Mulai dari komentar asal-asalan, hingga kritik pedas yang mencecar ketidaksesuaian aturan kepenulisan, plot hole, info dump, dan lain-lain. Karena itu semua sangat berguna bagi saya pribadi dalam memahami sudut pandang pembaca, mengevaluasi target audiens, eksekusi cerita, kedalaman tema, writing style, tone dan vibe yang mereka rasakan sebagai pengalaman membaca. Di sisi lain, saya juga merasa bersalah ketika memberikan feedback tidak yang setara, sangat-sangat bersalah. Dan saya sangat khawatir itu bisa memicu "kesalahpahaman" di kedua belah pihak. Atas asas saling menghormati, opsi ini, sebisa mungkin akan saya hindari  agar tidak terulang. Jadi, itulah alasannya saya lebih menyukai opsi nomor empat ketimbang lainnya, mekipun pilihan itu datang dengan konsekuensi terberat.
            
            Saya sangat mengagumi semangatmu dalam membangun komunitas yang positif, Kawan. Platform ini, butuh lebih banyak penulis sepertimu. Sehat-sehatlah selalu! Pada dasarnya tidak ada yang benar atau salah. Semua bergantung dari pilihan yang diambil.
            
            Salam hangat,
            —Hedj
Reply

FizzlingSoda

Mampir ngabs ke Heptagon

dominicuan

@FizzlingSoda Hi, maaf baru baca pesan lu! Iya, ada banyak banget bacaan yang lagi gw kejar, baik di fandom JKT48, non-fandom, dan yang di luar platform. Ditambah kesibukkan, gw ngerasa belum bisa balik baca cerita dari temen-temen yang dulu sering gw kunjungin :(
            
            Gw gak bisa janji, tapi gw akan mencoba menemukan waktu buat mampir lagi ke cerita lu. Sampe sekarang gw salut karena lu udah bisa selesain satu cerita, plus ngerjain 2 lagi nyaris bersamaan. Semoga semuanya lancar ya :)
Reply

dominicuan

Dari banyaknya aspek menulis, 'suara' termasuk yang paling penting. Bayangkan, jutaan cerita yang pernah dan akan ditulis, mungkin hanya segelintir yang benar-benar unik (istilah yang mustahil dalam seni). Nyatanya, kita tetap bisa mengenali karya seseorang di antara ribuan atau jutaan dengan genre atau tema yang serupa. Kita sulit menjelaskan persisnya kenapa, tapi kita bisa merasakannya. Perbedaan inilah yang menurut gw bisa disederhanakan sebagai 'suara'.
          
          Menurut gw, ada dua jenis 'suara'. Yang pertama itu seperti contoh di atas: 'suara' penulis. Neil Gaiman (terlepas dari kontroversinya belakangan ini) pernah bilang kalo menulis itu sama seperti berjalan telanjang di depan umum. Kita membuka diri kita; ketakutan, impian, suka dan benci; tercetak dengan jelas di tulisan kita. Baik atau buruk, semua itu adalah 'suara' yang memberi identitas ke karya kita. 'Suara' ini yang ingin kita temukan di diri kita, yang prosesnya sudah berjalan sejak kita lahir, dan gak akan selesai sampai kita meninggalkan dunia.
          
          'Suara' kedua adalah suara yang karakter kita miliki di sebuah cerita. Dibanding 'suara' pertama, 'suara' ini jauh lebih segera dan berwujud. Kita tahu ketika sulit membedakan satu karakter dengan lainnya karena semuanya terdengar sama. Kadang kita bingung siapa karakter ini karena tidak adanya 'suara' yang jelas. Tokohnya berbicara, tapi kita gak semakin kenal selain dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ini kenapa, di jenis 'suara' ini, cara karakter berbicara sama pentingnya dengan apa yang ia sampaikan.
          
          Ada banyak yang bisa kita lakukan untuk menguatkan 'suara' karakter. Satu cara yang membantu gw adalah dengan mengatur syntax. Karakter tidak perlu berbicara dengan rapi dan tertata. Malah berantakan ini yang memberi identitas, sama seperti cara kita berbicara di kehidupan nyata.
          
          Gimana dengan kalian? Ada cara yang kalian pake untuk memberi 'suara' yang kuat ke karakter? Mungkin kalian punya perspektif lain soal 'suara' penulis? Feel free to share!

dominicuan

Gw baru selesai nonton Stray Dogs oleh Akira Kurosawa. Great movie by the way. Di permukaan, jelas banget pengaruh noir ala Barat di filmnya, tapi Kurosawa tau gimana 'keluar' dari konvensi genre itu tanpa mengubah esensi yang memberi nyawa ke genrenya. Ambiguitas moral? Cek. Karakter detektif dengan determinasi tinggi dan sifat stoik? Cek. Femme fatale yang wajib ada di film noir? Gak cek. Gw bisa nyebutin banyak tapi gw takut ngebocorin filmnya. Kalian harus ngerasain sendiri kalo kalian suka film noir!
          
          Tapi bukan itu tujuan post gw kali ini. Rasanya udah lama sejak terakhir gw ngebahas tips kecil yang gw pake dan membantu gw. I think it's due time for us to go back to that! 
          
          Cara simpel untuk membuat dialog yang seru adalah konflik. Oke kita pernah ngomongin soal ini, tapi apa tips praktisnya? Sederhananya, buat dua karakter saling tidak setuju. Ketika yang satu mengatakan A, yang satunya bilang "tidak". Kita tidak berhenti di sini tentunya, karena konflik bukan soal penolakan, tapi bagaimana karakter menavigasi penolakan tersebut. Kurang lebih ini sama seperti prinsip "menyerang dan bertahan" yang pernah gw bahas sebelumnya.
          
          Gak semua dialog memungkinkan adanya penolakan. Bisa jadi opsi atau topik yang diobrolkan gak memiliki ruang untuk ditolak, entah karena penolakan tidak masuk akal dalam konteks atau kita merasa udah terlalu sering karakternya menolak sehingga terlalu repetitif. Apakah artinya gak ada konflik? Jelas tidak! Selain "tidak", konflik tetap bisa dimasukkan dengan tanggapan berbentuk "iya, tapi". Karakter bisa aja setuju secara prinsip, tapi gak setuju eksekusinya. Artinya meski keliatannya gak ada konflik, tetap ada masalah yang perlu diselesaikan karakter, yang artinya ketegangan yang membuat pembaca penasaran dengan hasilnya.
          
          Ini aja untuk topik kali ini. Kalo kalian ingin menambahkan atau punya perspektif lain, feel free to share it with us! Atau kalo kalian punya rekomendasi buku/film, silakan banget bagikan di sini. Hope this helps!

dominicuan

Kalian yang ngikutin profil ini mungkin tau kalo gw banyak dipengaruhi media Barat. Cara gw menyajikan cerita dan tema yang gw pilih sangat kental dengan pengaruh film dan gim ala Amerika Serikat atau Eropa. 
          
          Sekilas memang kedengarannya masuk akal. Cerita yang gw buat saat ini, kalo bisa dikategorikan, masuk ke genre yang bisa dibilang "lahir" dari kebudayaan Barat. Neo-noir gak lepas dari pengaruh film Perancis dan Hollywood. Cyberpunk menetas dari neo-noir, yang artinya juga datang dari induk yang sama. Tapi makin ke sini gw sadar kalo gw membatasi pengaruh yang gw miliki. Cerita yang bagus bisa datang dari mana aja, gak memandang dari mana asalnya. Gw jadi menyesal karena selama ini gw kehilangan banyak inspirasi bagus yang sebelumnya gak pernah gw akses! 
          
          Baru-baru ini gw mencoba melebarkan sayap. Iya, aktif di platform ini termasuk ke upaya diversifikasi, tapi gw ingin merasakan lebih. Satu area yang gak gw sangka ternyata begitu fenomenal adalah film Asia, spesifiknya sinema Hong Kong era 80-an. Beberapa hari lalu gw selesai nonton A Better Tomorrow oleh John Woo, and let me tell you, what a beautiful story. Gw kagum karena ternyata neo-noir bisa dikemas dengan nuansa budaya Asia tanpa mengurangi kualitas genrenya. Mulai dari sini, gw bertekad untuk menjelajahi film-film serupa. Gw denger Akira Kurosawa punya film neo-noir juga, so that'll probably be my next on the list. 
          
          Gimana dengan kalian? Apakah kalian pernah merasa kalo inspirasi kalian terbatas? Adakah karya yang membuat kalian terkejut karena bisa menginspirasi kalian? Mungkin ada karya atau sumber yang kalian penasaran tapi belum sempat cicipi? Well, do share it with us in the comments! Siapa tau kita bisa bertukar referensi dan inspirasi :D

CyberneticWanderer

@dominicuan Intinya apa? Intinya referensi utamanya gak berubah, paling nambah-nambahin bacaan aja :)
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan gimana ya? Gak banyak sih referensi gue buat sci-fi, soalnya Criminal Case ada juga sci-fi nya (lebih tepatnya season 6, Travel in Time). Tempatnya yang futuristik, nuansa cyberpunk yang kentel banget, plotnya juga unik: apa yang akan terjadi jika timeline sejarah yang telah kita kenal selama ini dirusak? Secara eksekusi sih gak terlalu bagus, tapi konsepnya yang chef's kiss banget.
Reply

dominicuan

Gw selalu bilang buat memperlakukan cerita yang gw bagikan sebagai draft pertama yang pasti akan direvisi. Gw sadar kenyataannya tiap bab yang kita bagikan di sini aslinya udah melalui revisi yang bahkan bisa lebih dari 1 draft. Mungkin ini karena sifat perfeksionis gw yang harusnya bisa disimpen buat nanti kalo ceritanya udah selesai dulu :D
          
          Tapi itu tantangan yang gw hadapi tiap kali menulis. Gw selalu kepikiran hal-hal kecil yang sebenernya bisa diurus setelah draft pertama, alias ceritanya, tuntas dan berwujud. Kadang perkara seperti dialog atau adegan yang cuma punya satu fungsi doang bisa bikin gw terjebak, padahal ceritanya cuma perlu diselesain dulu! 
          
          Ini baru sebagian kecil dari tantangan selama proses menulis gw. Gw yakin kita semua juga punya tantangan masing-masing. Kali ini, gw pengen denger apa yang menjadi bagian menantang di proses menulis kalian? Mungkin kalian punya bagian atau adegan tertentu yang memeras otak kalian. Mungkin tantangannya ada di aspek teknis dalam cerita, seperti dialog, worldbuilding, tema, subteks, karakterisasi, dst. Bisa jadi tantangannya kombinasi keduanya, atau bahkan unik bagi kalian sendiri? Apa pun itu, gw penasaran dan ingin mendengar lebih lanjut. Feel free to share your experiences here!

dominicuan

@CyberneticWanderer Kalo boleh jujur, lebih banyak yang merekomendasikan agar revisi disimpan ketika ceritanya udah selesai. Tujuannya agar penulis tahu dulu seperti apa bentuk ceritanya lalu memutuskan mana yang bisa diubah atau disesuaikan agar makin sejalan dengan visinya. Ada juga yang merevisi selagi ceritanya berjalan karena merasa pekerjaan revisi saat ceritanya selesai terlalu berat; satu di antara alasan lain tentunya.
            
            Kayaknya beberapa yang lu sebutkan memang menjadi tantangan bagi banyak penulis, terlepas status mereka. Hal-hal fundamental kayak kosakata dan gaya bicara itu berlaku universal ke semua jenis cerita. Mungkin itu juga kenapa ada banyak konten, artikel, video, bahkan buku yang ditulis khusus untuk hal-hal yang keliatannya sepele soal menulis.
            
            Ah, keliatannya lu juga tau di mana lu merasa lebih mudah. Ini yang harusnya jadi bagian pertanyaan gw: apa yang menantang dan apa yang lancar. Kalo dipikir lagi, untuk tiap tantangan, penulis juga membawa nilai plus yang membantu mereka di aspek lain. Mengetahui kedua hal ini pastinya bisa mendukung proses menulis kita semua. Makasih banyak buat perspektifnya!
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan Meanwhile me: revisi habis tamat jir (●'◡'●)
            
            Seriously put, ada banyak tantangan dalam kepenulisan, terutama bagi penulis pemula (macam gue). Mungkin gue ada tiga paling dikit: worldbuilding (novel fantasi: hai), pemilihan kosakata dan gaya bicara karakter, and scene-wise, adegan bertarung (genre aksi: hai)
            
            Mungkin yang gak jadi beban buat gue adalah... permainan emosi dan fourth wall break? Cause man, do I love to play with novels like they are some helpless little string puppets.
Reply

dominicuan

Gw pengen tau, seberapa penting bagi kalian untuk merasa memahami dengan benar cerita yang kalian baca?
          
          Gw tau ini kedengeran kayak pertanyaan konyol, karena jelas pembaca merasa penting buat paham apa yang mereka baca. Tapi ada sisi lain yang membuat gw mempertanyakan ini. Gw kadang merasa ada penekanan agar pembaca benar-benar memiliki pemahaman yang sama dengan penulis soal ceritanya. Contoh yang umum gw temui adalah ketika penulis memberi catatan kaki atau penjelasan tambahan di komentar atau bab berbeda soal fakta-fakta yang relevan dengan ceritanya, tapi gak dituliskan di cerita. Adendum ini umumnya menjawab pertanyaan pembaca soal cerita atau menambah konteks yang membantu pembaca benar-benar memahami tujuan atau intensi penulis. Dari sisi pembaca, kadang gw menemukan komentar atau pertanyaan yang membagikan teori atau dugaan mereka untuk mengecek apakah mereka sudah benar dalam memahami ceritanya. Penulis pun gak jarang membalas dengan meluruskan pemahaman pembacanya.
          
          Fenomena ini membuat gw merasa ada variabel kesepahaman antara penulis dan pembaca yang berdampak ke pengalaman membaca. Penulis ingin pembaca punya pemahaman yang sama dengan intensi/visinya, dan pembaca ingin punya pemahaman yang sama dengan penulisnya. Fenomena ini membuat gw merefleksikan apa yang gw kerjakan dan mungkin bisa menjelaskan pengalaman pembaca Tabula Rasa.
          
          Jadi, pertanyaan ini sebenernya berlaku untuk pembaca dan penulis. Apakah kalian merasakan fenomena yang sama? Apakah kesepahaman itu penting bagi kalian yang membaca atau menulis? Kalo gak keberatan, kenapa kalian memberi jawaban tersebut? Feel free to share your thoughts with us!

dominicuan

@Hedj__ Perasaan yang wajar. Salah satu faset menulis, menurut gw, adalah seperti membuat puzzle. Kita gak pengen puzzle terlalu sulit sampe gak bisa dimainin; saat yang sama, kita gak pengen terlalu gampang sehingga gak memuaskan setelah puzzle-nya selesai. Emang susah buat memastikan keseimbangan antara puzzle yang mendorong keaktifan pembaca tanpa membuat mereka kewalahan memahami maksud atau isi puzzle-nya.
            
            Nah, kalo gw boleh menambahkan, ada satu kemungkinan yang jarang dimanfaatkan. Pembaca bisa aja didorong untuk aktif menyelesaikan puzzle, tapi tanpa instruksi, mereka cuma mengandalkan kepingan yang mereka punya. Tiap kepingan terlihat saling berhubungan, dan meski semuanya belum terhubung, kita bisa tahu kurang lebih gambar puzzle-nya ketika selesai. Tapi karena gak ada instruksi, sangat mungkin puzzle-nya berbeda dengan apa yang tercetak di kemasan!
             
            Kalo ini puzzle beneran, jelas ada yang salah. Puzzle memerlukan referensi yang jelas dan nyata soal hasil aslinya. Tapi kalo ngomongin karya seni, gw merasa tidak ada yang salah dengan kemungkinan ini. Seni gak selalu memerlukan referensi yang jelas dan nyata untuk bisa dinikmati. Ketika gak ada instruksi atau referensi, kita mengandalkan kepingan yang kita amati plus pengetahuan dan pengalaman kita sendiri. Hasilnya adalah "puzzle" yang tidak hanya representasi maksud pembuat puzzle, tapi juga konteks kita yang menyusun puzzle-nya.
            
            Kemungkinan itulah yang gw coba terapkan di karya gw. Bukan berarti ini cara paling tepat dalam berseni, pun gw juga bukan orang pertama yang mencobanya! Setidaknya gw bisa memberi alternatif baru. Kalo gagal, artinya gw bisa jadi pelajaran buat penulis lain :D
            
            Of course, it's a pleasure to me as well to meet you! Sebuah kehormatan dan kesenangan bisa kenalan dengan penulis yang aktif di genre yang masih jarang ini. I too looking forward to hear and learn more from you :D
Reply

Hedj__

@dominicuan kalau begitu, kita mungkin sepemikiran. Saya sendiri sebenarnya akan merasa sedikit kecewa jika kompleksitas elemen-elemen cerita yang sudah kita olah sedemikian rumit, ternyata bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca. Rasanya kayak segala usaha, riset, dan pendalaman lainnya sia-sia belaka. Haha.
            
            Tapi itu cuma keluh-kesah pribadi aja. Saya juga masih perlu banyak belajar tentang bagaimana caranya agar dunia yang saya ciptakan bisa dipahami dengan mudah tanpa perlu penjelasan teknis yang membuat pusink.
            
            Nb: jgn gitu, hey… :v
            Saya juga masih belajar. Memahami perspektif yang berbeda dari para penulis lain, bagi saya juga merupakan pengalaman luar biasa. Terima kasih sudah berbagi sudut pandang.
            —salam kenal.
Reply

dominicuan

@Hedj__ Hi, silakan banget kalo mau nimbrung. Matter of fact, feel free to drop by whenever you want. Welcome to my profile!
            
            Apa yang lu sampaikan di awal itu yang sebenernya menjadi kenapa gw membuat post ini. Gw merasa, setidaknya dari media Indonesia yang gw konsumsi, ada dorongan agar pembaca punya pemahaman yang sama dengan penulis. Rasanya kayak penulis merasa seperti harus mengeja atau menyuap semua informasi soal ceritanya agar pembaca "paham" apa yang ia ceritakan. Gak banyak subteks, tiap emosi dijabarkan, tiap konflik didramatisasi, dan pembaca seperti dikurangi ruangnya untuk memberi interpretasinya sendiri. Seakan kalo semuanya gak dibuat sejelas atau dicetak tebal, pembaca punya pemahaman berbeda dari intensi ceritanya dan ini berarti pembaca punya pemahaman yang "salah".
            
            Tentu, seperti yang lu bilang, kesepahaman diperlukan dalam kadar tertentu. Cerita yang melibatkan worldbuilding biasanya memerlukan upaya lebih dari penulis untuk menggambarkan latar dan membawa pembaca masuk. Di luar cerita itu, kesepahaman juga perlu kalo ngomongin soal internal logic—pembaca perlu tahu soal apa yang bisa terjadi di cerita. Gw setuju kalo catatan kaki, dengan sendirinya, gak berarti useless. Hanya saja, kadang gw merasa catatan kaki atau addendum ini lebih seperti solusi cepat ketika penulis gak bisa merajut semua fakta seru itu ke dalam narasinya, sehingga harus dijelaskan terpisah. Again, doesn't mean all footnotes looks like this, but the execution is definitely not as straightforward as most people believe!
            
            Ini pun baru ngomongin aspek objektif. Sulit memperlakukan tema atau emosi seperti fakta yang bisa dicantumkan via footnotes. Apalagi, di aspek inilah di mana gw merasa penulis bisa lebih pede lagi membiarkan pembaca menikmati pemahamannya sendiri tanpa campur tangan penulis :D
            
            N.B. Makasih banyak udah mampir ke sini dan vote cerita gw. Gak nyangka ada established author yang baca cerita FF seperti yang gw buat. What an honor!
Reply

dominicuan

Gw mulai menulis di sini sejak Februari 2023, yang berarti gw udah hampir memasuki tahun ketiga aktif di platform ini. Selama itu pula, gw sudah menulis sekitar 150 ribu kata di karya gw yang masih setengah perjalanan, dan kurang lebih sudah puluhan post yang gw bagikan di kolom ini. Lebih dari itu, gw bisa berkenalan dengan banyak penulis hebat di platform ini.
          
          Gw sadar kesulitan terbesar bagi penulis pemula adalah dukungan. Butuh keberanian untuk membagikan karya pertama ke khalayak umum; lebih sulit lagi untuk tau apa langkah selanjutnya untuk memaksimalkan karya kita. Gw pun merasakan kesulitan itu, dan sedikit banyak, itu yang menginspirasi gw untuk membuat Dominicuan. 
          
          Dominicuan bukan hanya penulis amatir, tapi juga tempat untuk membagikan apa yang bisa dibagikan mengenai penulisan. Ini adalah cara gw untuk mendukung kalian yang tertarik ato sedang menjelajahi dunia penulisan seperti gw. Gw pun merasa terbantu dengan semua riset yang gw lakukan tiap kali gw menyiapkan post baru untuk dibagikan. Memang belum sempurna—materi yang tersampaikan tidak maksimal karena keterbatasan ruang, referensi yang terbatas, dst.—tapi gw harap kalian bisa mendapatkan info yang berguna untuk perkembangan kalian.
          
          Gw ingin terus memberikan yang terbaik. Kalian semua berhak mendapatkan sesuatu yang bermanfaat ketika mengikuti profil ini. Itulah kenapa gw ingin menjadikan momen pergantian tahun ini sebagai survei. Menurut kalian, penilaian seperti apa yang ingin kalian bagikan untuk post-post yang gw tulis? Kritik apa yang kalian miliki? Lalu, kira-kira topik seperti apa yang kalian ingin lebih banyak dibahas di profil ini?
          
          Jangan sungkan dalam berpendapat. Kalo gw ingin menjadi wadah inklusif, artinya gw berkomitmen untuk terbuka dengan perspektif kalian. Semua itu bisa membantu untuk mengembangkan profil ini ke depannya—iya, gw berencana bertahan cukup lama di sini! So, feel free to share your thoughts, and while we're at it, have a Happy New Year!

dominicuan

John Matthew Fox pernah bilang di videonya kalo banyak penulis pemula mendesain karakter terbalik. Ketika menulis seperti apa karakter cerita kita, yang pertama kali kita pikirkan umumnya adalah seperti apa penampilannya. Kita memikirkan warna rambut, mata, bentuk wajah, bentuk tubuh, serta ciri-ciri penampilan lainnya. Gw akui, cara ini kadang didasarkan ke pemikiran kalo penampilan karakter yang membuat pembaca tertarik, karena itu yang paling mudah divisualkan pembaca. Tapi Fox mengatakan kalo cara ini justru berdampak ke karakter yang kehilangan fondasi utamanya: keyakinan.
          
          Di sini di mana dia mengatakan kalo banyak penulis yang mendesain karakter terbalik. Kita sering mulai dari detail di luar, sedangkan sebaiknya, kita mulai dari detail di dalam. Keyakinan utama atau core belief adalah fondasi yang perlu kita pikirkan terlebih dahulu. Dia bisa sesimpel sebuah kata atau frasa yang menjelaskan apa yang karakternya percaya atau yakini soal dirinya maupun dunianya. Dia bisa berbentuk aturan tidak tertulis yang tidak pernah ia langgar, sampai ceritanya menantang dia untuk melanggarnya. Keyakinan ini juga terbentuk karena masa lalunya dan membentuk perilakunya di masa kini dan depan. Intinya, keyakinan ini yang menjadi "jiwa" yang perlu kita siapkan dulu sebelum kita memikirkan soal penampilan karakter.
          
          Bukan berarti penampilan gak penting. Mungkin satu hal yang gw juga terapkan, adalah penampilan tidak sepenting yang kita kira. Empati pembaca lahir bukan karena rupa karakter, tapi karena keyakinan yang mendorongnya. Coba mulai dari situ, buat sekontradiktif dan semenarik mungkin, dan biarkan pembaca tenggelam ke karakter yang bahkan bisa tidak kita jelaskan sama sekali fisiknya :)
          
          Gw penasaran, apakah kalian punya pandangan yang sama? Gimana cara kalian mendesain karakter? Ada contoh yang mungkin kalian anggap sebagai karakter yang didesain dengan bagus? Let us know in the comment!

dominicuan

@CyberneticWanderer I respect that you want to things your way. Ini mengingatkan gw ke karya gw saat ini. Tabula Rasa banyak "melanggar" konvensi genre cyberpunk dan neo-noir, apalagi untuk sebuah fanfiction. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi, gw merasa melanggar atau membelokkan konvensi atau aturan jauh lebih sulit, karena gw harus tahu kenapa aturan atau konvensi itu ada, apa efeknya, dan konsekuensi ketika gw tidak mengikutinya dengan persis. 
            
            Pada akhirnya, selama cara lu sejalan dengan konsep, intensi, atau visi lu, gak ada yang bisa mencegah lu untuk menggunakannya. Tiap penulis punya tujuannya masing-masing, dan gw rasa keputusan yang bagus kalo cara yang dipakai membantu mencapai ke tujuannya :)
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan Good question. Terus terang, buku keramat itu (anjas) sebelum revisi emang gak terlalu nekanin character development-nya si MC maupun emotional rollercoaster-nya, tapi sekarang tahap revisi (...RE:IMAGE-) gue mencoba buat menyempurnakan dan memperbaiki semua kesalahan-kesalahannya berbekalkan pengalaman menjadi scriptwriter (sekarang masih jadi scriptwriter sih tapi yah gitulah)
            
            Gue nyoba proses di luar zona nyaman gue? Err, sesekali bisa, tapi pada akhirnya gue terbiasa sama cara sendiri. (I'm independent, man)
Reply

dominicuan

@CyberneticWanderer Haha! Iya, gw punya beberapa gambaran saat gw menyiapkan review untuk karya lu. Gw ingin tahu aja sebenernya dari sudut pandang lu. 
            
            Nah, kalo berkaca ke review gw ke Cybernetica 1, apakah semua yang gw sampaikan soal karakter di cerita sudah sejalan dengan apa yang lu inginkan atau konsep yang lu siapkan? Bagaimana menurut lu kalo seandainya, lu menggunakan proses yang dijabarkan oleh John Matthew Fox, seperti yang gw bahas secara ringkas? Apakah proses itu sesuatu yang menarik buat lu untuk dicoba?
Reply

dominicuan

Sebagai pembaca, rasanya mudah banget melihat sebuah karya dan menentukan apa genrenya. Kalo ada cerita di mana dua karakter jatuh cinta, berarti genrenya romance. Ada perkelahian, kemungkinan action. Menjelajahi dunia yang luas, bisa dikatakan petualangan. Ini baru sebagian dari puluhan genre yang ada, tapi dari contoh kecil ini, kita bisa melihat kalo di tiap genre, ada elemen yang menjadi ciri khas. Keberadaan elemen itu yang menjadi cara kita menentukan klasifikasi sebuah karya ke dalam genre.
          
          Dari sudut pandang itu, rasanya tepat untuk membayangkan genre sebagai klasifikasi kaku. Hanya saja, kalo kita melihat sejarah, istilah 'genre' sendiri belum menjadi populer sampai sekitar abad 18 dan 19. Bayangkan, manusia sudah ribuan tahun membuat kesenian dan hiburan sedangkan klasifikasinya aja baru ada sekitar 300 tahun terakhir!
          
          Dibanding melihat genre sebagai kriteria kaku, akan lebih tepat bagi kita yang sedang berkarya untuk melihatnya sebagai pedoman. Gak kaya merakit PC yang harus taat mengikuti instruksi, menulis tidak harus selalu mengikuti pedoman yang ada, bahkan ketika pedoman itu melibatkan elemen yang umumnya ditemukan di genre tertentu.
          
          Kalo gw boleh berpendapat, kerangka berpikir yang lebih sesuai adalah melihat tulisan sebagai kombinasi antara konsep dan eksekusi. Konsep adalah ide, atau dalam konteks ini, apa yang ingin kita ceritakan. Eksekusi menentukan bagaimana ide itu disampaikan. Konsep tidak harus terpaku genre karena kita bisa aja mengambil atau mencampur sesuai ide. Eksekusi pun bisa beragam selama sejalan dengan konsep yang kita inginkan. Bagian terpenting justru adalah memastikan baik konsep maupun eksekusi saling melengkapi dan selaras.
          
          Kalian yang punya pandangan atau pengalaman unik soal genre di tulisan kalian atau yang sedang kalian baca, silakan banget bagikan di sini! Gw ingin bisa bertukar pikiran dengan kalian semua :)

dominicuan

@CyberneticWanderer Menurut gw ini bisa dianggap hal yang bagus. Sci-fi masih belum maksimal dieksplor di pasar Indonesia. Semakin banyak yang tertarik terjun akan sangat bermanfaat untuk perkembangan genre itu!
            
            Nah, menurut gw, ketimbang melihat semua kombinasi yang lu sebutkan sebagai genre terpisah, kita bisa melihatnya sebagai sebuah spektrum. Di sini kerangka 'konsep dan eksekusi' bisa kita pake untuk mendesain ceritanya. Sci-fi mencakup banyak elemen, dan tiap elemen itu bisa kita pilih serta campur sesuai keinginan kita. Langkah awal yang bisa diambil adalah menanyakan 'sci-fi seperti apa yang ingin kita tulis?'. Sci-fi yang lebih menekankan perjalanan romantis dua tokoh, tapi ada bumbu memecahkan misteri serangan alien yang berpotensi mengancam dunia? Kenapa enggak! Konsep gak perlu terbatas oleh konvensi genre, meski semakin tinggi atau rumit konsep, semakin rumit pula eksekusinya. Jadi triknya, sekali lagi, adalah memastikan konsep yang kita miliki bisa diterjemahkan dengan baik ke pembaca lewat eksekusinya, dan sebaliknya, pembaca bisa menangkap konsep yang kita tawarkan ketika melihat eksekusi di cerita :)
            
            Jadi jangan ragu untuk semakin sering menjelajahi sci-fi. Iya, tantangannya bisa lebih berat dibanding genre lain—cyberpunk, misalnya, punya ekspektasi yang lebih spesifik dibanding jenis sci-fi lainnya—tapi menurut gw tantangan itu sangat pantas untuk dihadapi. Semakin banyak karya, semakin besar peluang untuk pasarnya tumbuh subur di Indonesia :)
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan ini mungkin gak ada hubungannya ya, tapi kalo ngomongin genre, semenjak gue terjun ke dunia sci-fi/cyberpunk, entah kenapa rasanya gue gak bisa lepas dari itu—setidaknya, gak kayak biasanya yang kalo gak fiksi sekolah, misteri atau YA/low fantasy.
            
            Gak tau, rasanya gue dihantui sama cyberpunk. Nulis harus ada unsur sci-fi/cyberpunk-nya. Sci-fi/mystery lah, sci-fi/horror lah, sci-fi/adventure lah, sci-fi/angst lah, bahkan sci-fi/fantasy. Gue kecanduan sci-fi :)
Reply