dominicuan

Bayangkan kita sedang menonton 2 adegan.
          	
          	Adegan pertama, kita melihat karakter utama turun dari mobil sambil membawa belanjaannya. Dia menekan tombol untuk mengunci mobil dan berjalan ke pintu depan rumahnya. Dia membuka pintu, kaki kanannya yang pertama kali memasuki rumah.
          	
          	Di saat yang sama, rumahnya meledak.
          	
          	Adegan kedua, kita melihat karakter utama yang sama, keluar dari mobil membawa belanjaan dan berjalan ke rumahnya. Kali ini, kamera berpindah ke loteng di atas rumah. Sebuah bom rakitan dengan timer yang mulai menghitung mundur ketika tombol kunci mobilnya ditekan. 30 detik tersisa. Persis waktu yang dibutuhkan untuk masuk ke rumah.
          	
          	25 detik. Kakinya sudah melangkah masuk. 20 detik. Pintu depan dikunci. 15 detik. Belanjaan mulai dimasukkan ke laci dan kulkas. 8 detik. Ada belanjaan yang ketinggalan di mobil. 5 detik. Dia berjalan santai ke pintu depan. Tangannya memutar kenop pintu. 3... 2... 1...
          	
          	Apa yang berbeda dari 2 adegan tadi?

dominicuan

Bisa dilihat, pembeda utama antara surprise dan suspense adalah seberapa cepat resolusi atau ekspektasi dipertahankan. Surprise berusaha memutarbalik ekspektasi secepat mungkin sedangkan suspense mengulurnya. Surprise terjadi ketika ekspektasinya berubah sedangkan suspense menunda ekspektasinya terkonfirmasi. Kita juga bisa melihat perbedaan pengalaman emosi audiens di antar keduanya. Surprise membuat kita terkejut, sedangkan suspense membuat kita menunggu atau mengantisipasi.
          	  
          	  Dua istilah berbeda dengan cara kerjanya masing-masing, tapi apakah artinya kita memilih salah satu? Menariknya, kedua buku yang gw kutip sepakat kalo keduanya punya banyak irisan dan bisa saling melengkapi. Surprise bisa menjadi setup suspense atau menjadi resolusinya. Sebaliknya, suspense bisa berperan dalam menyiapkan surprise yang memutarbalik ekspektasi.
          	  
          	  Khusus untuk topik ini dan selanjutnya, kita hanya akan membahas suspense. Gw ngerasa udah ada banyak penulis yang membahas surprise secara lebih mendalam dan lebih baik. Kali ini gw pengen mencoba bikin suspense mendapat perhatian yang sama dari para penulis!
          	  
          	  Kita udah kenalan dengan definisi surprise dan suspense serta perbedaan keduanya. Kalo kita balik ke 2 contoh adegan di awal post, mana menurut kalian yang surprise dan suspense? Apa alasannya? Gw juga tertarik apakah kalian pernah mendengar atau punya penjelasan berbeda soal definisi surprise dan suspense. Kalo iya, feel free to share it with us! Jangan sungkan juga buat membagikan penilaian kalian soal post ini :D
Reply

dominicuan

Jane Cleland di bukunya Mastering Suspense, Structure, and Plot mendefinisikan surprise sebagai kejadian di cerita yang terjadi berlawanan dengan sangkaan atau dugaan yang dibangun. Surprise terjadi secara tiba-tiba dan tanpa pengetahuan pembaca sebelumnya. Bayangkan pesulap yang menarik koin dari telinga kita. Kita gak pernah tau ada koin di sana, kita gak pernah menyangka pesulapnya bisa mengeluarkan koin, dan semua itu berubah akibat satu tindakan yang pesulapnya lakukan.
          	  
          	  Bagaimana dengan suspense? Di Elements of Fiction Writing - Conflict and Suspense oleh James Scott Bell, suspense adalah upaya menunda resolusi. Kalo diliat, definisi ini tidak menyebut ekspektasi, sangkaan, atau dugaan. Itu karena pembaca perlu memiliki informasi, tidak harus lengkap atau utuh, tapi cukup untuk bisa membangun ekspektasi mengenai apa yang akan atau mungkin terjadi. Ekspektasi ini tidak akan dilawan atau diubah 180°, tapi kesimpulannya diulur selama mungkin. Selama diulur itu, kita tetap tau kemungkinan yang akan terjadi meski kita gak langsung mendapat konfirmasi apakah akan terjadi atau tidak. Menggunakan contoh pesulap, bayangkan triknya kali ini adalah menebak kartu yang kita ambil secara acak dari tumpukan. Kita tau yang terjadi di akhir triknya adalah si pesulap akan menebak kartu kita. Pengetahuan itu yang membuat kita betah, karena yang kita ingin lihat adalah kapan dan bagaimana triknya diselesaikan.
Reply

dominicuan

Oke, adegan pertama lebih singkat. 100 poin buat jawaban benar! Apa yang bikin adegannya lebih singkat? Bom meledak lebih cepat di adegan pertama dibanding yang kedua. Bahkan di adegan kedua kita gak tau apakah bomnya bakal meledak. Oke, 100 poin lagi! Sekarang perhatikan bomnya. Ada yang beda, kan? Bukan beda jenisnya, tapi penyajiannya di adegan. Di adegan pertama, kita baru tau ada bom setelah dia meledak, sedangkan di adegan kedua, kita tau cukup awal kalo ada bom dan selalu diingatkan keberadaannya sepanjang adegan berlangsung.
          	  
          	  Kenapa perbedaan ini penting? Karena contoh ini yang dipake sama Alfred Hitchcock (dengan parafrase gw) buat nunjukkin dua pendekatan agar penonton terus nempel ke layar: surprise dan suspense. Untuk seterusnya, gw akan menggunakan 2 istilah ini dalam bahasa Inggris karena sulitnya menemukan padanan bahasa Indonesia yang tepat. Surprise bisa diterjemahkan menjadi 'kejutan', tapi suspense? Gw mencoba menggunakan istilah ketegangan di post sebelumnya, tapi ketegangan lebih tepat diterjemahkan menjadi tension, dan seperti yang akan kita bahas nanti, tension adalah elemen yang dipake baik di surprise dan suspense.
          	  
          	  Tapi ngomongin soal surprise vs suspense, apa bedanya?
Reply

dominicuan

Bayangkan kita sedang menonton 2 adegan.
          
          Adegan pertama, kita melihat karakter utama turun dari mobil sambil membawa belanjaannya. Dia menekan tombol untuk mengunci mobil dan berjalan ke pintu depan rumahnya. Dia membuka pintu, kaki kanannya yang pertama kali memasuki rumah.
          
          Di saat yang sama, rumahnya meledak.
          
          Adegan kedua, kita melihat karakter utama yang sama, keluar dari mobil membawa belanjaan dan berjalan ke rumahnya. Kali ini, kamera berpindah ke loteng di atas rumah. Sebuah bom rakitan dengan timer yang mulai menghitung mundur ketika tombol kunci mobilnya ditekan. 30 detik tersisa. Persis waktu yang dibutuhkan untuk masuk ke rumah.
          
          25 detik. Kakinya sudah melangkah masuk. 20 detik. Pintu depan dikunci. 15 detik. Belanjaan mulai dimasukkan ke laci dan kulkas. 8 detik. Ada belanjaan yang ketinggalan di mobil. 5 detik. Dia berjalan santai ke pintu depan. Tangannya memutar kenop pintu. 3... 2... 1...
          
          Apa yang berbeda dari 2 adegan tadi?

dominicuan

Bisa dilihat, pembeda utama antara surprise dan suspense adalah seberapa cepat resolusi atau ekspektasi dipertahankan. Surprise berusaha memutarbalik ekspektasi secepat mungkin sedangkan suspense mengulurnya. Surprise terjadi ketika ekspektasinya berubah sedangkan suspense menunda ekspektasinya terkonfirmasi. Kita juga bisa melihat perbedaan pengalaman emosi audiens di antar keduanya. Surprise membuat kita terkejut, sedangkan suspense membuat kita menunggu atau mengantisipasi.
            
            Dua istilah berbeda dengan cara kerjanya masing-masing, tapi apakah artinya kita memilih salah satu? Menariknya, kedua buku yang gw kutip sepakat kalo keduanya punya banyak irisan dan bisa saling melengkapi. Surprise bisa menjadi setup suspense atau menjadi resolusinya. Sebaliknya, suspense bisa berperan dalam menyiapkan surprise yang memutarbalik ekspektasi.
            
            Khusus untuk topik ini dan selanjutnya, kita hanya akan membahas suspense. Gw ngerasa udah ada banyak penulis yang membahas surprise secara lebih mendalam dan lebih baik. Kali ini gw pengen mencoba bikin suspense mendapat perhatian yang sama dari para penulis!
            
            Kita udah kenalan dengan definisi surprise dan suspense serta perbedaan keduanya. Kalo kita balik ke 2 contoh adegan di awal post, mana menurut kalian yang surprise dan suspense? Apa alasannya? Gw juga tertarik apakah kalian pernah mendengar atau punya penjelasan berbeda soal definisi surprise dan suspense. Kalo iya, feel free to share it with us! Jangan sungkan juga buat membagikan penilaian kalian soal post ini :D
Reply

dominicuan

Jane Cleland di bukunya Mastering Suspense, Structure, and Plot mendefinisikan surprise sebagai kejadian di cerita yang terjadi berlawanan dengan sangkaan atau dugaan yang dibangun. Surprise terjadi secara tiba-tiba dan tanpa pengetahuan pembaca sebelumnya. Bayangkan pesulap yang menarik koin dari telinga kita. Kita gak pernah tau ada koin di sana, kita gak pernah menyangka pesulapnya bisa mengeluarkan koin, dan semua itu berubah akibat satu tindakan yang pesulapnya lakukan.
            
            Bagaimana dengan suspense? Di Elements of Fiction Writing - Conflict and Suspense oleh James Scott Bell, suspense adalah upaya menunda resolusi. Kalo diliat, definisi ini tidak menyebut ekspektasi, sangkaan, atau dugaan. Itu karena pembaca perlu memiliki informasi, tidak harus lengkap atau utuh, tapi cukup untuk bisa membangun ekspektasi mengenai apa yang akan atau mungkin terjadi. Ekspektasi ini tidak akan dilawan atau diubah 180°, tapi kesimpulannya diulur selama mungkin. Selama diulur itu, kita tetap tau kemungkinan yang akan terjadi meski kita gak langsung mendapat konfirmasi apakah akan terjadi atau tidak. Menggunakan contoh pesulap, bayangkan triknya kali ini adalah menebak kartu yang kita ambil secara acak dari tumpukan. Kita tau yang terjadi di akhir triknya adalah si pesulap akan menebak kartu kita. Pengetahuan itu yang membuat kita betah, karena yang kita ingin lihat adalah kapan dan bagaimana triknya diselesaikan.
Reply

dominicuan

Oke, adegan pertama lebih singkat. 100 poin buat jawaban benar! Apa yang bikin adegannya lebih singkat? Bom meledak lebih cepat di adegan pertama dibanding yang kedua. Bahkan di adegan kedua kita gak tau apakah bomnya bakal meledak. Oke, 100 poin lagi! Sekarang perhatikan bomnya. Ada yang beda, kan? Bukan beda jenisnya, tapi penyajiannya di adegan. Di adegan pertama, kita baru tau ada bom setelah dia meledak, sedangkan di adegan kedua, kita tau cukup awal kalo ada bom dan selalu diingatkan keberadaannya sepanjang adegan berlangsung.
            
            Kenapa perbedaan ini penting? Karena contoh ini yang dipake sama Alfred Hitchcock (dengan parafrase gw) buat nunjukkin dua pendekatan agar penonton terus nempel ke layar: surprise dan suspense. Untuk seterusnya, gw akan menggunakan 2 istilah ini dalam bahasa Inggris karena sulitnya menemukan padanan bahasa Indonesia yang tepat. Surprise bisa diterjemahkan menjadi 'kejutan', tapi suspense? Gw mencoba menggunakan istilah ketegangan di post sebelumnya, tapi ketegangan lebih tepat diterjemahkan menjadi tension, dan seperti yang akan kita bahas nanti, tension adalah elemen yang dipake baik di surprise dan suspense.
            
            Tapi ngomongin soal surprise vs suspense, apa bedanya?
Reply

dominicuan

Kalian ngerasa gak kalo banyak cerita, terutama berbahasa Indo, berusaha membuat kita terkejut? Gak cuma di genre yang menjual kejutan; romance, drama, misteri, dll pun menggunakan teknik yang sama. 
          
          Setidaknya, itu yang gw rasain selama ngebaca beberapa karya di WP dan di platform lain. Rasanya selalu ada plot twist, cliff hanger, ato penggalan "tiba-tiba..." di sebuah adegan yang memberi sinyal akan ada kejutan, ato lebih tepatnya, agar kita merasa kaget. Iya bacaan gw masih terbatas (jujur gak bertambah pesat sejak gw mulai nulis), tapi gw cukup tergelitik. Apakah ini kebetulan ato fenomena yang lebih luas?  
          
          Gw pun mencoba merefleksikan dengan tren media kita. Genre horor secara konsisten merajai dunia perfilman, dan kita tau genre itu kental dengan kejutan. Di luar itu, seperti di film/series yang non-horor, seperti yang gw bilang sebelumnya, ada aja kejutan yang disajikan. Perlu diakuin, kejutan adalah salah satu yang sering kita denger sebagai teknik untuk membuat cerita seru dan tidak membosankan. Gw pun suka dikagetin, cuma di level tertentu, terlalu banyak kejutan membuat gw tidak terkejut lagi. Gw jadi mikir, apakah kita terlalu sering menggunakan kejutan sebagai alat? Kalo iya, memangnya apa alternatifnya?
          
          Buat yang baca karya gw, kalian menemukan gak banyak kejutan di sana. Gw gak bilang karya gw adalah contoh yang bagus, tapi gw make contoh itu buat nunjukkin kalo kejutan ato emosi kaget bukan satu-satunya yang penulis bisa pake. Ada emosi lain yang, meski serupa, punya cara kerja yang berbeda: ketegangan. Gw ngerasa, kayaknya emosi itu masih bisa dimaksimalkan lagi di lanskap cerita Indo.
          
          Ada banyak yang bisa kita pelajarin ketika ngebahas topik ini secara mendalam. Gw gak tau mana yang lebih baik: post dipecah per pekan ato dibuat panjang dalam 1 post. Gw tertarik mendengar pendapat kalian. Selagi menunggu, gw pengen tau apakah kalian juga ngerasa soal banyaknya penggunaan kejutan di media kita? Punya perspektif lain? Feel free to share it!

dominicuan

@231AgniKai37 I agree with you. Gw malah mau bilang kalo yang lu sebutin itu bukan sekadar trik, tapi elemen yang paling krusial dalam cerita!
            
            Fiksi adalah pelarian terstruktur dan terkontrol sehingga yang mengonsumsi bisa merasa menjadi bagian di dalamnya. Karakter adalah kendaraan yang pembaca pake untuk bisa masuk lari ke dunia fiksi. Bisa dibayangkan kalo kendaraannya gak sesuai dengan ekspektasi pembaca atau gak cocok dengan medannya, pelarian yang diinginkan bisa jadi gak maksimal dinikmati.
            
            Relatability adalah indikator yang biasanya dipake buat ngecek seberapa cocok karakter dengan cerita dan pembaca. Gw seneng banget karena lu menggunakan 2 contoh yang menunjukkan wajah berbeda relatability :)
            
            Di contoh pertama, kita ngeliat relatability sebagai kesamaan atribut eksternal karakter dengan pembaca. Kita mudah membangun ikatan atau kedekatan emosional dengan karakter yang berbagi pengalaman yang sama dengan kita. 'Pekerjaan' bisa dianggap sebagai label atau kemasan yang tersurat dan mudah dikenali pembaca. 
            
            Di contoh kedua, relatability gak bisa diatributkan ke kesamaan eksternal. Gak ada di antara kita yang punya Jinchuriki tersegel di dalam tubuh yang bikin kita diasingkan seisi desa. Tapi apa yang gak sama secara label eksternal tersurat, kita menemukan kesamaan di level internal tersirat. Kita semua pernah merasa asing dan bertahan melawan keadaan sulit. Gak kayak label atau kemasan di luar, perasaan itu sifatnya manusiawi dan universal. Latar belakang dan konteks kehidupan kita jelas beda dengan Naruto, tapi kesamaan kita adalah pengalaman emosional. Kayak yang lu bilang, kesamaan ini yang bikin kita merasa seperti melihat "diri sendiri" di dalam si tokoh.
            
            Topik ini sebenarnya layak banget buat dapet pembahasan mendalam. Tapi kayaknya udah banyak yang ngebahas ini juga. Terlepas dari itu, makasih banyak udah mau membagikan tipsnya. Sekarang penulis FF JKT48 yang lain bisa tau rahasia kenapa cerita lu sukses :D
Reply

231AgniKai37

@ dominicuan  pertama, saia minta maaf karena butuh waktu lama untuk membalas pesan ini, tiba-tiba—atau mungkin juga tidak—kesibukan kembali menelan saia.
            
            Dan kedua, untuk alternatif yang dapat saia pikirkan dan bagikan sekarang adalah dengan membuat karakter yang relatable. 
            
            One of the oldest tricks in the book.
            
            Dan lagi ini, sama seperti plot twist dan cliffhanger, bukanlah sebuah keharusan. Yah, sejak awal ini tak lebih dari trik sederhana. 
            
            Saia sendiri berkaca ketika membaca novel Bentala Sella dari Akaigita. Yah, meskipun saia sendiri sudah membaca novel pertamanya terlebih dahulu (Enigma Pasha di aplikasi ipusnas) akan tetapi alasan kuat saia ngebet beli novel keduanya itu adalah karena aspek relatable-nya. Saia beresonansi dengan pekerjaan Sella di bidang hidroponik, yang mana juga merupakan pekerjaan saia dulu setelah selesai kuliah. Dan saia pikir banyak pembaca mengalami hal yang serupa.
            
            Agar emosi pembaca dapat terikat dengan tokoh/cerita yang kita buat, seringkali pemicunya adalah dari aspek kedekatan antara karakter dengan realita kehidupan mereka. Dengan hadirnya aspek itu—seringkali membuat—pembaca jadi lebih cepat terkoneksi dengan cerita yang disajikan.
            
            Tentu, karakter yang kuat penokohannya tidak serta merta bergantung dengan aspek ini. Sebuah cerita yang imersif pun tidak harus memasukkannya sama sekali. Akan tetapi, jika berbicara tentang bagaimana cara agar pembaca dapat bersimpati lebih cepat pada karakter yang kita buat, maka trik ini adalah salah satu yang saia anjurkan.
            
            Ambil saja contoh dari anime Naruto. Salah satu alasan yang mendongkrak kesuksesan cerita tersebut adalah karakter Naruto yang relatable. Sang Underdog yang ingin membuktikan pada orang-orang tentang dirinya. Dan saia rasa itulah mengapa banyak orang menyukai karakter itu (meski tentu ada aspek lainnya juga) karena mereka merasa dekat dengan apa yang dialami Naruto. Dan mereka mendukungnya, berharap Naruto berhasil karena mereka seperti melihat diri sendiri.
Reply

dominicuan

@231AgniKai37 Iya gw setuju. Kita berhadapan dengan banyaknya judul di luar sana, sedangkan di saat yang sama, attention span semakin rendah. Pembaca perlu tertarik secara cepat dan mempertahankan ketertarikan tersebut yang bisa pergi dengan cepat. Gratifikasi instan adalah salah satu cara yang memanfaatkan fenomena itu; kejutan, cliffhanger, plot twist, dll. Wattpad, boleh dibilang, adalah bukti kalo cara ini berhasil!
            
            Menarik karena lu menyebutkan soal kebanggaan penulis ketika menghasilkan plot yang tak tertebak. Menulis berisiko menjadi kegiatan yang overindulging; ditujukan untuk kepuasan penulis dan bukan pembaca. Lebih parah lagi, kita mengorbankan plot yang koheren, karakter menarik, latar yang menggugah, pengalaman emosional, eksplorasi tema, dan aspek kualitas menulis lainnya hanya untuk mengejutkan pembaca. Pembaca ingin terhibur, dan seperti yang kita tau, kejutan bukan satu-satunya cara menghibur di sebuah karya.
            
            Pertanyaannya buat para penulis, terutama kayak kita yang pemula, adalah apa alternatifnya? Karena gak bisa dipungkiri, kadang sesuatu menjadi lumrah karena keliatannya kayak gak ada alternatif lain. Lebih bagus lagi, buat apa mencoba di luar yang lumrah kalo itu aja udah berhasil. Yang artinya, post gw yang ini dan setelahnya gak lebih dari angin lalu aja sebenernya :D
            
            Berkaca dari pengalaman lu, alternatif apa yang pernah lu pake untuk menggantikan kejutan ato shock value di karya lu? Apakah menurut lu alternatif itu bisa dipake lebih sering ato dimaksimalkan lagi di cerita-cerita yang ada di sini ato pasar Indo secara keseluruhan? It'll be fun to hear if you have anything to share to us!
Reply

dominicuan

Kita sering denger dua istilah saat ngomongin penggunaan outline: plotter dan pantser. Plotter mempersiapkan outline sebelum menulis, sedangkan pantser lebih seperti improvisasi. Istilah lain yang mungkin dipake selain pantser adalah discovery writer atau discoverer, di mana penulis "menemukan" akan seperti apa ceritanya berkembang selagi penulisan berjalan.
          
          Dengan seringnya pesan soal penting dan harusnya outline sebelum menulis, keliatannya dari 2 istilah tadi, cuma ada 1 yang "benar". Setidaknya, itu kalo outline adalah syarat, yang sendirinya kurang tepat. Brandon Sanderson pun menggunakan perbandingan berbeda soal plotter vs discoverer. Plotter menghabiskan lebih banyak usahanya sebelum menulis, karena harus menyiapkan outline ato strukturnya. Discoverer menghabiskan lebih banyak usahanya setelah menulis, karena dengan tidak memiliki outline sebelumnya, kemungkinan ada lebih banyak penyesuaian setelah ceritanya terbentuk. Sanderson gak pernah menyebut yang satu lebih bener karena: a) keduanya tetap mengharuskan proses menulis cerita itu sendiri, dan b) keduanya tetap melakukan editing ketika draft pertama selesai. Bisa dibilang, keduanya cuma beda porsi kerjaan, di mana plotter lebih banyak di awal dibanding akhir draft, discoverer lebih banyak di akhir dibanding awal draft. Dilihat dari kacamata ini, gak ada yang bener dan salah, kan? Keduanya valid, tetap membutuhkan usaha, dan keduanya bisa menghasilkan cerita.
          
          Menulis adalah seni, dan layaknya semua upaya kreatif, sulit melabeli benar dan salah ke sebuah proses (tidak menghitung proses yang melibatkan pertimbangan etis karena itu di luar pembahasan ini). Outline, tidak outline, selama bisa membantu perjalanan seni kita, I say why not? Jadi terkhusus buat kita yang kecil hati untuk nulis karena sulit buat outline, just write! 
          
          Gimana menurut kalian? Apakah kalian merasa lebih plotter dibanding discoverer? Di antara keduanya? Mungkin kalian ingin membagikan perspektif kalian? Feel free to drop it here!

dominicuan

@Hedj__ Gw ngerti perasaan lu. Di kuliah yang sama, Sanderson pernah bilang kalo mayoritas penulis sebenernya berada di antara plotter dan pantser. Outline hampir pasti tidak sepanjang novelnya. Artinya, untuk tiap patokan ato marka di cerita yang kita rancang, kita tetap perlu mengisi perjalanan dari marka ke marka selanjutnya sampe selesai. Itulah kenapa Sanderson bilang kebanyakan penulis aslinya gonta-ganti antara plotter dan pantser. Gak semua detail langkah dalam perjalananya bisa kita siapkan sejak awal (yang ada outline-nya sepanjang cerita dan kita malah gak nulis ceritanya!).
            
            Memang sih, kadang ada kekhawatiran ketika kita melenceng dari marka yang kita buat. Tapi hey, inilah indahnya berkreasi! Ketika kita masuk begitu dalam ke cerita kita, kadang kita dikejutkan oleh keputusan ato kejadian yang hanya bisa dibuat dalam konteks plot dan karakter di ceritanya. Mungkin istilah lainnya adalah insting; ketika kita tau, sadar ato tidak, kalo melenceng dari marka adalah kejutan yang ceritanya butuhkan. Kejutan-kejutan ini yang memberi warna dan bumbu ke sebuah seni. Mungkin, sesekali kita bisa mendengarkan insting itu dan mengapresiasinya. 
            
            Setidaknya, Stephen King mungkin akan berbagi sentimen yang sama :)
Reply

Hedj__

Saya sangat setuju, dan memang bagian paling rumitnya ada di antara kedua itu: pantser maupun outliner.
            
            Saya sendiri adalah tipe perencana. Isi kepala saya cenderung abstrak, jadi agak sulit membayangkan apa yang akan terjadi secara linear ketika saya menyusun sebuah plot. Dengan adanya alat seperti struktur naratif, senggaknya membantu saya menyusun kepingan gagasan-gagasan tersebut menjadi susunan peristiwa secara kronologis, bagaimana tokoh dalam peristiwa tersebut bertindak, dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi ketika ada ide baru muncul, saya langsung tahu di mana meletakkannya, serta kenapa itu releva dalam cerita.
            
            Akan tetapi, di sisi lain, ini memaksa saya mengikuti rancangan yang sudah saya buat sendiri dan sangat dibutuhkan kreativitas extra untuk menyesuaikan diri. Kadang-kadang, ini juga menimbulkan frustasi apabila gagal dieksekusi sesuai harapan
            
            —Cheers
Reply

dominicuan

@CyberneticWanderer Wajar kok kalo bagi sebagian orang outline justru terasa canggung untuk digunakan. Stephen King sendiri menghindari outline karena menurutnya, outline membuat ceritanya terasa "udah komplit". Bagi dia, proses menulis itu justru bagian paling menyenangkan, terutama ketika karakter yang ia buat seperti menuntun arah ceritanya tanpa arahan si penulis. Jadi ya, dia salah satu contoh terkenal dari penulis yang tidak menggunakan outline secara baku.
            
            Mungkin yang gak banyak dibahas adalah, proses menulis sebenarnya terjadi di draft kedua. Draft pertama memang dan hampir pasti berantakan. Di draft kedua ini di mana kita mulai menyusun dan merangkai bentuk ceritanya. Dalam kasusnya Stephen King, di draft inilah dia baru merapikan ceritanya si karakter yang ia biarkan berkembang natural. Memang sih, level dia berbeda dengan kita yang masih pemula—beberapa kali dia menyebutkan paling sering ceritanya sudah komplit di draft kedua ato ketiga—tapi pendekatan ini tetap valid. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan penggunannya untuk proses berkarya!
Reply

dominicuan

Ketika gw ngebahas soal outline, gw kira akan selesai di situ. Sekarang gw jatuh lebih dalam! Gw rasa, ketika ngomongin "aturan" menulis, tantangan terbesarnya adalah melihat sisi lain atau alternatif dari "aturan" tersebut. Lebih sulit lagi melihat alternatif itu sebagai pilihan yang valid, jika dieksekusi dengan baik.
          
          Sayangnya, gw belum nyiapin material buat post-nya :D Gimana kalo sekarang kita intermezzo lagi? Selama ini gw ngerasa seperti terjebak dalam gelembung kecil kalo soal bacaan. Mengingat gw bukan pembaca, bacaan gw terbatas sama yang beririsan dengan tulisan gw. Dalam kasus gw, biasanya gak jauh dari fanfiction atau cyberpunk. 
          
          Gw sering banget mengulang ini, tapi gw beruntung bisa kenalan dengan beragam author dengan gaya masing-masing. Gw bisa bilang berkat mereka gelembung bacaan gw makin membesar. Namun, belakangan ini, gw merasa ada yang mengganjal tiap kali gw mencari cerita baru untuk dibaca. Rasanya tiap judul, tiap sinopsis, tiap blurb, semuanya seperti cerita yang sama.
          
          Gw gak bilang kalo ini hal yang tabu. Cerita pastinya terinspirasi dari karya yang lain, dan wajar kalo ada elemen yang sama. Tapi yang gw rasakan jauh lebih dari sekadar kesamaan inspirasi. Rasanya seperti membaca cerita yang sama dengan nama dan latar yang diubah. Kadang gw suka bercanda dengan menantang seberapa jauh gw bisa membaca sampe ketemu plot atau trope yang sama dengan cerita lain. Sayangnya, tantangan ini yang bikin bacaan gw gak bertambah banyak dari sebelumnya :(
          
          Yang jelas ini gak ada hubungannya dengan bagus/jelek. Yang gw rasakan lebih simpel. Seperti... stagnansi. Seperti menginginkan sesuatu yang segar.
          
          Apakah kalian pernah ato sedang merasakan yang gw rasakan? Kalo iya, apa alasannya? Gimana cara kalian menanggapi perasaan itu? Mungkin kalian punya perspektif lain yang bisa menambah diskusi ini. Looking forward to hear from you guys :)

dominicuan

@231AgniKai37 Hei, gw percaya lu tau apa yang ingin lu lakukan. Kadang yang dibutuhkan cuma outlet untuk menyalurkannya. Sama seperti cerita di kepala kita :)
            
            Kedengarannya counterintuitive, tapi kita butuh lebih banyak penulis, fan atau original fiction. Meski gw setuju dengan tindakan tegas, gw akan sedih kalo suatu saat penulis seperti lu menyerah dan kehilangan semangat berkarya. Gw sadar gw bukan siapa-siapa dan yang gw lakukan gak ada artinya dalam skala besar, tapi gw harap dukungan kecil ini bisa menjaga penulis-penulis lain, termasuk lu tentunya, untuk terus memberikan yang terbaik untuk kita.
            
            So really, I should be one thanking you. Makasih karena mau membagikan pandangan, cerita, dan perspektif lu untuk kita semua :D
Reply

231AgniKai37

@ dominicuan  perang yang tidak bisa dimenangkan ya... Itu memang ungkapan yang cocok untuk situasi ini.
            
            Wkwkwkwk harus diakui mungkin saia sendiri sedikit lembek dalam menghadapi konflik. Bagaimanapun saia sebisa mungkin mencoba menghindarinya. Karena jujur, saia sendiri tidak menaruh dendam pada mereka yang melakukan aksi plagiarisme tersebut. Karena jelas bagi saia; sama seperti saia sendiri, mereka juga masih belajar (yah, walaupun itu tidak membenarkan tindakan yg 100% salah tersebut). Bagaimanapun sejak awal, mereka juga termasuk pembaca setia karya saia. Teman saia. Yang mengecewakan adalah mereka seolah tidak mengakui, setidak-tidaknya, mengambil inspirasi dari cerita saia. Bukannya saia menuntut credit. Tapi klw setidaknya mereka melakukan hal tersebut, saia bisa membantu mengarahkan mereka (walau yah, Saia juga masih belajar), dan saia tidak perlu ditempatkan dalam situasi tidak mengenakkan ini sendiri. 
            
            I don't know, I've been conflicted about this
            
            Mungkin saja memang saia yg terlalu banyak pertimbangan.
            
            Yah apa pun itu. 
            
            Terima kasih. Sungguh-sungguh terima kasih. Saia beruntung mempunyai teman seperti kamu. Yang selalu punya jawaban dan pandangan atas segala hal yang tidak saia ketahui. Ketika saia kesulitan dalam menyampaikan sesuatu, kamu selalu mempunyai kata-kata yang saia cari. 
            
Reply

dominicuan

@231AgniKai37 Gw baca notes yang lu bagikan di salah satu bab lu. Gw bisa membayangkan beratnya situasi yang lu alamin. Lu hebat bisa bertahan, dan itu sendiri mungkin pencapaian yang lebih bernilai dibanding kemampuan lu dalam menyelesaikan cerita. Maaf ya gw baru sempet mengucapkan itu sekarang.
            
            Kayak yang lu bilang, sangat wajar ketika kita ingin melindungi integritas karya yang kita buat dengan jerih payah. Sisi tegas gw pun menganggap ultimatum semacam itu adalah keputusan yang benar. Ide itu gratis, eksekusinya yang mahal. Plagiarisme sangat menyakitkan karena dia merengut apa yang membuat tulisan berharga: aktivitas menuangkan idenya itu sendiri. Bukan cuma penulis yang dilukai; pembaca kehilangan kesempatan membaca karya yang berharga dengan banyaknya plagiarisme di luar sana. Meski harus diakui, ekosistem platform ini yang gratis dan terbuka menjadi faktor kerentanan maraknya plagiarisme. Rasanya kayak perang yang gak bisa dimenangkan. Kadang tindakan ekstrem diperlukan agar pesan dan keresahan kita didengarkan.
            
            Di sisi lain, gw mengerti konteks lu. Karya yang lu buat bukan sekadar persembahan ke pembaca ato fandom yang lu gemari, tapi menjadi alasan kenapa lu masih di sini. You are writing a story for yourself. Menurut gw gak ada nilai yang sebanding dengan itu. Gw setuju dengan keputusan lu meski sangat menyakitkan. Lu punya batasan yang jelas, dan kalo batas itu dilanggar, gw mendukung kalo lu mau menindak secara serius. It's small, but you can count that I have your back.
            
            Permasalahannya tetap ada. Kita perlu akui, ini terlalu besar untuk ditangani sendirian. What we have, I think, is to support each other in any way possible. Karena pada akhirnya, korban terbesar plagiarisme adalah matinya suara penulis, baik plagiator maupun yang diplagiat. Mungkin gak bernilai banyak, tapi kita bisa raih kemenangan kecil itu; suara lu akan tetap dikenal oleh mereka yang benar-benar membaca karya lu :)
Reply

dominicuan

Belajar nulis itu ribet, bukan karena banyaknya materi yang perlu dipahami, tapi betapa banyak yang berkontradiksi. Tempat yang paling bagus buat melihat kontradiksi ini adalah semua "aturan" soal menulis yang berbeda tergantung siapa yang membagikannya.
          
          Istilah "aturan" sendiri punya konotasi yang kaku, seakan ada formula baku dalam menulis yang berbasis uji hipotesis atau teorama. Aslinya, "aturan" ini lebih seperti anjuran atau rekomendasi, kadang lahir karena banyak yang menerapkannya dan keliatannya memberi hasil yang diinginkan. Gak heran kalo anjuran ini bisa berbeda ketika mempertimbangkan perkembangan dari seni menulis. Misalnya, satu "aturan" yang sering kita denger adalah 'membuka cerita dengan aksi' dan jangan buang-buang halaman untuk mengenalkan karakter, dunia, dan konflik cerita. Buat yang sering baca literatur dari abad ke-19 atau 20, kalian mungkin menyanggah dan bilang kalo banyak cerita pada masa itu yang bertele-tele dan baru benar-benar dimulai setelah sekian puluh atau ratus halaman. Kenapa perbedaan "aturan" ini? Itu karena dengan banyaknya cerita yang beredar dan saling berkompetisi dewasa ini, tiap paragraf atau kata di awal cerita sangat berharga untuk secepat mungkin menjual ceritanya ke pembaca. Pertimbangan ini mungkin ada saat buku-buku klasik favorit kita pertama kali beredar, tapi semakin berkembang pasarnya, semakin banyak yang menerapkan anjuran soal 'memulai dengan aksi' dan efeknya ternyata sesuai dengan tantangan serta ekspektasi pembaca. Lambat laun anjuran tadi makin banyak dipake dan dibagikan sehingga statusnya menjadi sebuah "aturan".

dominicuan

Mulai aja sesuai ide yang terlintas. Mungkin cuma adegan yang kita belum tau karakternya. Mungkin cuma kutipan yang belum ketauan konteksnya. Mungkin penggalan soal latar yang kita belum tau plotnya. Coba tuangkan idenya dan biarkan ceritanya berkembang. Gak perlu khawatir kalo outline-nya belum ada, karna mungkin dia juga menunggu ceritanya tumbuh dulu; kita gak bisa memangkas bonsai dengan indah kalo tanamannya belum ada bentuknya!
            
            Lagian, kalo ada satu "aturan" soal proses menulis, adalah pilih yang paling sesuai dan membantu penulisan kita. Bagus kalo memulai dengan outline membantu kita, bagus juga kalo tidak. Keduanya bisa, kok, menghasilkan karya berkualitas :D
            
            Gw bukan figur otoritas dalam menulis dan yang gw sampaikan adalah opini pribadi. Bisa jadi kalian punya pendapat atau pandangan berbeda, dan menurut gw itu sah-sah aja. Setidaknya, gw berharap post ini bisa menenangkan temen-temen yang lagi kesulitan menuangkan ceritanya. 
            
            Rasanya udah lama banget sejak gw bisa menulis post panjang semacam ini. Gimana menurut kalian? Kalo ada yang punya pendapat atau ingin membagikan perspektifnya, feel free to share it with us. Mungkin kalian punya ide soal "aturan" lain yang ingin dibahas, jangan sungkan untuk kasih tau! I'm looking forward to hear your thoughts and feedback from this post :)
Reply

dominicuan

Sebagai penafian, gw gak bilang outline itu gak berguna atau gak penting. Beberapa penulis yang sering gw jadikan referensi selalu menekankan pentingnya struktur, yang mana outline termasuk ke dalamnya. Akan tetapi, semakin gw baca penjelasan mereka, gw menemukan satu benang merah: outline sebagai alat, bukan syarat. Sebagai alat, pertimbangan pemakaiannya adalah sejauh mana itu membantu kita. Mungkin pemakaiannya di awal yang membantu, mungkin juga nanti saat kita punya wujud ceritanya dulu. Malah proses terakhir tadi kurang lebih sejalan dengan sentimen beberapa penulis. Lagi-lagi, berbeda dengan kesan yang kita miliki saat melihat buku cetak atau yang diterbitkan di platform online, tulisan gak langsung jadi dalam sekali tulis. Kadang baru selesai setelah melalui puluhan draft. Kita tau kalo draft pertama memang berantakan karena kita ingin menuangkan semua cerita yang kita punya. Kita seakan sedang bercerita ke diri sendiri, di mana ide berbicara lengkap dengan segala gagapnya. Outline sangat mungkin belum ada atau belum lengkap di tahap ini, and it's okay, karena draft kedua adalah proses menulis ulang semua yang ada di draft pertama. Mungkin di draft ini di mana kita baru bisa melengkapi outline-nya, atau ternyata outline yang kita kira akan dipakai di draft pertama ternyata berubah lagi selagi memasuki draft kesekian. This is also okay. Poinnya adalah outline bisa berubah mengikuti wujud cerita atau dipakai untuk membentuk ceritanya. Garis merahnya adalah dia alat yang bisa kita pakai dan bukan syarat wajib untuk memulai cerita.
Reply

dominicuan

Gw paham pembahasan atau anjuran soal outline lahir dari keresahan penulis pemula seperti kita yang gak tau apa yang harus dilakukan sebelum menulis. Ide mungkin bukan halangan, tapi menuangkannya ke dalam bentuk yang runut, koheren, dan menghibur? Rasanya mustahil kalo kita gak punya poin-poin akan seperti apa ceritanya dari awal sampe akhir. Masuk akal bukan? Sama seperti pentingnya blueprint sebelum membangun rumah atau menyiapkan resep sebelum memasak. Contoh terbaik ada di platform menulis online. Kita terbiasa dengan cara kerja platform penulisan online di mana karya dikerjakan secara linear dan kronologis (ie., karya dibagikan urut dari bab/bagian pertama sampai akhir). Kita gak bisa menerbitkan bab tiga, lanjut ke bab 10, lalu bab 1, atau bab apa lagi sesuka hati kita, karena bukan begitu cara kerjanya, 'kan? Outline adalah syarat wajib untuk memastikan kita punya patokan bagaimana ceritanya dimulai dan berjalan sampe akhir, karena mengerjakan di luar urutan rasanya sulit dibayangkan.
            
            Lucunya, setidaknya dari yang gw pelajari, proses menulis tadi justru pengecualian dan bukan konvensi. Ada banyak yang menulis bukan untuk dibagikan di platform menulis online. Gak ada kewajiban untuk menulis secara urut layaknya di platform tersebut, apalagi kalo yang kita punya cuma lembar kosong. Bahkan, secara intuitif pun kita tau kalo kadang ide gak datang dalam bentuk matang. Kadang yang kita tau cuma tengahnya, atau akhirnya, atau cuma beberapa adegan, kutipan, atau penggalan yang kita belum tau posisinya di cerita. Kalo ide boleh datang dalam kepingan yang belum lengkap dan gak urut, mencoba mengurutkannya dengan kepingan yang ada bisa jadi menghambat penulisan kita. Kalo kita boleh menulis sesuai dengan kepingan yang kita punya, menunggu sampai kita punya outline atau memulai dengan itu bisa jadi mencegah kita untuk mulai menulis.
Reply

dominicuan

Semua tulisan yang gw buat, baik yang dipublikasikan secara umum dan tidak, adalah fanfiction. Gw percaya kalo fanfiction ≠ fiksi buruk karena, terlepas dari perbedaannya dengan fiksi orisinil, prinsip dasar menulis berlaku universal. Iya fanfiction mengambil pengetahuan, konsep, atau karakter yang sudah 'jadi' dari sebuah fandom untuk dikembangkan dengan menambah, mengurang, atau mengubah sebagian/seluruh dari konvensi fandom, tapi semua itu tetap membutuhkan pemikiran yang sebanding dengan proses menulis fiksi orisinil. 
          
          Selain itu, FF menawarkan ruang aman untuk berkreasi. Pembaca FF umumnya lebih toleran dengan kualitas struktural cerita karena fokusnya adalah kenikmatan bersama penggemar. artinya, kita bisa melihat FF sebagai taman bermain, tempat penulis belajar mengembangkan kemampuannya tanpa tekanan berlebih. Gw akuin, sedikit banyak, itu alasan kenapa gw memulai dengan FF.
          
          Keberadaan gw di fandom, khususnya JKT48, masih berumur jagung. Meski begitu, gw banyak banget baca FF yang kualitasnya menyaingi fiksi orisinal di pasaran. Bukan hanya ini makin meyakinkan gw kalo FF bisa punya kualitas dengan fiksi orisinal, gw jadi penasaran apakah persentase penulis FF yang menggunakan wadah ini sebagai tempat belajar ternyata lebih banyak dari yang gw duga.
          
          Buat kalian yang pernah atau masih aktif menulis FF, gw pengen denger perspektif kalian. Apakah kalian menulis FF sebagai tempat eksperimen untuk menyiapkan diri sebelum menulis fiksi orisinil? Apa pun jawabannya, gw tertarik mendengar gimana perjalanan kalian sejauh ini. Siapa tau, pandangan kalian bisa mematahkan stigma soal FF di antara pembaca Indonesia!

CyberneticWanderer

@dominicuan Sebenarnya kalo ngomongin pengaruh, gak terlalu ada sih soalnya bahkan transisi ke fiksi ori pun plot dan penulisannya masih berantakan (gak tau orang lain liatnya gimana, semoga revisi Cybernetica ini akan menjadi redemption arc :D). Tapi mungkin karena FF aku lebih bisa mengeksplorasi plot-plot yang gak pernah kepikiran buat bikin dan gimana cara bikin narasi yang tempting.
            
            FF dan fiksi ori itu banyak bedanya, dan jujur waktu pertama kali transmigrasi ke fiksi ori aku gak terlalu pede sama diriku sendiri. Bayangin Canva (yang aplikasi editing, bukan yang karakter fiksi). Ada ribuan template yang bisa dipake entah buat bikin presentasi or infografis, maka gitulah sejatinya FF. Pada dasarnya (tergantung penulis) karakter udah ada, plot tinggal samakan, dll. Beda sama fiksi ori, semua murni dari nol. Plot, karakter, setting, segala macam, semuanya murni dari pikiran sendiri (kecuali ngambil inspirasi itu gapapa). Itu masalahnya di aku. Banyak plot potensial, sampe plot twist dipikirkan sematang mungkin, bahkan original characters yang punya rate development yang stabil, tapi eksekusinya kurang. Selfishness itu yang melahirkan karyaku yang bisa dibilang sukses sekarang meski di mataku itu kurang baik. All I can say is, fiksi ori, kalo mau nulis, siap mental aja sih. Tapi selama kalian tau mau nulis apa, plis, tetep lurusin tujuanmu ke situ.
Reply

dominicuan

@CyberneticWanderer Hi! Gw belum sepenuhnya selesai baca semua bab yang udah direvisi. Kayaknya gw baru sampe bab 12/13? Kayaknya ceritanya berbeda dari draft pertama, which is very normal and expected for 2nd draft. Gw takut komentar gw terlalu prematur karena Cybernetica yang sekarang seperti cerita baru yang perlu berkembang sebelum bisa dinilai untuk kedua kalinya. Tentu kalo lu gak keberatan menerima komentar, gw dengan senang hati memberikan kalo gw ada kesempatan mampir lagi :D
            
            Karena lu pernah menulis FF, gimana proses itu mempengaruhi tulisan lu saat ini? Kalo lu gak keberatan, mungkin lu bisa membandingkan juga gimana perbedaannya saat nulis FF dan fiksi orisinal. Gw ngerasa ada banyak penulis FF yang ingin transisi ke fiksi orisinal, dan mendengar pendapat lu bisa jadi membantu pengambilan keputusan itu!
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan dari semua buku yang ku publish bisa dipastikan aku cuma punya sedikit yang full karakter original (Cybernetica *cough cough* btw gak pantengin bab-bab setelah revisi ngab?)  dan sisanya fanfiction Criminal Case Gue bisa bilang, dan ini juga berkaca dari 80% author yang kubaca karyanya, kalo FF itu gerbang utama dunia kepenulisan bagi kebanyakan orang. Plot bebas, karakter tinggal ngambil, bonus kalo diambil dari karya yang gede dan dikenal luas jadi banyak yang baca. FF itu banyak implementasinya, tapi selain itu gue gak bisa berkomentar banyak soal fiksi penggemar soalnya udah lama juga hiatus dari genre itu.
Reply

dominicuan

Gw inget pertama kali gw nerbitin cerita di sini, baru ada sekitar 150-an judul di tags 'cyberpunk'. Sekarang? Paling enggak udah ada 170 judul dan sekitar 4-5 judul baru dalam beberapa bulan terakhir. Artinya, genre ini cukup aktif buat penulis Indonesia (minimal di platform ini).
          
          Meski datanya anekdotal, ini cukup membuktikan kalo, seperti yang gw yakini, pasar Indonesia gak asing dengan cyberpunk, baik dari pembaca maupun penulis. Gak mengejutkan mengingat kita semua pernah terkspos media cyberpunk lewat film, game, kartun/anime, buku, atau komik/manga. Cerita di tags ini pun ada yang memiliki angka pembaca dan votes yang mencapai ribuan, meski gak sebesar cerita-cerita di tags 'sci-fi' atau 'fiksi ilmiah' (iya, cybepunk memang sci-fi, tapi gw ngerasa ada beats spesifik yang ada di cyberpunk yang gak perlu ada di sci-fi, sehingga gw menganggap keduanya di kategori berbeda).
          
          Gw jadi penasaran apakah ini sebuah tren yang akan terus berlanjut. Iya, pasarnya ada, tapi belum banyak penulis yang benar-benar mencoba cyberpunk, entah di platform gratis macam ini atau penerbitan konvensional. Mungkin gw bisa mengerti kenapa gak banyak cerita cetak bergenre ini; risiko bisnisnya jauh lebih besar ketimbang diterbitkan gratis di sini. Tapi kalo gitu, artinya pasar kita sebenarnya belum siap dengan cerita semacam ini, yang berarti kesimpulan gw di atas gak akurat :D
          
          Kalo kalian nemu post ini, gw pengen denger perspektif kalian. Gw masih baru dan gak bisa dibilang penggemar cyberpunk, tapi tertarik dengan fenomena ini. Seru ngebayangin suatu masa di mana genre seperti cyberpunk bisa lebih ramai di Indonesia. Berkaca dari sampel platform ini, mungkin permintaannya akan terus tumbuh kalo makin banyak judul yang terbit.
          
          Karena kalo benar begitu formulanya, mungkin ini yang ngejelasin betapa sepinya cerita neo-noir di platform ini!
          
          Anyway, feel free to drop by and share your thoughts!

dominicuan

Oke, kayaknya gw tau apa yang cocok ditanyain ke penulis dan pembaca. Gak selamanya kita suka dengan seluruh film atau buku yang kita konsumsi. Kadang yang bikin kita kecantol ato keinget terus malah salah satu adegan di dalamnya.
          
          Bukan berarti karyanya jelek. Nyatanya, penulis atau sutradara (kalo ngomongin film) kadang memulai dari adegan. Sulit buat ngebayangin akan seperti apa jalan ceritanya dari awal sampe akhir (ini lebih terasa untuk penulis yang lebih "discoverer" kalo minjem istilahnya Stephen King). Lebih mudah untuk memulai dari satu adegan di kepala yang ingin kita jadikan referensi untuk membangun ceritanya.
          
          Kayaknya seru kalo kita bisa ngobrol soal adegan dari 2 sudut pandang: penulis dan pembaca.
          
          Nah buat penulis, adegan seperti apa yang paling kalian suka tulis? Suka bisa memiliki banyak arti; suka karena mudah, menantang, mengejutkan kalian yang nulis, dll. Bisa jadi kalian punya adegan set piece (kalo boleh minjem istilah perfilman) di tulisan kalian. Gw tau space-nya terbatas, tapi mungkin kalian bisa bagiin sedikit kenapa kalian suka dengan adegan yang kalian tulis.
          
          Buat pembaca, kalian sendiri suka adegan seperti apa? Adegan di sini merujuk ke bagian cerita di mana karakter melakukan sesuatu ato berdialog. Satu bab biasanya terdiri dari beberapa adegan; bisa juga satu bab terdiri dari satu adegan. Nah, gw ingin tau adegan apa yang kalian suka dan kenapa. Kalo ada contoh spesifik bisa lebih seru lagi!
          
          Sapa tau dengan begini baik penulis maupun pembaca bisa saling berbagi pandangan yang ikut membantu proses menulis dan membaca kita. So don't be a stranger and feel free to share your answer with us!

dominicuan

@CyberneticWanderer Sampe sekarang gw masih belum dapet kesempatan baca bukunya Tere Liye. Despite his controversy, I'm still curious about his actual works. Gw denger ceritanya banyak yang hit or miss, but I think it's prudent for me to hold judgement until I actually read something from him.
            
            Makasih banyak karena bersedia membagikan sampel adegannya. Apa yang membuat lu suka dengan adegan barusan? Gw rasa ini kesempatan buat sesama penulis ato pembaca untuk melihat proses berpikir dibalik tulisan kita!
Reply

CyberneticWanderer

@dominicuan $ebagai penulis, aku suka nulis narasi (atau monolog/dialog) yang, lengah dikit, nyerang psikologis. 
            
            "Jadi, kau ingin menjadi seorang seniman?"
            "Apa tidak boleh?"
            "Boleh. Hanya saja..."
            "Aku ingin menjadi seniman terbaik di dunia! Dan tidak ada yang bisa menghentikanku!"
            "Kau tidak bisa. Kau sudah menjadi residen tetap di tempat ini (rumah sakit jiwa) dan kau tak akan bisa keluar."
            (Ini dari buku Oneshot up-and-coming lainnya, lanjutan Project 945: The Koshmary Experiment karyaku juga, hehe)
            
            Kalo sebagai pembaca, adegan-adegan bertarungnya Tere Liye, they are my go-tos. Penggunaan onomatope-nya emang banyak, kebanyakan malah, tapi justru feels-nya dapat banget :)
Reply

dominicuan

Wattpad, for all intent and purpose, is social media platform. Dan gw bersyukur karena sejak gw aktif di sini, gw bisa ketemu banyak penulis dan pembaca; seperti kalian yang baca post ini! Sebagai platfrom media sosial, kita ditemukan oleh ketertarikan yang sama: dunia literatur dengan segala genre dan style di dalamnya.
          
          Gw udah sering berbagi ke kalian, tapi rasanya gak adil kalo ruang ini cuma dipake oleh gw. Seni menulis kaya akan keragaman dan gw pengen kita bisa lebih mengapresiasi keragaman itu. Bahasan yang gw bagikan memang rangkuman dari buku ato penulis lain yang sifatnya mendasar, tapi bukan berarti mereka adalah hukum ato aturan baku; sama seperti seni pada umumnya.
          
          Di kesempatan ini, gw pengen ngasih kesempatan buat kalian para penulis. Tips apa yang kalian pelajari yang membantu penulisan kalian? Kalian punya cara menulis berbeda ato gak biasa yang ingin kalian bagikan? Ato dari banyaknya cara/tips yang kalian pernah coba, mana yang cocok dan tidak cocok buat kalian? Sapa tau dengan berbagi, kalian bisa jadi inspirasi buat sesama penulis!
          
          Kayaknya seru kalo kita bikin topik serupa yang ngasih ruang juga buat pembaca. Gw coba pikirin apa yang cocok; silakan kalo kalian punya ide! Tapi buat sekarang, temen-temen penulis yang baca post ini, feel free to share what you can about your writing process to us!

dominicuan

@CyberneticWanderer Rasanya udah lama banget sejak gw terakhir update chapter terbaru. Untungnya gw masih menyempatkan buat baca cerita-cerita di sini (termasuk revisi Cybernetica!).
            
            Makasih kalo gw dipandang sebagai mentor. Gw rasa istilah itu lebih tepat buat orang-orang yang ilmunya gw serap dan rangkum, so shoutout John Fox, K.M. Weiland, Brandon McNulty, Brandon Sanderson, dan beberapa nama lagi yang gak bisa gw sebut di ruang terbatas ini!
            
            Gw senang karena lu mau membagikan penyemangat lu. Gw yakin banyak di antara kita yang melakukan ini atas dasar kecintaan dan hobi. Mendengar penyemangat bisa jadi pemantik yang dibutuhkan untuk terus berkarya dan membagikan cerita. So thank you so much, and for anyone looking for another cyberpunk/sci-fi action story to read, do visit their profile!
Reply

CyberneticWanderer

@ dominicuan  pertama, ini Kak Dom keknya mencoba lebih aktif di WP dan gue suka (soalnya udah kek mentor tak resmi), hehe
            
            Kedua, tips untuk menulis? Aku gak punya tips kalo seputar kepenulisan yang berkaitan dengan tanda baca atau character development, tapi aku ada saran.
            
            If there's anything I've learned throughout my journey as a writer, that's to not be bound by limits. Whatever's stopping you, don't look. Whoever's stopping you, don't listen. Inspiration and imagination—they're all free. So don't be scared to write everything you want, everything you desire, everything that you can imagine! Dare to dream, dare to achieve. You are the author of your own story :)
Reply

dominicuan

Menulis di fandom JKT48 membuka diri gw ke tantangan yang belum pernah gw hadapi sebelumnya. Bagi kalian yang juga aktif di fandom itu mungkin menganggap ini bukan rintangan berat. Namun, bagi gw, gw mencoba memberi perhatian khusus ke stereotip gender di cerita gw.
          
          Dua fakta: FF JKT48 didominasi oleh karakter perempuan, dan gw bukan perempuan. Gw sadar kalo dunia literatur kadang masih terjebak ke gambaran kuno soal peran laki-laki dan perempuan. Dari sudut pandang lawan jenis, sangat mudah untuk terus mengulang gambaran yang kuno itu secara tidak sadar ke karya yang ditulis. Context matters of course; misal, menulis fiksi sejarah dengan konteks peran gender modern bukanlah pilihan tepat. Tapi di luar beberapa konteks spesifik, gw merasa ada andil dari penulis untuk setidaknya mengembangkan penggambaran gender ini ke arah yang lebih inklusif dan non-diskriminatif. 
          
          Gw gak bilang kalo gw mengklaim singgasana moral di topik ini. Ditambah lagi, berkaca dari pemahaman gw soal ekspektasi fandom, mungkin gak banyak yang mengkritisi ketika ada penggambaran stereotipikal ke karakter yang seringnya terinspirasi dari member JKT48. Gw sangat bisa acuh tak acuh dengan itu semua. Hanya aja, gw sadar dengan sifat dan bentuk cerita yang saat ini gw sajikan. Bahkan kalo kita lepaskan konteks bahwa karya gw saat ini adalah FF (malah udah gak bisa dianggap FF lagi pada titik ini), neo-noir bukanlah genre yang terkenal "bersih" dari stereotip gender. Lagi-lagi, gw gak menjadikan ini tujuan mulia, tapi sekadar percobaan untuk diri gw. Pun gw gak bilang cerita gw 100% bersih dari penggambaran stereotipikal. Setidaknya kalo gagal gak akan ada yang tau :D
          
          Buat kalian sendiri, gimana cara kalian menghadapi penggambaran gender di cerita kalian? Apakah kalian punya concern di aspek ini? Ato kalian yang pernah baca cerita gw dan punya kritik soal cara gw menuliskan gender apa pun di dalamnya, gw akan sangat senang mendengarnya!

dominicuan

@bluberrysoda Ah, dan konten medsos ini sifatnya umum, khusus di fandom, atau keduanya? Lagi-lagi, kedua istilah ini udah lazim banget dipake di nyaris semua fandom. Gw rasa gak ada yang mengejutkan kalo istilah ini juga akhirnya kepake di fandom Indonesia :)
            
            Gw bisa membayangkan ada kebebasan yang lu rasakan ketika gak ada komentar pembaca yang membatasi kreasi lu! Meski gak bisa dipungkirin kalo shipping (termasuk bagaimana dinamika shipping digambarkan) adalah hal lumrah di FF, gw salut karena lu memilih untuk fokus ke karakter sesuai visi cerita lu. 
            
            Makasih juga udah bersedia membagikan pendapat lu soal genderbending. Pada akhirnya, kita sebagai pembaca pun bisa mengenali intensi penulis ketika genderbending dilakukan karena konformitas ke pandangan heteronormatif. Tulisan adalah jendela ke konteks kehidupan penulis maupun dunia di mana dia hidup, dan suka gak suka, pengaruh dan sikap ke konteks ini akan tercermin di karyanya. Bukan soal apakah ini baik atau buruk, karena pembaca yang nantinya menilai.
            
            Dan waktu. Waktu punya cara kerja yang lucu dalam mengubah perspektif dan sikap kita :D
Reply

bluberrysoda

@dominicuan aku lebih ke sering lihat komentar maskulin/feminim, dom/sub di konten dari medsos, tapi nggak necessarily dapet komentar seperti itu di cerita yang aku tulis (which I'm very thankful), dan tentang ekspektasi fandom, aku nggak terpaku sama hal tersebut dan lebih menulis apa yang aku mau aja, yang aku suka. Kalau ngikutin ekspektasi gitu biasanya jadi beban dan malah ga selesai-selesai nulisnya, jadi mending aku tulis aja apa yang aku mau, dan biarin pembaca yang menentukan mau suka apa engga. 
            
            Soal genderbend, tergantung intensi penulis. Kalau untuk eksplorasi karakter, yes. Kalau untuk memuaskan pandangan heteronormatif dengan menghilangkan queerness, big no
Reply

dominicuan

@bluberrysoda Hi! Gw setuju kalo label maskulin/feminim ato top/bottom masih sering dijadikan stereotip dalam penggambaran karakter cerita. Menariknya, minimal dari pengamatan gw di beberapa fandom, istilah ini sangat sering muncul dan bahkan jadi hal pertama yang dikonfirmasi pembaca.
            
            Gak kalah menarik adalah ketika cerita dengan pasangan sesama jenis mengubah salah satu love interest menjadi lawan jenis. Fenomena ini juga ditemukan di fandom di mana pairings yang populer adalah sesama jenis. Sebenernya ada istilah "genderbend", tapi ada beberapa kasus di mana perubahan ini terjadi di dalam cerita; ada 1 yang pernah gw baca di mana perubahannya karena deus ex machina.
            
            Makin rumit lagi karena, seperti yang lu bilang, pasar kita masih memegang traditional gender norms, termasuk siapa yang "berperan" jadi maskulin/feminim dan peran ini masih dikaitkan dengan biological sex. Karakter yang berada di luar ekspektasi label ini jadi sulit dipahami oleh sebagian pembaca di Indo.
            
            Dari pengalaman lu, bagaimana cara lu menghadapi ekspektasi fandom ini? Membaca pesan lu, gw mendapat kesan kalo ekspektasi soal peran gender menjadi pembatas dalam menulis cerita, khususnya FF. Kalo lu gak keberatan juga, gw sangat tertarik mendengar perspektif lu soal genderbending ato mengubah kelamin salah satu karakter di fandom untuk cerita. I understand though that this might be personal or controversial, so feel free to skip these specific questions :)
Reply