Asiri tahu hidupnya tak panjang. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa waktu bukanlah kawan, melainkan jam pasir yang terus menipis tanpa menunggu belas kasih siapa pun. Karena itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak jatuh hati pada siapa pun; cinta terlalu mahal untuk seseorang yang sedang dihitung mundur.
Namun cinta, seperti biasa, tak pernah meminta izin.
Yejun datang pada suatu sore yang tak direncanakan ── seorang penulis yang gemar mengabadikan dunia lewat lensa kameranya. Ia terpikat bukan oleh tragedi Asiri, melainkan oleh keteduhan senyum yang tak ia tahu tengah memikul rasa sakit yang sunyi. Dan Asiri, yang semula ingin menjaga jarak, justru menemukan ketenangan baru pada tatapan pria itu.
Mereka sama-sama seniman ── Yejun dengan foto dan kata-katanya; Asiri dengan goresan warna yang hidup. Mereka sama-sama mampu menjadikan sesuatu abadi.
Namun tidak keduanya.
Karena salah satu dari mereka hanya akan bertahan dalam kehidupan, sementara yang lain akan amerta dalam karya.