Ini cuplikan kisah terindah tentang tanggal 18 April, dan selalu gue peringati setiap tahunnya:

1. Dia pura-pura kehabisan tempat duduk, lalu duduk di samping gue.
2. Sebelumnya, dia udah nyelipin secarik kertas kucel di saku jaket gue. Kertas yang gue kirim kemarin.
3. Dia pura-pura merhatiin si Pembicara dalam sosialisasi 'Kesehatan Organ Reproduksi', padahal sedari tadi, tangannya sudah berkali-kali mencoba untuk nyolek gue.
4. Akhirnya dia berani manggil gue.
5. Dia cuma bilang, "Pinjem buku sama pulpen lo,"
6. Dia ngomong ngadepnya ke depan, mana gue tau kalo dia lagi ngomong sama gue?
7. Gue kasih apa yang dia minta.
8. Dia menulis sesuatu di bagian belakang buku, dan gue tahu dia nggak mungkin lagi mencatat materi sosialisasi. Dia bukan tipikal orang yang peduli tentang teori. Apalagi kalo itu soal reproduksi.
9. Dan setelah itu, dia bilang "Nih, buku lo,"
10. Karena sedari tadi gue nggak memberi respon apa-apa, dia akhirnya memberi instruksi supaya gue baca sesuatu yang ada di bagian belakang buku.

Lo pasti tau itu apa.

11. Gue melongo bacanya.
12. Dia gemeteran menunggu jawaban.
13. Gue mastiin, dia lagi salah orang atau nggak.
14. Katanya, "Nggak kok,"
15. Gue jawab, "Iya, gue mau." Kalo gue jawab kebalikannya, itu munafik.
16. Dia seneng.
17. Gue seneng.
18. Kita seneng.
.
.
.
.
.
.
Dan semenjak itu hidup gue berubah menjadi sebuah fiksi. Nonfiksi yang difiksikan, mungkin? 
Dia bikin gue berharap bisa memanipulasi kenyataan. Dia nggak ngerti, Sementara gue juga sama nggak ngertinya dengan dia. 

Setelah semuanya benar-benar gue alami, gue pun menganggap semua yang terjadi adalah fiksi.

Dan setelah gue menganggap seluruh hidup gue adalah fiksi, gimana bisa gue berjalan sinkron sama kenyataan?