strawberries and cigarettes
ₐₗwₐyₛ ₜₐₛₜₑ ₗᵢₖₑ yₒᵤ.
"Ibuku bilang, dia ingin mencuci mulutku dengan sabun. Kamu paham maksudnya?" aku bertanya, melihat ke atas sampai leherku nyeri, tapi aku enggak peduli soalnya langit hari ini terlihat lumayan cantik seperti biasanya (sebenarnya memang terlihat seperti hari-hari biasanya).
Orang di sebelahku menoleh, aku tahu meski mataku enggak padanya, tapi aku bisa merasakan dia bakal bicara sesuatu. Dan aku benar, sedetik kemudian, dia bilang, "Kalau kamu sendiri, paham?"
Aku pingin tertawa. Pertanyaan kok, dibalas pertanyaan. Tapi karena suasananya enggak mendukung, aku menahan tawaku saja. "Katanya, aku kebanyakan bicara kotor. Ibu emang enggak suka kalau di rumah aku buat setitik kesalahan aja. Rasanya, tangannya kayak gatal untuk cepat-cepat menampar mulutku." Aku enggak menangis, serius, aku enggak menangis. Tapi ayunan yang aku duduki terus bergoyang, barangkali berusaha buat menenangkan aku yang agak(?) kalut.
"Eh, kamu haus enggak?" aku bertanya, random.
Alih-alih menggerakan mulutnya untuk menjawab, orang di sebelahku malah menggerakkan tangannya untuk menjangkau hal yang aku tebak sebagai bungkus rokok yang baru dicurinya dari toko Oom-oom tua yang ada di persimpangan jalan. Dia menyalakan rokoknya dengan pemantik warna seoranye langit, lalu menyesapnya sekali dan dua kali dan tiga kali.