Perceraian Yang Terduga
Wanita itu berucap terburu, waktunya tak banyak. Kalau bukan karena berkas perceraian harus ditandatangani oleh dua pihak, ia takkan sudi datang jauh-jauh ke apartemen kecil ini dan memaksa pasangannya bersegera menyelesaikan prosesi sidang.
"Aku ingin kau segera tandatangani semua berkas. Jangan buang waktuku lagi, aku sudah harus m—"
"Mengurusi kepindahanmu?" Terpotong oleh—calon—mantan istrinya.
Lalu diam.
"Tentu saja," tegas, padat, mantap dalam pengejaannya, "pertunangan kami akan segera dilangsungkan, aku harus segera memperjelas status ceraiku denganmu."
Jeda. Suasana di sekitar mereka pekat. Terlalu banyak tensi yang menggantung di langit-langit.
"Lagipula," ia menambahi, "kami akan punya bayi kembar yang sehat, tidak positif cacat seperti milikmu."
Naluri ingin melindungi bayinya membuat sang wanita hamil refleks merengkuh perut yang membesar itu. Bayinya memang sempat diprediksi cacat, namun dokter juga berkata bahwa ada kesempatan ia akan lahir sehat dan normal seperti bayi-bayi pada umumnya. Hanya ada ia dan bayinya sekarang.
"Kau bahkan tak ingin menemuinya dulu minggu depan?" Wanita yang tadi mengangkat wajahnya, menanya suara hati yang sejak sebulan lalu terus terngiang di benaknya.
Wanita yang satu lagi—yang tadi berkata akan segera melangsungkan pertunangannya dengan orang lain—memandanginya sejenak. Sorot matanya dingin, menciptakan atmosfer tidak nyaman yang langsung menguar ke seluruh sudut ruangan.
Kemudian, "Tidak perlu. Lagipula dia bukan darah dagingku, El."
Kecewa, namun tidak mengejutkannya.
Wanita yang akan melakukan persalinan minggu depan—sang wanita El—itu bisa saja tertawa ketika otaknya tiba-tiba mengaitkan ini dengan sebuah meme yang sering dilihatnya di laman Tumblr jika saja suasananya tidak seperti ini.
"Baiklah, bila ini yang kau pikir terbaik," Wanita El itu menghela napas pasrah, menyerah.