Sains fiksi harus menonjolkan bagian sainsnya. Tanpa 'sains' maka ia bukan sains fiksi. Sains sendiri terdiri atas ilmu pasti dan ilmu sosial, dan sains fiksi jelas ditulis dengan maksud menguji jika tidak meramalkan, apa yang akan terjadi terkait bidang sains yang sedang dibahas. Maka yang paling disoroti dari sebuah karya sains fiksi sejati adalah sisi sains serta dampaknya bagi manusia dan lingkungan.
Sains dalam sains fiksi haruslah berada dekat dengan sains yang sudah ada saat ini, dan dengan demikian dapat dibedakan secara jelas dengan karya fantasi.
Sains fiksi menuliskan hal yang 'mungkin secara ilmiah' menjadi seolah nyata dan dapat diamati dampaknya, contohnya karya Dytopian Young Adult seperti The Giver, Ender's Game, dan Maze Runner.
Sementara fantasi menuliskan hal yang mustahil menjadi mungkin, contohnya Artemis Fowl, Harry Potter, dan Narnia.
Namun jika anda berani, aspek fantasi semisal 'sihir' dapat anda arahkan menjadi sains fiksi dengan teori Fisika Kuantum, Relativitas, Dimensi, Kontinuum Ruang-Waktu, bahkan Theory of Everything. Contoh yang paling terkenal adalah film Journey To The Mysterious Island, Doctor Strange (2017) dan Ant-Man (2016). Semuanya punya aspek fantasi saat masih berupa cerita puluhan tahun lalu, tapi saat ini beberapa fenomena aneh bin ajaib dalam cerita tersebut sudah dapat dibuatkan teorinya yang tentu saja bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Setidaknya pada tahapan teori, fenomena 'fantasiyah' itu dapat terjelaskan, meski belum tentu demikian dalam kenyataannya.
Jika kau ingat, beberapa karya sains fiksi justru menginspirasi kemunculan teknologi masa kini. Handphone, internet, kendaraan terbang, hologram, superkomputer, bio-prostetik, dan perjalanan ruang angkasa dulunya hanya cerita dalam novel, namun sekarang telah jadi kenyataan.
Jadi, sudah se'sains' apa sains fiksimu?