Dalam terminologi psikoanalisis klasik, katanya, seseorang yang pernah terluka oleh cinta cenderung menekan dorongan afektifnya—menyembunyikan semua perasaan itu jauh ke dalam diri—dan menggantinya dengan skeptisisme terhadap setiap bentuk kedekatan baru. Dan mungkin, ya… itu benar adanya. Karena setelah luka itu, kita menjadi curiga bahkan pada hal-hal yang dulu terasa paling kita yakini. 
          	
          	Dan selama itu, selalu ada satu, atau dua orang, yang muncul entah dari mana, mencoba meyakinkan kita bahwa cinta tidak selalu seburuk itu. Mereka datang dengan niat baik. Sayangnya, kita sering kali menolaknya mentah-mentah. Dan tanpa sadar, dalam upaya itu, kita jadi sosok yang dingin, keras, bahkan tampak jahat di mata mereka. Padahal, yang kita lakukan hanyalah melindungi diri. 
          	
          	Apakah itu salah? Tidak. 
          	
          	Kita tidak salah karena berhati-hati. 
          	Kita tidak salah karena masih takut. 
          	Kita hanya sedang belajar lagi—pelan-pelan—tentang bagaimana cara percaya tanpa harus kehilangan diri sendiri lagi.