Aku benci saat situasi seperti ini, saat dimana kita harus beradu argumen. Lagi-lagi kau menangis, lagi-lagi engkau meronta. Selalu saja kau gunakan kelemahanku untuk mengalahkanku. Air yang merosot melalui pelupuk matamu, aku harus menepisnya lagi.
"Aku ga bisa, kamu selalu menuntutku berubah." Ujarnya seraya mengusap air matanya seperti anak kecil.
"Aku tidak menuntutmu. Ini demi kamu," kataku tenang.
"Itu saja yang selalu kamu katakan, demi aku-demi aku. Cinta itu harus saling menerima apa adanya!" Ia meneriaki wajahku.
Aku menghembus napas pelan, berharap luapan emosi segera memudar.
"Ah, ini dia permasalahannya. Kita memiliki persepsi yang berbeda. Menerima apa adanya, bukan berarti harus menerima apapun sikapnya. Kalau aku seorang pencuri, apa kau tetap menerima aku karena kamu mencintai aku apa adanya?"
Ia menggeleng.
"Mencintai apa adanya itu berarti kamu harus menerima dia bagaimanapun kondisinya. Persoalan fisik misalnya, kalau dia (maaf) pendek mungkin atau dia (maaf) punya penyakit. Kamu harus nerima dia apa adanya. Nah beda lagi persoalan sikap ataupun kebiasaan, ga ada salahnya kamu menegur dan minta dia buat berubah. Kalau benar cinta, ia takkan membiarkan sesuatu yang buruk melekat pada dirimu."
Ia terdiam membisu, dapat kutangkap pancaran penyesalan dari manik matanya.
"Maaf."