Aku meneguk pahit itu,
menghitung ulang kenangan yang tak seimbang,
dan akhirnya sadar,
aku lelah berputar di papan permainan yang kau buat.
Namaku masih sama,
tapi hatiku berubah bentuk karena terlalu lama menunggu giliran.
Apakah aku gila?
Apakah aku bodoh,
terus bermain dalam permainan yang cuma aku yang kalah?
Kalau aku bilang aku mencintaimu,
apa kau akan bilang aku keterlaluan?
Kalau aku bilang langit bisa membuatmu terbang,
apa kau akan menatap ke atas, atau tetap menunduk, pura-pura tak dengar?
Jangan tangkap aku dari apa yang kukatakan,
tapi pahamilah aku dari apa adanya aku.
Aku sudah tak ke mana-mana,
dua kakiku menjejak di pasir,
menolak pergi meski ombak terus mengikis perlahan.
Aku membaca ulang pesan-pesan lama,
tak satu pun bisa kupahami lagi.
Tak ada teori konspirasi yang bisa menyelamatkan perasaanku.
Hidup di momen ini terasa baik,
sampai sakitnya ikut duduk di pangkuanku dan memelukku diam-diam.
Aku cuma butuh seseorang.
Bukan pahlawan, bukan pengganti, hanya seseorang.
Kalau aku bilang aku mencintaimu,
apakah itu salah?
Kalau aku bilang aku masih menunggu,
apakah kau akan pura-pura tak tahu?
Jangan ambil kata-kataku,
ambil saja diriku.
Yang tersisa. Yang tetap.
Yang bertahan,
dengan dua kaki di pasir,
meski hatinya sudah setengah tenggelam.
Aku lelah menari di sekitar luka,
tajam dan dingin seperti pecahan kaca,
mencuri suaraku sedikit demi sedikit,
sampai aku hanya bisa berbisik,
“inilah aku, ambil aku sebagaimana adanya.”