smikiyy

Radioaktif
          	
          	Saya bersama puing-puing batu dan debu yang berkeliaran nakal. Ibu tertelungkup cukup dalam di bawah tanah, ketika ledakan itu tiba. 
          	
          	Namanya gedung Perta, semua orang berpesta di sana. Saya suka pertunjukannya, meskipun hanya lewat siaran di televisi, namun beberapa kali sangat menakjubkan. Terlebih saat ibu bilang bahwa paman akan menang lagi di Laga kali ini. Paman sudah pernah menang satu kali, dan cukup membuatnya kaya. Saya tidak mengerti kenapa ia ingin melakukan untuk kedua kalinya, melihat hidupnya sudah bergelimang harta. Ibu sempat khawatir dan bilang pada saya, begitulah orang tamak. Lalu, hal yang paling saya benci setelah pertunjukan  pun dimulai. Saya lihat sekitar, orang-orang juga tak lagi bersemangat. Kehilangan api. Hampir satu jam, tayangan dipenuhi darah. Saya tahu karena sesekali mencuri pandang karena penasaran juga. Sampai pada pertarungan sengit antara paman dan dua orang lelaki yang ternyata bersekutu. Batin saya, itu tidak adil. Hanya ada satu pemenang dalam Laga. Saya lihat orang-orang mulai memantik api lagi. Beberapa ada yang tersulut. Puncaknya, saat paman berhasil meraih Gong, semua terbakar. 
          	Meletup.
          	Bergemuruh.
          	Api di mana-mana. 
          	
          	Tapi, paman rupanya tak hanya menciptakan api, itu benar-benar ledakan. Menghancurkan arena. Gedung Perta. Puing-puing batu berjatuhan. Menimpa bar tempat kami menonton dan apa pun yang ada di bawah puncak yang meletup seperti brondong jagung. 
          	
          	Sesaat itu ibu mendorongku keluar bar. Saya tidak tahu jika benar-benar berteriak ketika semuanya terjadi. Telinga saya berdengung, sakit, jarak pandang terhalang oleh asap dan debu yang berkeliaran nakal. 
          	
          	Saya tak bisa bangkit, semuanya terasa patah. Kemudian tibalah gelap.

smikiyy

Radioaktif
          
          Saya bersama puing-puing batu dan debu yang berkeliaran nakal. Ibu tertelungkup cukup dalam di bawah tanah, ketika ledakan itu tiba. 
          
          Namanya gedung Perta, semua orang berpesta di sana. Saya suka pertunjukannya, meskipun hanya lewat siaran di televisi, namun beberapa kali sangat menakjubkan. Terlebih saat ibu bilang bahwa paman akan menang lagi di Laga kali ini. Paman sudah pernah menang satu kali, dan cukup membuatnya kaya. Saya tidak mengerti kenapa ia ingin melakukan untuk kedua kalinya, melihat hidupnya sudah bergelimang harta. Ibu sempat khawatir dan bilang pada saya, begitulah orang tamak. Lalu, hal yang paling saya benci setelah pertunjukan  pun dimulai. Saya lihat sekitar, orang-orang juga tak lagi bersemangat. Kehilangan api. Hampir satu jam, tayangan dipenuhi darah. Saya tahu karena sesekali mencuri pandang karena penasaran juga. Sampai pada pertarungan sengit antara paman dan dua orang lelaki yang ternyata bersekutu. Batin saya, itu tidak adil. Hanya ada satu pemenang dalam Laga. Saya lihat orang-orang mulai memantik api lagi. Beberapa ada yang tersulut. Puncaknya, saat paman berhasil meraih Gong, semua terbakar. 
          Meletup.
          Bergemuruh.
          Api di mana-mana. 
          
          Tapi, paman rupanya tak hanya menciptakan api, itu benar-benar ledakan. Menghancurkan arena. Gedung Perta. Puing-puing batu berjatuhan. Menimpa bar tempat kami menonton dan apa pun yang ada di bawah puncak yang meletup seperti brondong jagung. 
          
          Sesaat itu ibu mendorongku keluar bar. Saya tidak tahu jika benar-benar berteriak ketika semuanya terjadi. Telinga saya berdengung, sakit, jarak pandang terhalang oleh asap dan debu yang berkeliaran nakal. 
          
          Saya tak bisa bangkit, semuanya terasa patah. Kemudian tibalah gelap.