Sebagai orang yang takut darah, kayaknya asyik nulis cerita tentang pembunuhan sadis ya
like...
Bau anyir menyeruak dari balik semak belukar. Indera penciumanku bergerak-gerak saat bau itu kian memenuhi rongga hidungku. Rasa penasaran pun menang, dengan sangat hati-hati aku berjalan menuju semak-semak yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Tangan kiri mencoba menyeka semak-semak di depanku, membiarkan indera penglihatan melihat lebih jelas.
Sungguh aku tak berprasangka apa-apa...
Ah mungkin hanya kucing yang suka berkeliaran di kampus mati.
Atau mungkin bangkai hewan lain yang kalah karena adanya rantai makanan.
Namun yang aku temukan ternyata di luar bayanganku sama sekali.
Sepertinya aku harus mandi di laut atau setidaknya potong rambut setelah ini.
Seketika tubuhku tak bisa lagi bergerak, untuk mengerjapkan mata saja rasanya suli. Isi perut mendadak mulai bergejolak untuk dikeluarkan. Argh, mual sekali.
Spontan, kedua telapak tangan mencoba menghalau kimbab yang aku makan tadi pagi untuk keluar.
Namun tetap saja, pemandangan di depan membuat isi lambung keluar.
Seonggok mayat yang sudah membusuk terkulai di sana. Kedua tempurung lututnya hancur. Pun dengan perut bagian kanan yang menganga lebar. Usus-usus berserakan keluar. Bercak darah mengering di sekitar dedaunan yang ada di sana. Cipratan kotoran manusia pun meleber keluar dari usus besar.
Bau busuk dan kotoran manusia bercampur menjadi satu kian merasuki rongga hidung dan membuat isi lambungku memaksa untuk keluar.
Bagian wajah rusak setengah. Bola mata yang keluar, gigi-gigi yang menggantung di gusi akibat ditarik tak sempurna, serta bibir bawah yang robek sampai ke dagu makin menunjukkan betapa sadis sang pencabut nyawa.
Aku jatuh terduduk. Lambungku kini sudah kosong kala semua isi di dalamnya keluar. Mata dan hidungku pun berair. Pelan-pelan aku beringsut dari sana, menjauh dari mayat dan muntahanku sendiri.
Ah, sepertinya aku tak akan nafsu makan untuk beberapa hari.
.
.
.
.
.
ヽ(ー_ー )ノ