Sang Penguasa Langit (Part 1)

45 5 5
                                    

Desa Bambu Kuning. Sebuah desa kecil yang terkenal elok akan asrinya pemandangan yang di sajikan. Hamparan tanah lapang yang masih luas membentang penuh rumput hijau nan gempal. Suasana langit biru yang selalu cerah membuat hati selalu ceria. Dengan angin sejuk yang silir-semilir menambahkan rasa yang tak bisa lepas meskipun berkelana jauh hingga ke ujung dunia.

Namun, di suatu hari senin pukul sembilan pagi. Peristiwa idiosinkratik berlangsung. Langit tampak begitu mendung, terpapar awan gelap yang tebal tanda akan turun hujan. Di waktu yang bersamaan juga, di sebuah sekolah dasar. Ada seorang anak pindahan setahun yang lalu, dengan tubuh penuh memar terbalut seragam putih yang ia kenakan. Mendapat perundungan dari lima orang anak di dalam kamar mandi sekolahan. Nara Mandala namanya. Ia terbully di sekolah karena memiliki rumor tentang dirinya yang memiliki seorang ayah dari negara Westland. Memang benar Ayahnya keturunan orang Westland. Negara Westland adalah negari yang pernah menjajah seluruh bagian Negara Nusantara dengan begitu biadab. Tak luput juga dengan desa Bambu Kuning, yang pernah terjajah hingga meninggalkan luka yang tak berdarah

.

"Heh makhluk kotor! Kalau elu pengen enak sekolah di sini, elu mesti kasih semua uang lu. Ngerti lu!" Gertak Arya ketua komplotan lima orang anak tadi. Dengan tangan yang mencengkeram kerah baju Nara. Menodongkan muka di wajah Nara yang tampak menunduk tak berdaya.

"Iya baiklah." Sahut Nara singkat. Ia kemudian merogoh kantong sakunya, mengambil uang 2000 yang ia temukan di jalan pagi tadi dekat gerbang saat berjalan masuk menuju ke sekolahan.

"Apa ini? Cuma segini hah! Mana cukup uang segini buat gua!"

"Maaf. Aku nggak punya uang jajan. Itu juga uang yang tadi ku temukan saat berangkat ke sekolah."

"Hah... Gue nggak percaya. Lu itu anak pindahan dari kota. Apalagi lu anaknya penjajah. Mana mungkin lu nggak punya uang!" Ujar Arya dengan bengisnya sembari menamparkan uang 2000 Nara ke wajahnya.

"Ma... Ma' af... Aku berkata jujur." Sahut Nara yang terbata-bata dengan raut muka berubah nestapa.

.

Arya yang berhati bengis. Tak memikirkan hati Nara yang teriris. Arya yang geram sekarang bertambah murka. Ia mendorong keras tubuh lemas Nara hingga membentur wastafel yang ada di belakangnya. Benturan wastafel dengan badan Nara menimbulkan suara yang tak pelan "Dubrakk!!"

Badan Nara yang lemah itupun langsung tersungkur jatuh. Terbujur tengkurap pasrah dengan ekspresi kesakitan muncul di wajah.

"Hahaha... Dasar manusia sampah tak berguna." Ujar Arya dengan kejinya seraya mengguyuri badan Nara dengan air kencing bermaksud untuk menambah penderitaannya. Empat anak buah komplotan Arya yang ada di belakangnya bernama Danu, Bagas, Enda dan Jaka hanya mengacuhkan Nara yang di berlakukan semena-mena.

Nara yang tak dapat lagi membendung rasa sakit yang dirasa. Air matanya mulai merabas berjatuhan membasahi pipinya. Menunduk perlahan bermaksud meminta rasa iba. Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Arya dan yang lain malah bercekakan tanpa sedikitpun memberikan rasa belas kasihan. Terbahak-bahak melihat Nara tak berdaya. Sembari menginjak kepala Nara, Arya berkata "Makanya jangan bohong sama gue. Kalo enggak kaya gini akibatnya."

Nara yang nestapa benar-benar lemah tak berdaya. Pasrah saja dengan keadaan yang terjadi dengan pandangan mata kosong bercucuran air mata. Ia bahkan tak menanggapi perkataan Arya dan menghiraukannya. Meskipun sudah sering di rudung oleh Arya. Namun kali ini Arya terlewat batas. Tindakannya sudah bagaikan mangsa yang di makan hidup-hidup hewan buas.

.

"Bos ada guru datang!" Teriak Jaka yang menggema mengisi seluruh ruangan kamar mandi. Melihat guru datang dari kejauhan. Karena memang Jaka yang kali ini bertugas mengawasi keadaan sekitar di dekat pintu kamar mandi.

"Hah? Yaudah masukin dia ke dalam WC, abis itu siram lantainya agar tidak bau." Ujar Arya memerintahkan para anak buahnya.

Dengan cepat Bagas mengambil gayung yang ada di dalam WC dan memberikannya kepada Enda. Enda kemudian mengambil air dari wastafel lalu menyiram lantai dan badan Nara. Danu dan Bagas mengangkat paksa Nara. Ia di dorong sekali lagi hingga tersungkur di samping jamban duduk.

Nara hanya terdiam saja. Ia tampak sedang mengumpulkan racuan rasa yang ia fokuskan di matanya. Arya tak menghiraukannya. Enda yang selesai menyirami lantai, melemparkan gayung tersebut hingga terkena kepala Nara. Tak peduli dengan apa yang di perbuat, Enda malah mengancam dengan mata yang tajam "Awas kalo elu berani ngadu macem-macem sama guru. Kita bakalan lakuin hal yang lebih dari ini. Ngerti lu!" Ucap Enda bengis sembari menodong telunjuk kirinya.

.

Nara hanya terdiam saja dan tak sedikitpun merespon. Ia hanya menundukkan kembali kepalanya penuh penyesalan. Menahan sakit yang tertuang menyambar di sekujur badan. Membeku di dalam salju penderitaan. Meratapi rasa lara yang terus bertambah tak kunjung sirna. Arya menatapnya tanpa sedikitpun menyesal. Ia kemudian menutup pintu WC dan melangkah meninggalkan Nara yang terluka. Belum sempat pergi dari kamar mandi, sang guru sudah berada pada pintu mulut kamar mandi.

"Heh Arya, ngapain kamu sama yang lain istirahat malah pada di kamar mandi? Sembunyi-sembunyi ngerokok kalian ya?" Tanya pak guru

"Nggak ngerokok pak, ini saya sama temen-temen mau ganti seragam olahraga buat pelajaran nanti." sahut Arya

"Loh kok nggak jadi?"

"Ketinggalan pak seragamnya di loker"

"Oh begitu. Yasudah, bapak sudah nggak tahan lagi. Bapak mau ke WC"

"Iya pak. Silahkan pak"

Karena memang di dalam kamar mandi sekolah tersebut terdapat dua ruang WC. Pak guru yang tak sempat ke kamar mandi khusus guru itupun bergegas masuk di salah satu ruang yang pintunya terbuka. Arya kali ini selamat dari apa yang telah di perbuat. Ia pun dan komplotannya keluar pergi meninggalkan Nara yang masih di dalam. Nara yang masih terduduk lemas hanya bisa sedih dan kecewa. Termenung bersama suara guntur yang mengaung. Membelah jiwa di tengah awan mendung.

Nara MandalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang