Prolog

2K 118 2
                                    

Aku terdiam di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, pikiranku menerawang entah ke mana. Setelah melewati hari perkawinan sakral dengan Dito, setiap malamku terasa begitu panjang. Malam-malamku mencekam. Seperti saat ini, aku tak tahu harus melakukan apa.

Pandanganku jatuh pada bingkai foto yang terletak di meja kecil sebelah ranjang, di sana diriku terlihat sangat bahagia ketika dirangkul dengan hangatnya oleh Dito. Baju pengantin yang cantik, dekorasi yang indah. Ditambah segaris senyum yang tergambar tampan diwajahnya.

Bukankah aku seharusnya bahagia?

Aku memang salah, menceritakan perkosaan yang kualami kepada Dito saat kami akan melakukan malam pertama. Suamiku terpukul sejadi-jadinya. Aku tak tahu apakah ia mempercayai kata-kataku atau menganggapku sedang membual.

"Kenapa kamu menceritakan semua ini sekarang?" tanyanya kecewa.

"Aku takut Aa' akan kecewa dan membatalkan pernikahan kita."

Dito berdiri, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jari memutih. "Kamu pikir aku tidak lebih kecewa kalau kamu menceritakannya sekarang?" Dia berjalan ke arah pintu, meninggalkanku. "Akan lebih baik kalau saja kamu jujur dari awal, Nes!"

Begitulah awal mula kebekuan hatinya terbangun. Sejak malam itu ia tak pernah menganggapku ada, kecuali di depan ibunya. Dua minggu setelah pernikahan kami, ayah Dito meninggal karena kanker usus yang sudah lama diderita. Keputusan membawa sang ibu tinggal bersama kami, sedikit membuatku tenang. Ibu sayang padaku, beliau juga pencair suasana rumah tangga kami. Aku pun beranggapan bahwa Dito semakin tak berdaya menceraikanku berkat peran ibunya.

Entahlah, dia mempertahankan pernikahan kami karena masih berkabung atas kepergian ayahnya--sehingga segan menambah beban pikiran untuk ibunya, atau karena masih mencintaiku? Aku ragu.

Sebelumnya, hanya pada Dito aku menaruh keyakinan. Ia pria paling baik dan tulus yang pernah kujumpai. Namun, perlakuan dinginnya selama dua bulan ini membuatku kehilangan percaya diri.

"Aa, udah larut. Sebaiknya kita tidur," tegurku padanya yang sibuk di meja kerja. Seperti biasanya, Dito diam. Abai, tak membalas ucapanku.

Aku tahu dia sibuk, tapi toh masih ada hari esok. Apa pentingnya uang kalau akhirnya ia tumbang karena kelelahan. Memang, tepat setelah ayah mertuaku berpulang, kesibukannya bertambah dua kali lipat. Dito mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, yakni menjadi staf akunting sebuah bank swasta. Ia meneruskan usaha sang ayah, mengelolah perusahaan manufaktur keluarga yang bergerak di bidang produksi kertas. Aku dengar perusahaannya sedang berdarah-darah menutup defisit. Dito dalam situasi sulit. Wajahnya semakin hari semakin kusut. Kurasa dia stres berat.

"Lanjutkan besok." Aku menghampirinya. Menghentikan tangannya yang menari di atas papan ketik laptop.

Dito menatap tak suka padaku untuk sepersekian detik. "Tidur saja. Jangan ganggu aku!"

"Masih ada hari esok, Aa." Sejak pacaran dengannya, panggilan 'Kak' untuk Dito aku ganti menjadi Aa. "Kamu harus jaga kondisimu."

Dito berhenti, setelah menyimpan beberapa berkas, laptopnya dimatikan. Kupikir ia akan berdebat denganku, rupanya tidak. Dito langsung ke tempat tidur, memejamkan mata sambil memunggungiku.

Seperti biasanya.

Keesokan hari, saat aku menyiapkan sarapan di bantu oleh ibu. Dito turun dari lantai dua, masih dengan baju tidurnya.

"Aa enggak ngantor?" tanyaku heran.

"Buatkan aku teh hangat, sepertinya aku demam." Dito menghampiri kami di dapur.

Tanganku reflek mendarat di kening dan pipinya. Panas. Cukup tinggi sepertinya, hingga kulit muka Dito kemerahan. "Aa duduk dulu, aku buatin teh dan bubur."

"Jangan lupa bawa Dito ke dokter, Nes," tambah Ibu yang sedari tadi memperhatikan kami.

"Tidak perlu. Aku cuma butuh istirahat dan minum obat." Dito duduk di meja makan, menunggu sambil membaca koran. Ibu menghampirinya, memberikan wejangan-wejangan agar puteranya lebih menjaga kondisi.

"To, jangan keras kepala. Ke dokter aja lah. Sekalian ke dokter kandungan, ngurus program hamil. Biar ibu segera menimang cucu."

Jantungku serasa diremas-remas. Andai ibu tahu, kalau puteranya belum pernah sekalipun menyentuhku.

Bagaimana mungkin aku bisa hamil, Bu? Batin Agnes pilu.

***

Bersambung....

ISTRI RASA JANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang