"Aa yakin, tidak mau pergi ke dokter?" tanyaku sambil meletakkan air putih di nakas sebelah ranjang.
Dito yang tak sepenuhnya tidur hanya menjawabku dengan gelengan. Aku sudah membiasakan diri menerima perlakuan dingin dan kasarnya, tapi tetap saja. Setiap kali dia tidak sungguh-sungguh menanggapiku, hatiku sakit.
"Aku tahu Aa benci aku. Kecewa sama aku. Kalau memang Aa' tidak ingin melanjutkan pernikahan kita, aku siap lepasin cincin kawin ini."
Dito membuka mata, menatapku nanar. Lalu berkata, "Keluar. Aku mau istirahat."
Dadaku seakan di palu. Nyeri luar biasa hingga langkahku terasa melayang di udara.
Aku turun ke lantai satu, melanjutkan pekerjaan rumah yang tertunda. Ibu tadi pamit ke tempat saudara, mau jenguk adiknya di Bogor. Jadi mungkin akan pulang sore. Sebenarnya aku sadar, ibu sengaja pergi untuk memberi kami privasi berdua di rumah. Harusnya beliau tak melakukan itu. Kepergiannya hanya akan menjadikan rumah ini beku.
Ding dong ding dong ding dong....
Bel rumah ditekan berkali-kali dengan cepat. Seperti seseorang menekannya dengan panik atau tergesa-gesa. Aku berhenti mengelap kaca. Berlari kecil di halaman, kubuka pagar kayu dan terkejut mendapati tamu yang datang.
"Nes, tega lo ninggalin gue nikah sama cowok lain." Tak kusangka Andra memelukku erat. Aku meronta.
Sialan.
Memangnya dia siapa? Main peluk tubuhku seenaknya. "Lepaskan!"
"Mana bayi kita?" Andra melepas pelukan, ia mengguncang pundakku sambil merancau kacau. "Jangan bilang lo aborsi bayi kita?!"
"Sebaiknya kamu segera bangun dari mimpi," sergahku sambil mendorong tubuhnya.
Andra menampikku. Ia merengkuhku kembali ke pelukannya yang mengintimidasi, penuh kerinduan.
"Lepaskan atau aku teriak!"
"Ndra jangan kayak gini, Ndra. Agnes tuh bininya orang sekarang." Syukurlah Tio datang menjemput paksa sahabatnya yang seperti orang gila lepas dari kandang.
Tio menarik Andra, sementara Andra tetap mempertahankan aku di dalam kungkungannya. "Gue enggak peduli Agnes udah nikah, bini orang, atau bini setan. Agnes milik gue, harus jadi milik gue. Titik."
"Jangan gila!" Aku benturkan keningku ke hidungnya. Andra mengerang dan terpaksa melepaskan pelukannya.
"Kejam lo, Nes." Ia meringis sambil mengusap darah yang mengalir dari hidungnya. "Sekarang mana anak kita?"
"Aku enggak pernah hamil anak kamu. Paham?!"
Tio yang merasa mimik wajah Andra berubah dan berbahaya, langsung menariknya pergi. Membawa Andra masuk ke mobilnya. Aku buru-buru masuk rumah. Kututup pagar rapat-rapat, sambil berdoa semoga Dito tidak terbangun dan mendengar kekacauan tadi.
Deg.
Saat aku berbalik, Dito sudah berdiri menatapku penuh tanya.
Matilah aku. Kalau memang Engkau takdirkan aku jadi janda, aku akan bersiap, Tuhan.
"A-Aa' udah dari tadi di sini?" tanyaku terbata.
Dito mengangguk tegas, tanpa kata, tanpa suara, tapi dari rahangnya yang mengetat, aku bisa merasakan amarah sedang merebus hatinya.
Kutelan saliva untuk membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba penuh sesak. "Aku bisa jelaskan, Aa'."
"Lalu jelaskan, siapa pria tadi?" Lebih dari dingin, suara Dito seperti tertelan oleh geletar.
"Dia Andra."
"Namanya tidak penting."
"Dia mantan yang..."
"Dia masih cinta kamu. Apa kamu juga masih suka dia?"
"Aa ... Aa ngomong apa, sih? Bagaimana mungkin aku menyukai seseorang yang telah memperkosaku." Tepat setelah aku keceplosan, halilintar di mata Dito menyambar lurus ke mataku.
"Jadi dia?!"
Ya Tuhan, sihir apa yang membuat mulutku meloloskan fakta mengerikan itu.
***
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RASA JANDA
RomanceAgnes tak pernah mengira Dito menjadi sedingin es setelah tahu dirinya tak perawan di malam pertama mereka. Menjadi istri yang tak ubah pajangan, tak pernah disentuh. Diperlakukan dingin. Ada tapi seperti tidak ada, Agnes kesepian dan lapar kehangat...