00. Awal dan Akhir.

176 24 63
                                    

"Maturnuwun, Kung," ucapku sembari mengambil uang kembalian dari sosok berumur setengah abad itu. Kakung hanya tersenyum ke arahku yang tengah melambai.

Sore ini, setelah dari kampus, aku sengaja membeli tahu petis di kedai kecil milik kakung yang sudah menjadi langganan sejak aku diberi tahu teman satu jurusan. Letaknya tak jauh dari tempat kost-ku. Rencananya, dari sini aku ingin menengok Abah yang sudah dua minggu ini aku absen tidak menengok beliau sama sekali. Sibuk perkara kuliah dan lain-lain.

Oh ya, Abah ini bisa dibilang salah satu orang yang berjasa sekali bagi aku pribadi dan hidupku. Itulah kenapa selama dua minggu ini aku merasa ada yang kurang karena tidak bertemu atau sekedar mengobrol dengan Abah. Pembawaan beliau yang asyik dan santai membuatku nyaman hingga aku malas beranjak untuk pulang. Abah sendiri sudah seperti sosok Ayah yang aku rindukan selama merantau di kota metropolitan ini hampir 4 tahun.

Untuk ke rumah Abah pun aku hanya berjalan beberapa blok dari tempatku membeli tahu petis tadi. Setelah sampai di depan rumah Abah, aku langsung masuk ke pekarangan rumah. Rumah Abah selalu ramai ketika sore tiba. Apalagi saat akhir pekan tiba. Banyak anak-anak sekitar perumahan yang datang tanpa membawa beban ke rumah Abah karena ingin membaca buku di perpustakaan kecil milik Abah yang diberi nama 'Pondok Baca Abah'.

Sedikit cerita dibalik Pondok Baca Abah ini. Dulu, cucu perempuan Abah yang sudah menginjak umur delapan tahun sangat menyukai buku, mulai dari fabel, ensiklopedia, anatomi tubuh, buku cerita islami, puisi karya Chairil Anwar pun sudah ia baca. Maklum, Abah sangat menerapkan literasi kepada anak-anaknya, alhasil cucunya pun ikut membaca buku yang setebal kamus bahasa arab dengan 1500 halaman. Ya, walaupun tidak dibaca habis. Namun, cucu Abah, Devita, tidak di beri kesempatan membaca hingga waktu yang lama. Di umur ke-sepuluhnya dua tahun lalu, Devita harus berpulang karena penyakit leukimia. Abah sempat terpukul, apalagi ketika melihat rak buku di kamar cucunya yang sudah benar-benar tak terjamah lagi. Akhirnya, Abah memutuskan membuat pondok kecil yang diisi berbagai buku menarik milik Abah dan cucunya.

"Assalaamu'alaikum!"

Tak perlu waktu lama, Abah keluar dari rumah sembari menjawab salamku, dengan baju koko, sarung dan peci hitam; khas pakaian Abah ketika sore tiba. Tampaknya beliau baru selesai sholat ashar. Kemudian beliau mempersilahkanku untuk duduk di tempat biasanya. Abah masuk kembali membawa makanan yang aku belikan tadi, dan keluar dengan nampan berisi sepiring tahu petis dan dua cangkir teh.

"Terimakasih, Bah."

Abah hanya tersenyum dan duduk di samping meja. "Piye Ndhuk, kuliahe? Lancar, to?"

Aku mengangguk. "Lancar, Bah. Abah sendiri sehat, kan?"

Beliau meneguk tehnya. "Alhamdulillah, sehat."

Bicara dengan Abah seperti ini saja rasanya seperti pulang. Di tengah kehidupan Jakarta yang selalu sibuk, beristirahat dan menemui Abah adalah opsi terbaik selama ini.

Sedikit tentang Abah, beliau ini seseorang yang eksistensinya sangat dihargai oleh warga sekitar. Semua orang di perumahan ini dekat dengan beliau, salah satunya aku. Bahkan orang-orang mengenalku juga karena sering berkunjung ke rumah beliau seperti saat ini.

Lalu yang aku suka dari sosok Abah adalah setiap kali aku berkunjung kesini, Abah selalu punya kata-kata yang menenangkan. Mungkin bagi beberapa orang akan berkata bahwa aku ini kolot, sebab bagaimana bisa aku akrab dengan lelaki dua puluh tahun mencicipi dunia fana ini. Namun bagiku Abah tidak sekolot itu. Bahkan Abah itu nyaris up-to-date perihal-perihal trend yang tengah marak. Abah jauh dari kata kolot. Mungkin kalau diibaratkan sebuah bangunan, Abah itu mewah, megah, luas dan lapang.

"Lagi ada masalah ya Nduk. Makanya wajahnya ditekuk terus. Gih, cerita sama Abah, nanti didengar." Abah menyesap tehnya lagi, kemudian membenarkan letak kacamatanya.

mengasoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang