Saya pun juga kalah pada semesta. Jangan tinggalkan saya Dilan.
Tapi lidah saya kelu, dan akhirnya saya melepasmu untuk pergi.
Jika pagi orang-orang biasanya dibuka dengan langsung menyambar smartphone di samping tempat tidur atau panik mencari dimana smartphone mereka diletakan, buat Rangga tiap paginya ia akan dengan rutin mematikan jam alarmnya lalu pergi ke kamar mandi dengan santai. Rangga punya prinsip, bahwa smartphone di pagi hari akan membuat moodnya berubah jelek karena sebagian besar isinya tentang kerja-kerja dan kerja walaupun ada satu chat rutin dari Dilan yang suka mengiriminya 'selamat pagi om.' ia selalu bangun pada pukul sembilan pagi dan bersiap untuk ke kantor, prinsip lain dalam hidup Rangga, 'tidak ada urusan kantor sampai pukul 10 pagi'. Tapi pagi ini prinsip yang sudah bertahun-tahun ia jalankan diganggu oleh pencetan bel apartemen Rangga ketika rangga sedang menyiapkan sarapan pagi untuknya.
'Ting-tong' dengan sedikit kesal Rangga membuka pintu apartemenya dan seorang petugas keamanan dengan sopan menyapanya.
"Selamat pagi Pak Rangga, maaf mengganggu pagi-pagi tadi ada yang menitipkan paket untuk pak Rangga. Katanya sangat penting jadi saya buru-buru anterin keatas."
"Paket dari siapa?"
"Katanya dari Ibu Luna Sastrowardoyo. Ini Pak paketnya. Saya mohon izin lanjut bertugas lagi." ujar petugas tersebut sembari memberikan rangga sebuah amplop coklat pada Rangga. Perasaan Rangga sudah sangat tidak enak ketika nama ibunya disebutkan oleh petugas tadi, apalagi yang ingin ibunya lakukan sekarang. Rangga benar-benar kaget ketika ia temukan sebuah undangan pernikahan dengan namanya dan seorang perempuan yang akan dilaksanakan satu minggu lagi. Perasaanya bercampur aduk, tidak seharusnya acara pernikahannya diubah tiba-tiba menjadi maju lebih cepat, bahkan sangat cepat dari rencana selanjutnya. Tangannya mengepal dengan keras, dan ia berusaha untuk tidak meledak saat itu juga.
Ya, Rangga memang akan melangsungkan pernikahan yang sudah dirancang oleh Ibunya untuk kelangsungan bisnis keluarga. Sebuah pernikahan atas nama bisnis yang Rangga sudah tunda-tunda selama hampir 11 tahun. 11 tahun dengan berbagai argumen untuk menghindari pernikahan yang ia sendiri juga tidak setujui. Tetapi semakin ia menunda, maka stok argumen yang dipakai juga semakin menipis, dan akhirnya kini ia tidak bisa mengelak lagi karena faktor umur dan ego dari keluarga besarnya.
Ia mendudukkan dirinya di sofa panjang di ruang tamu. Ia tiba-tiba memikirkan Dilan. Bocah SMA yang sudah hampir setahun menemaninya hanya untuk menjadi penghangat ranjangnya. Dilan, seseorang yang tanpa sengaja ia pilih lewat aplikasi dating yang berisi remaja-remaja seumuran Dilan yang mencari pria-pria berduit dan melakukan barter berbagai macam service hingga seks. Seseorang yang tanpa sengaja ia pilih ketika ia memang butuh distraksi dari semua tekanan keluarga dan kerjaan. Dilan yang membuatnya sedikit lebih relax dan menikmati momen yang ia jalani. Dilan yang entah kenapa menjadi pusat alam raya hidup Rangga saat ini, Dilan yang tidak sengaja ia sayangi lebih dari sekadar penghangat tempat tidur.
"BANGSAT !" Rangga mengambil vas bunga yang berada diatas mejanya dan melemparnya ke sudut ruangan. Belingnya berserakan dimana-mana tapi amarah Rangga belum juga turun. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya, seharusnya memutuskan hubungan dengan Dilan tidak akan menjadi bagian paling penting dalam hidupnya, tetapi perasaan aneh saat bersama Dilan dan bagaimana Dilan memperlihatkan berbagai macam warna di hidupnya membuat situasi makin sulit.
Ditambah lagi dengan undangan yang dikirim oleh Ibunya, hatinya semakin mangkel tak karuan. Ia harus menemui ibunya, dan menanyakan perihal ini.
"Halo, Rei. Lu bisa atur ulang jadwal meeting dengan klien yang di Jaksel itu ga?.... Ya gua ada keperluan hari ini.. Ya tiba-tiba banget. Oke thanx ya." Rangga menutup telponnya dan menaruhnya kembali di saku kemeja putihnya lalu memacu mobilnya menuju kediaman orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
kupikir kamu rumah
FanfictionSedari awal semua ini salah saya. Tidak seharusnya saya beranikan diri untuk berpikir bahwa kamu adalah rumah saya. Maafkan saya dengan semua kebodohan saya. Seperti janji saya, saya akan pergi.