Highest rank: #8 on sinb [28122020]
#2 on hwangjeon [02012021]
***
Kehadiran Ishana, si bungsu yang lahir dengan tuli kongenital, mengubah keluarga Ardhana selamanya. Satya, sang ayah, menolak menerima kenyataan itu, menjadikan Ishana sasaran kemara...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam itu, udara terasa dingin menusuk tulang. Di kamar lantai dua rumahnya, Ishana duduk di depan meja belajarnya yang sederhana, lampu kecil bersinar lembut menerangi notebook yang tengah diisinya. Dalam kesunyian malam, ia sedang menggambar sketsa wajah Jevan, teman sekolah yang diam-diam mulai menarik perhatiannya. Tangannya bergerak pelan dengan pensil, berusaha menangkap detail dari garis rahang dan senyuman hangat yang selalu membuatnya merasa nyaman. Ishana tersenyum kecil, membayangkan bagaimana Jevan berbicara dengan tenang, selalu memberikan perhatian penuh meski ia jarang merespons secara langsung.
Namun, malam yang damai itu tiba-tiba terganggu oleh suara keras dari lantai bawah. Bunyi barang yang jatuh—atau dilempar—terdengar jelas. Ishana berhenti menggambar, mengerutkan kening. Suara itu diikuti oleh teriakan pria, kasar dan penuh kemarahan. Itu suara ayahnya, Satya. Ia tahu suara itu dengan sangat baik, meski kini ia lebih sering mendengarnya dalam bentuk ancaman daripada kasih sayang.
Hati Ishana mulai berdegup kencang. Ia menurunkan pensilnya perlahan, menatap pintu kamarnya dengan ragu. Lalu terdengar suara ibunya, Jessica, mencoba berbicara dengan nada tenang, tetapi kata-katanya terdengar seperti tertelan oleh kemarahan Satya yang semakin memuncak. Ishana merasa cemas. Meski ini bukan pertama kalinya kedua orang tuanya bertengkar, malam ini suara mereka lebih keras daripada biasanya. Ia melepas alat bantu dengarnya, berusaha mengurangi intensitas kegaduhan itu, tetapi suara itu masih cukup keras untuk membuatnya merasa tidak tenang.
Apa lagi yang terjadi batinnya kala mendengar teriakan Satya dan Jessica yang semakin terdengar jelas.
Rasa penasaran dan kekhawatiran akhirnya mengalahkan rasa takutnya. Ishana bangkit dari kursi, menurunkan alat bantu dengar yang tadi ia lepas, dan berjalan pelan menuju pintu kamar. Ia membuka pintu dengan hati-hati, takut suaranya akan mengundang perhatian. Suara-suara itu kini semakin jelas, menembus lorong menuju tangga kayu.
“Jessica, kamu tahu berapa banyak uang yang hilang hari ini?!” suara Satya menggelegar, bergema di seluruh rumah. “Kamu cuma duduk di rumah, nggak ngapa-ngapain, tapi berani mengkritik cara aku mengelola bisnis? Apa hak kamu bicara begitu?”
“Satya, aku nggak bilang kamu salah!” balas Jessica, suaranya mulai pecah. “Aku cuma mau bantu, Mas! Aku cuma bilang mungkin kamu bisa mencoba cara lain—mungkin lebih bijak daripada mengambil keputusan buru-buru seperti ini!”
“DIAM!” bentak Satya lagi. Suara barang yang dilempar terdengar keras, diikuti suara pecahan kaca. Ishana merasakan tubuhnya membeku sejenak. Ia tidak tahu apa yang dilempar Satya, tetapi suara itu membuatnya menggigil.
Dengan langkah hati-hati, Ishana menuruni tangga. Tangannya menggenggam erat pegangan kayu, berharap keberadaannya tidak terdeteksi. Dari sela-sela dinding menuju ruang tengah, ia melihat kedua orang tuanya di sana.
Jessica berdiri di sudut ruangan, tangannya gemetar sambil memegang sebelah pipinya yang merah. Di depannya, Satya berdiri dengan ekspresi penuh amarah, wajahnya memerah, napasnya memburu. Di lantai, sebuah vas bunga tergeletak hancur, pecahan kacanya berserakan di sekitar kaki mereka. Ishana menahan napas, menatap pemandangan itu dengan ngeri.