Sabtu malam tiba dengan cepat. Dan itu membuat Theo gugup. Memang, ini bukan acara besar. Namun gambar hal-hal kecil sekiranya Luna lakukan semakin merangsek liar ke dalam kepalanya.
Theo dapat melihat itu. Bagaimana Luna akan tertawa, atau sedih, atau malah fokus pada film, dan bagaimana caranya membalas setiap kata yang keluar dari mulut Theo, bagaimana cara dia makan popcorn. Apakah Luna akan mengunyahnya lama seperti Theo atau malah cepat? Apakah mereka akan mengobrol? Dan apakah ada kesempatan lain lagi?
Oh, pasti akan ada. Theo yakin itu. Terlebih saat tahu kalau Si Scamander itu sudah melepas Luna. Theo tak akan kasih kendur kali ini. Karena cukup satu kali gagal. Theo tak akan membuatnya jadi dua kali.
Tunggu! Jangan berpikir aneh-aneh dulu. Theo tak ada maksud apapun pada Luna tentang gambar-gambar imajinasi di kepalanya. Itu hanya hal-hal kecil. Dan Theo tak berniat untuk melangkah lebih jauh dari itu. Theo tak suka melewati dua-tiga undakan tangga dalam suatu hubungan. Theo lebih suka selangkah demi selangkah.
Hal kecil saja. Seperti pulang bersama, bertanya kabar, mengobrol ringan. Theo harus menempuh itu dulu. Ia tak akan melakukan kesalahan yang sama. Itu memalukan. Sangat memalukan.
Theo tak akan seperti Draco yang suka sembunyi. Tidak pula seperti Blaise yang terang-terangkan. Jangan pula tanyakan Greg dan Vince. Mereka berdua selalu terjebak dalam lingkar zona teman dengan setiap perempuan.
Theo memandang ke cermin lagi untuk ke sekian kali. Seolah tak cukup untuk mengecek satu-dua kali, Theo kembali merapikan rambut cokelatnya, mencium kembali parfum yang dipakainya, dan bercermin lagi.
Setelah dirasa cukup, Theo keluar dari kamar dan berjalan melewati ruang kerja ayahnya yang terbuka dan menampakkan sosok pria dewasa yang tengah memegang lembaran kertas.
"Pergi ke mana?" tanya ayah Theo.
Theo tetap berjalan dan membalas dengan berseru, "Kencan! Tolong jangan halangi aku!"
Ayah Theo menggeleng dan membalas tak kalah seru, "Pastikan Ibumu tahu! Dia ada ruang tengah!"
Theo merutuk dalam hati. Padahal niatnya hendak kabur dari sepengetahuan ibunya. Malah ayahnya menyuruhnya agar ibunya tahu kalau dia pergi. Dan saat Theo mau mengabaikan perintah sang ayah, secara ajaib dia malah berpapasan dengan ibunya saat menuruni tangga.
"Tampan sekali, Anakku. Mau pergi ke mana?" tanya ibu Theo dengan nada manis.
"Argh, Ibu. Tolong biarkan aku pergi. Kau tak akan membuat anakmu ini terlambat menjemput seorang gadis, 'kan?" bujuk Theo.
"Oh! Kau akhirnya pergi berkencan setelah penolakan Daphne itu! Ibu senang mendengarnya. Siapa gadis ini, hah? Sampai-sampai membuat anakku yang tampan ini tak mau membuatnya menunggu barang sedetik," goda wanita berambut gelap dan panjang itu.
Theo melenguh dan segera berlalu begitu melihat celah.
"Nanti saja wawancaranya, Bu! Aku pergi dulu!"
Theo lari menuju garasi. Dilihatnya kendaraan yang ada di sana.
Mobil? Motor?
Apa yang akan membuat Luna berkesan?
Motor? Sudah lama sekali Theo tak menaikinya. Dan Theo juga ingin tahu apakah Luna pernah naik motor sebelumnya? Apa Rolf juga punya motor? Theo rasa tidak.
Jadi keputusan bulat, Theo memilih motor dan tanpa menunda waktu dia segera menjemput Luna.
Theo tahu alamat Luna, tentu saja. Theo pernah mendapat tugas bersama Luna dan menyelesaikannya di rumah sang gadis.
Begitu Theo sampai di rumah sederhana Luna, Theo segera mengetuk pintu. Dan betapa kagetnya saat yang Theo temukan adalah wajah ayah Luna. Theo tentu saja tahu karena saat mereka berdua menyelesaikan tugas bersama, Xeno — ayah Luna sedang di rumah.
"Selamat malam, Pak." Theo menyapa sopan.
"Malam," balas ayah Luna dingin sehingga membuat Theo menelan ludah sendiri.
"Ayah? Apa itu Theo?"
Suara Luna datang dari dalam dan menyelamatkan Theo dari gugupnya. Terlebih saat kepala Luna tersembul dari balik lengan Xeno, Theo menghela napas dengan lega. Namun itu tak lama. Karena napasnya kembali sesak saat melihat tampilan Luna secara keseluruhan.
Cantik. Sempurna.
Theo tak bisa berkata apapun. Bahkan matanya tak berkedip. Entah karena Theo yang tidak biasanya melihat Luna berdandan atau bagaimana.
Luna memakai pakaian biasa sebenarnya. Hanya blus putih setengah paha yang ditutupi dengan jaket denim berwarna biru muda. Senada dengan sepatunya.
Namun yang membuat Theo membeku adalah bagaimana rambut Luna digerai dan bibirnya yang sedikit lebih merekah karena polesan gincu. Lelaki tersebut tak biasa dengan itu. Karena Luna yang biasa dia lihat di sekolah adalah Luna dengan rambut diikat asal, berbibir pucat, dan tak terlalu peduli pada tampilan pakaian.
"Kami pergi dulu. Dadah, Ayah." Luna pamit dengan mengecup kedua pipi Xeno sedangkan yang dikecup sendiri melirik Theo dengan dingin. Theo hanya menggigit bibir mengetahui itu.
Kedua remaja itu lantas berbalik menuju motor Theo yang terparkir di tepi jalan. Luna terheran dan angkat bicara.
"Belum pernah melihatmu naik motor sebelumnya," ujar Luna waktu Theo mengambil helm dan membantu memasangkannya. Luna hanya diam dan menatap langsung pada mata cokelat Theo. Pemuda itu tak berucap sampai ia juga memasang helm sendiri dan duduk di atas jok sambil menyalakan mesin.
"Nah, sekarang kau melihatnya," balas Theo disusul dengan senyum yang dapat melumpuhkan hampir seluruh gadis di sekolah jika tidak disandingkan dengan senyuman Draco dan pemuda tampan lainnya.
"Tunggu."
Luna berhenti melangkah dan memerhatikan Theo yang melepas jaketnya dan mengikatnya pada pinggang Luna.
"Kau akan kedinginan nanti," tolak Luna.
"Tidak akan."
Luna ragu-ragu menerimanya. Dan saat sudah duduk di belakang Theo, ia langsung berpegang erat pada pinggang Theo. Itu membuat Theo kaget dan merinding. Pemuda itu tak pernah sedekat ini dengan Luna. Ia takut gadis itu akan mendengar detak jantungnya yang bagi Theo terdengar terlalu keras.
"Kau tidak akan kedinginan kalau begini."
Theo tak menyangka ini.
"Er, trims."
Theo segera melaju.
Ia menikmati ini. Bagaimana angin membelai pipinya, bagaimana Luna berpegang erat padanya. Sayangnya ia tak tahu apakah Luna merasakan hal yang sama.
Gadis itu terlalu terang-terangan dan polos. Dan karena itulah, Theo tak bisa membedakan mana yang menurut Luna memang harusnya begitu atau Luna memang suka itu.
Tidak mengerti maksud Theo?
Intinya begitu.
Mereka akhirnya tiba di bioskop. Dan saat hendak membeli tiket, Theo bertanya, "Mau nonton apa?"
Luna menoleh sehingga membuat rambutnya bergerak indah.
"Kupikir kau yang menentukan," ucap Luna dengan polosnya.
"Tidak."
Luna tampak berpikir. Matanya melihat pada papan-papan yang menyajikan poster-poster film terbaru.
"Baiklah kalau kau bilang begitu," gumam Luna.
Theo menunggu.
"Apa kau suka film horor?"
-
Catatan — Klise? Tunggu bab berikutnya. Terima kasih sudah membaca! (edited: aku baru sadar tertanya aku nulis garasi dengan bagasi T-T. Mohon maklumi. Aku nulis bab ini pas tengah malam).
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
Fanfiction[ SELESAI ] - Theo tidak memerlukan cahaya bulan untuk melengkapi dansanya. Karena Luna sebagai pasangannya sudahlah sempurna.