Satu gerombolan berisi lima pemuda melewati koridor. Seolah mereka adalah bangsawan, murid-murid yang lain langsung menyingkirkan badan mereka merapat ke pinggir sehingga memberi jalan lebih leluasa pada Pandawa itu.
Banyak bisikan. Terutama para gadis. Kadang di antaranya terselingi kikikan yang membuat telinga lima pemuda itu gatal dan sakit.
"Aku benci mereka." Salah seorang di antara lima itu berkata. Ia memiliki badan atletis yang tertutupi jaket tim basket. Kulitnya gelap. Tetapi senyumnya melebihi madu. Dan itu terbukti dari banyaknya gadis yang berderet dengan status sebagai mantan kekasihnya.
"Begitu-begitu, kau juga butuh mereka untuk prom night pekan depan. Kau sedang tak punya kekasih, 'kan, Blaise? Apa kau mau dansa sendiri?" balas pemuda berambut pirang mengilap yang pantulannya dapat menyilaukan mata siapapun yang memandang.
"Sialan kau, Drake." Drake hanya tertawa mendengar umpatan Blaise namun langsung cemberut saat Blaise melanjutkan. "Seperti kau sudah bisa membuat Granger mau jadi kekasihmu saja."
Empat lainnya tertawa kecuali Drake. Lelaki bersurai pirang itu segera memukul lengan Blaise tanpa niat.
"Padahal sudah empat tahun. Apa ini? Pangeran Draco kita tidak bisa menjinakkan Si Singa Betina?" Seorang lagi dengan rambut cokelat gelap yang senada dengan matanya meledek Draco.
"Theo! Kupikir kau dipihakku!" seru Draco dengan meletakkan tangan kanannya di atas dada kirinya. Berpura-pura seolah dia terluka dan sakit hati parah. Theo hanya mengendikkan bahu dan bergumam, "Fakta."
"Hah! Fakta? Kau mau bicara tentang itu? Dengar, aku tahu sebuah fakta yang jika satu sekolah tahu, mereka akan tercengang." Draco berujar dengan yakin. Dagunya terangkat bangga. Blaise yang penasaran mengangkat satu alis dan membenarkan tali tas olahraga yang dipakainya. Theo yang jadi sasaran menatap terkejut pada Draco. Mengira-ngira sendiri apa rahasianya yang sekiranya akan terucap. Sedangkan dua sisanya yang bertubuh besar dan tinggi di belakang mereka bertanya serempak. "Apa itu? Beritahu kami."
Draco menoleh ke belakang.
"Lihat, Greg dan Vince saja tidak tahu. Padahal kalian yang paling sering bergosip dengan para gadis."
Draco benar-benar menyebalkan kali ini, batin Theo.
"Jadi, Theo itu pernah ditolak oleh seorang gadis—" ucap Draco namun belum juga selesai, Greg memotong. "Bukankah memang pernah? Daphne pernah menolaknya."
Draco berdecak tak suka dan kembali membuka suara. "Itu sih wajar. Daphne 'kan cantik. Penggemarnya berderet. Dia mana mau kencan sama kutu buku macam Theo."
Tawa meledak. Theo berdecih dan membalas, "begini-begini, banyak yang antre, lho."
"Iya. Maksudku, wajar kalau Daphne menolakmu. Tapi Lovegood?" Draco akhirnya membongkar sehingga membuat Blaise, Greg, dan Vince serentak kaget.
Theo menatap tajam Draco. Sedangkan yang ditatap malah memberi seringai. Seolah tatapan tajam dan dingin itu tak cukup untuk menebas kepala pirang itu.
"Pada suatu hari yang indah di bulan September, Theo menemui Lovegood yang sedang sibuk menata berkas-berkas di laboratorium biologi. Oh, jangan lupa. Theo mendekatinya setelah memastikan Lovegood sendirian. Lalu, Theo menyapanya kaku dan basa-basa garing. Lovegood menjawabnya dengan baik. Kemudian tanpa aba-aba, Theo menyatakan perasaannya pada Lovegood dan menanyakan apakah Lovegood mau jadi kekasihnya. Dan akhir cerita, Lovegood menolak karena dia sudah punya pacar bernama — Wolf? Rolf? Aku tak tahu." Draco menjelaskan dengan nada seperti sedang menceritakan sebuah dongeng. Tangannya terlipat di depan dada setelah menyatakan akhir kata.
Sial, umpat Theo dalam hati. Matanya memejam. Membiarkan bulu matanya yang lentik membentuk bayangan.
"Benarkah, Theo?" tanya Blaise seraya merangkul Draco dan mendekatkan diri pada Theo. Draco yang di tengah merasa sempit. Tapi wajah malu Theo saat ini lebih berharga.
"Kau melebih-lebihkan!" desis Theo sembari mendelik ke Draco. Mata cokelatnya menusuk milik Draco yang kelabu.
"Apa? Itu yang kulihat. Aku mencarimu saat itu dan kulihat kau seperti sedang mencari seseorang jadi aku ikuti saja. Menunggu urusanmu selesai. Eh, malah ..." balas Draco tak mau kalah sehingga Theo hanya bisa membuang muka. Malas beradu mulut dengan anak yang dibesarkan oleh seorang politikus. Pasti pandai bersilat lidah.
Greg dan Vince tak henti-hentinya meledek Theo. Satu-dua kali mereka memukul bahu Theo pelan. Tetapi yang namanya Greg dan Vince, mereka berdua berbadan besar dan tenaga yang dikeluarkan untuk main-main saja membuat Theo kesusahan agar tidak terlihat lemah karena mereka. Sampai pada pukulan ringan ke tiga, Theo dibuat lengah dan malah menabrak seseorang di depannya.
"Maafkan aku—" ucap Theo spontan. Namun terkejut saat tahu bahwa itu adalah Luna Lovegood. Theo berbisik, "Luna?"
Gadis berambut pirang pucat itu mendongak setelah mengambil bukunya yang jatuh dan membalas, "Tak apa — oh,Theo? Hai. Apa kabar? Lama tak jumpa."
Luna tersenyum.
Theo membeku. Terheran dengan betapa lancarnya Luna Lovegood mengatakan itu. Terlebih saat dia menanyakan kabar. Theo bertanya-tanya apakah perlu Luna menambahkan senyum? Karena Theo rasa jantungnya selalu tidak sehat setiap melihatnya.
"Em, yah, hai juga. Aku baik. Seperti yang kau lihat — er," ucap Theo gugup. Lantas ia menoleh pada teman-temannya yang langsung tersenyum jahil.
"Baiklah, Theo. Kami rasa kami harus pergi sekarang karena harus mendiskusikan hal yang penting. Jadi — dadah!"
Wus! Mereka langsung lari dengan kecepatan kilat. Meninggalkan Theo yang berdiri dengan canggung di hadapan pujaan hati.
"Uh, apa kau mau pulang?" tanya Theo dengan konyolnya. Dia masih kaget dengan kehadiran Luna yang mendadak. Terlebih setelah kawan-kawannya tahu dan meledek terus-terusan. Theo jadi salah tingkah.
"Ya." Luna menjawabnya dengan ringan.
"Apa kau mau jalan bareng sampai depan?" tawar Theo tanpa pikir sehingga sedetik kemudian dia memejamkan mata dan merutuk diri sendiri.
"Tentu."
Mereka berjalan dalam diam. Tak ada percakapan lebih yang mengisi. Tetapi senyum yang Luna tebar selalu seperti mentari pagi. Sehingga Theo yang menyaksikannya senantiasa merasa hangat dan amat menyukainya. Tak peduli bagaimana orang berkata Luna adalah gadis aneh karena selalu bersikap ramah dan membicarakan hal-hal serta mengaitkannya tak jauh dari bau ilmu biologi.
Mereka tak suka bahasa bicara Luna.
Tapi Theo peduli apa?
Jadi, setelah mereka hendak berpisah jalan, Theo bertanya, "Kau ada acara sabtu malam besok?"
Luna menggeleng.
"Scamander?"
"Kami putus. Dia dapat beasiswa ke John Hopkins dan berkata bahwa dia tak yakin dengan hubungan jarak jauh."
Theo bersorak senang dalam hati.
"Apa kau mau menonton film bersamaku?"
Luna mengangguk.
Dan Theo tak bisa menahan senyumnya.
-
Catatan — Tidak-Theo-Sekali? Maaf tidak dapat memaksimalkannya. Aku lebih terbayang kalau Theo anak yang pendiam dan suka buku tapi tak separah Hermione. Hanya yang paling rajin di antara mereka berlima. Terima kasih sudah membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
Fanfiction[ SELESAI ] - Theo tidak memerlukan cahaya bulan untuk melengkapi dansanya. Karena Luna sebagai pasangannya sudahlah sempurna.