MOS

6 0 0
                                    

Author POV

Masa SMA, bagi Sebagian orang adalah 3 tahun terindah dan penuh dengan kenangan. Meskipun tak semua sebenarnya. Ada banyak kisah bullying di SMA yang mengakibatkan beberapa siswa yang katanya “lemah” terintimidasi, tersiksa, bahkan mungkin terbunuh secara diam-diam. Ada yang menemukah jodoh, menemukan jati dirinya, dan menemukan luka patah hati. SMA adalah jenjang rentan setelah SMP.

Tak terkecuali dengan Susan. Gadis tomboy itu juga memiliki cerita di masa SMA-nya. Suka duka kerap menghampiri kehidupannya yang sederhana. Kini semua hanya kenangan, masa lalu yang menjadikannya seperti sekarang, tak pantas ia persalahkan. Bagi kepalanya yang kecil, hidupnya sudah tersurat demikian, tak perlu disesali dan ditangisi berlarut larut. Cukup jalani dengan runut karena semua sudah diurutkan.
“Ini pasti akan segera berlalu, ya…. Semua akan cepat terlewati,” batinnya.

***

Ia melenggang dengan santai memasuki kawasan SMA N 1 setelah pamit pada ayahnya. Hari ini dia resmi menjadi siswa di sekolah tersebut dan seperti budaya di hampir semua sekolah, selalu ada MOS (Masa Orientasi Siswa) selama 3 hari. Konon katanya, itu untuk memperkenalkan sekolah tersebut pada siswa/i baru. Nyatanya, tidak demikian yang terlihat olehnya.

Hingga kini ia masih bingung apa tujuan dari kegiatan itu. Peraturan sekolah bisa dibuat dalam selembar kertas untuk dibagikan atau ditempal di mading. Mereka tak sepatutnya membuat siswa-siswi baru berada di bawah terik matahari dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 14.30 WIB. Memperkenalkan sekolah cukup dengan membawa murid baru berkeliling dan menyebut setiap ruangan atau apapun di sekitaran sekolah tersebut.  “Tapi ya sudahlah, mari menjadi orang bodoh selama 3 hari,” gumamnya sambil mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya pasrah.

Sejenak ditatapnya sekeliling sekolah tersebut dari pinggir lapangan. Bangunan satu lantai berjejer mengurung sebuah halaman dengan luas 50 x 25 m. Halaman itu difungsikan sebagai lapangan, terlihat  dari gawang di dua ujungnya. Penampilan yang sangat sederhana, berbeda dengan sekolah-sekolah yang pernah ia lihat di kota. Sekolahnya dulu bahkan tak lebih luas dari SMA itu, tapi gedungnya berlantai 3 dengan tatanan taman yang cantik. “Hmmmm… SMA ini tak terawat sama sekali.”

Dilihatnya ke belakang, ayahnya masih menatap dari atas motor Astreanya, memastikan putri sulungnya akan baik-baik saja. Segera ia melangkah ke kerumunan yang berseragam putih abu-abu. Menatap wajah-wajah sumringah saat mengobrol satu dengan yang lain, mereka memiliki kelompoknya masing-masing.

Ia menelan salivanya dan mulai gugup. Sejenak disenderkannya punggunya ke dinding ruangan bercat putih dan merah jambu. Dipandanginya nanar ke arah orang-orang yang sepertinya juga siwa/i baru. Beberapa orang melihatnya sekilas, bahkan ada yang cukup lama melirik tapi tak ada yang cukup berani mengajaknya bergabung. Gadis berkepang itu menempelkan kepalanya ke tembok dan menghembuskan nafas panjang, berharap kesepiannya tidak kentara.

Ia tak mengenal satupun dari siswa/i berseragam itu. Dirinya baru 1 bulan kembali, dan tak ada teman dari kampungnya yang terlihat di sana. Tiba-tiba dia menyesal memilih sekolah di sana. Orangtuanya sudah menawarkan untuk sekolah di kota, tapi dirinya enggan untuk kembali jauh. Terlebih adik-adiknya sudah bersekolah, tenaganya dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orangtuanya yang adalah petani. Tak tega rasanya jika dia selalu merantau, sedangkan ada pilihan yang lebih baik untuk bersama. Alhasil, dia memilih untuk sekolah di SMA terdekat. Sebuah sekolah negeri tanpa akreditasi, berada di belakang perkampungan, dan lebih tepatnya di tengah kebun karet warga.

Di pagi hari seperti ini, masih banyak serangga yang hinggap dan menggigit. Beruntung Susan menggunakan kaos kaki hingga lutut, sedangkan roknya menutup sekitar 2 cm di bawah lutut. Bajunya tampak kebesaran di tubuhnya, namun pembawaannya yang santai sangat sesuai menutupi kelonggaran seragam tersebut. Para siswa/i baru yang kelak akan menjadi temannya terlihat jelas menepuk kaki, tangan, dan wajah mereka. Susan justru tersenyum sinis melihat semua peristiwa itu.

DI BATAS KATA SAHABATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang