Aku bahkan tak pandai mengungkapkan rasa, maka izinkan aku untuk sekedar melampiaskan rindu.
Akhirnya setelah sebulan absen, sosok yang selalu dinantikan hadir. Siapa lagi kalau bukan si pria paling cerdas di kelas. Lelaki yang mengisi hati perempuan paling tomboy satu sekolahan. Ini akan menjadi hari-hari yang sulit dan rumit. Di satu sisi, si gadis mengasihi lelaki itu. Namun di sisi lain ada hati yang tak bisa dibacanya. Lain lagi perkara adat istiadat yang menjadikan cintanya terlarang.
Terlalu dini memang mengatakan perasaannya sebagai sebuah bentuk cinta. Tapi apa hendak dikata, Susan benar-benar sudah berharap terlalu jauh. Salahkan otaknya yang selalu membangkang pada hati kecilnya.
“Hy Matt, gimana kabarnya? Mendingan?”
Baru saja Matta meletakkan tasnya, namun Susan tak ingin kelewatan untuk memastikan keadaan temannya itu. Teman? Iya-in saja. Beberapa siswa lainnya juga datang mengerumuni, seperti semut-semut yang tertarik oleh rasa manis. Matta memang manis, setidaknya bagi Susan.
“Sehat, tapi aku tak bisa menulis normal, harus pake tangan kiri.”
Tercetak jelas kesedihan di wajah itu. Memang akan sulit ketika kebiasaan menulis dengan tangan kanan harus beralih ke tangan kiri.
“Bisa itu nanti,” sanggah Yuli memberi semangat.
“Semogalah, aku sudah coba belajar sih di rumah, tapi masih jelek banget. Kurasa nanti tulisanku nggak akan bisa dibaca guru.”
“Tenang Matt, tulisanmu nanti nggak akan dibaca, tapi langsung dibenarkan. Guru-guru akan berpikir, daripada cape membaca tulisan mirip cakaran ayam, mending cari cara tercepat.”
“HAHAHHAHA…..” Sontak semua yang mendengar celotehan Santoso tertawa.
“Jadi, sikumu bisa kembali normal?” Tanya Yuli membuka kembali percakakapn.
“Sudah diurut beberapa kali, tapi masih sedikit bengkok.” Tatapnya miris pada lengan yang digips.
Susan menatap kelu pada tangan yang terbungkus itu. Tak ada yang abadi memang di dunia ini. Baru kemarin penampilan lelaki dihadapannya ini sempurna, tinggi tegap tanpa cacat fisik. Sekarang, tubuhnya diberi sedikit hiasan. Entahlah apa itu bisa disebut hiasan, atau kecacatan.
“Kalau dipegang sakit?” Apricia datang menimpali. Wajahnya sedikit mengernyit meneliti kondisi tangan Matta yang masih menggantung.
“Sakitlah, mana mungkin tidak sakit. Bergeser tulangnya.”
“Ikhhh… jadi ngeri aku membayangkannya.”
Susan hanya menikmati momen itu. Menatap lekat-lekat pada wajah yang tampak semakin berisi tersebut.
Sepertinya selama 4 Minggu absen, Matta juga sekalian perbaikan gizi. Wajar saja, meski hanya tangannya yang terluka cukup parah, tapi bukan berarti bagian tubuh yang lain tidak terluka. Saat kunjungan ke rumahnya, mereka sudah ditunjukkan lebam-lebam di kaki, dan lengan, wajahnya juga tergores di beberapa titik. Ia juga tidak bisa banyak melakukan aktivitas, karena tubuhnya masih terasa sakit, serta perlu istirahat untuk proses pemulihan.
Jika 2 hari setelah kecelakaan, jejak-jejak kecelakaan masih basah. Kini yang tersisa hanya jejak berwarna hitam menandakan kulitnya mengering, di beberapa bagian kulitnya terlihat memutih karena kulit yng terkelupas. Dipastikan sebagian dari luka itu akan membekas seumur hidup.
Susan masih acuh tak acuh dengan pertanyaan-pertanyaan kepo teman-temannya. Bukan ia tak penasaran dengan kondisi kesehatan lelaki itu. Tapi sudah cukup jika setengah penghuni kelasnya menghujani Matta dengan berbagai pertanyaan. Ia tak hendak ambil bagian.“Kenapalah aku harus suka sama si hitam ini?” Sejenak merenungi hari-hari yang berlalu, mencari titik awal kenapa ia bisa kepincut dengan anak bawang itu. Semua bermula sejak lelaki itu menjadi satu timnya di MOS, lalu berakhir sebagai ketua yang membuat Susan kagum. Perlahan rasa itu tumbuh seiring kenyamanan yang tercipta saat sedang bersama bersendau gurau. “Benar kata pepatah, awal-awalnya dari rasa nyaman lalu beranjak menjadi cinta.”
Tak ingin terjebak, tapi kepalang jatuh. Hendak berdiri, keburu rebah tak berdaya menatap si kawan yang mempesona.
”Aku tak tahu, apakah aku sungguh merindukanmu karena nyaman, atau sayang. Tapi aku lega telah melihatmu kembali seperti biasanya.” Ucap Susan dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BATAS KATA SAHABAT
Teen FictionKetika kamu hanya seorang bocah SMA yang nyaman pada sikap seseorang, maka kamu mengaku mencintai. Lalu bagaimana jika semesta tak merestui? Melawan arus, atau bersembunyi. Ahh.. Bukankah selama ini semua tersembunyi?