Aku memiliki seorang kenalan, dia indah, cantik, terlihat sempurna untuk kebanyakan orang. Selain wajah dan penampilan, tutur-sapanya pun tak tertinggal sangat sopan serta santun, dengan cara bicara yang lembut dan selalu disertai senyuman yang indah.
Orang-orang disekitar selalu memujinya, mengagumi keindahan parasnya, menyukai tutur-sapa lembutnya. Pujian sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya, layaknya udara yang selalu ada, begitulah pujian dan sanjungan yang diterimanya.
'Kau cantik, aku menyukai bentuk wajahmu'
'Kau baik sekali, tak pernah mengecewakan'
'Kau cantik, pintar dan sopan, aku ingin sepertimu'
'Kau sempurna..."Dan masih banyak lagi pujian bahkan sanjungan yang ia dapatkan, ia hanya membalas dengan senyuman serta tundukan kepala tak lupa mengucapkan 'Terima kasih' kepada orang-orang itu.
Hingga suatu ketika orang-orang menemukan ia melakukan sebuah kesalahan yang masih termasuk kedalam hal yang manusiawi. Pujian dan sanjungan yang ia dapatkan seketika berubah menjadi cacian dan makian. Kata-kata pujian yang biasa terdengar kini berganti menjadi olokan. Orang-orang yang dahulu mengelilinginya hanya untuk memujinya kini berganti untuk memojokkannya, tanpa perlahan mereka yang dahulu memberi sanjungan pergi begitu saja meninggalkannya.
Dari kejauhan aku menyaksikan semua itu, sambil berpikir bagaimana perasaannya ketika diperlakukan seperti itu padahal sebelumnya orang-orang itu bahkan terlihat seperti memujanya. Namun, tak ku sangka saat orang-orang itu telah pergi meninggalkannya bukan raut sedih atau bahkan tangisan yang aku saksikan melainkan sebuah senyuman, aku tak tahu apa arti senyuman itu, dengan gamang aku pun mendekatinya dan berkata, "Kau terlihat bahagia untuk ukuran seseorang yang baru saja mendapatkan hinaan".
Dengan suara lembut dan senyuman teduh dia menjawab, "Tentu, kenapa aku harus bersedih? Itu kesalahan mereka sendiri". Melihat kebingungan tersemat diwajahku ia pun melanjutkan, ia bilang itu kesalahan mereka, mereka terbunuh oleh ekspektasi mereka sendiri. Mereka memujanya, memandangnya bak malaikat, melupakan fakta bahwa dia hanya seorang manusia, makhluk pembuat dosa. Ia bilang, ia baik-baik saja diperlakukan seperti itu, karena akhirnya ia terbebas dari berbagai macam ekspektasi manusia sekitar.
Aku mengingat jelas perkataannya kala itu, "Aku terlahir ke dunia ini bukan untuk memenuhi ekspektasi manusia lain, aku terlahir ke dunia ini hanya untuk menjadi diri sendiri, ini aku, ini diriku, bagaimana pun aku manusia lain tak berhak untuk menilaiku, hanya Tuhan ku yang berhak akan itu"
Satu hal yang akan 'ku ingat darinya, 'Hidup bukan tentang bagaimana dipandang tapi tentang apa yang harus dilakukan'.