Prolog

15 1 0
                                    

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!

HAPPY READING GUYS!😊

"Rumah ini sudah saya jual."

Mendengar perkataan Pak Darto membuat jantung Isya berpacu dengan cepat. Kejadian Ini lah yang selalu ia pikirkan sejak dulu.

Gadis itu mencoba tersenyum walaupun dadanya sesak. Menatap lekat pria setengah paruh baya yang sedang duduk di hadapannya.

"Kapan Isya harus pergi,Om?" tanyanya.

Dalam hati Isya berharap diberi tumpangan sebentar lagi untuk mempersiapkan segala nya, termasuk dimana dirinya dan adiknya akan tinggal setelah ini.

"Sebelumnya Om minta maaf,Sya. Om lagi butuh uang untuk biaya sekolah Siska dijakarta," ucapnya penuh rasa bersalah.

"Eh.. Ngga papa Om, Isya ngerti. Malah Isya mau berterimakasih banyak sama Om karena udah ngasih Isya sama Dimas tempat tinggal gratis," ucap Isya seraya terkekeh pelan. Ia tidak ada hak untuk marah, toh ini rumah beliau, disini ia hanya menumpang berteduh.

Mata Pak Darto berkaca-kaca. Ia bangkit dari kursi dan langsung memeluk Isya.

"Besok sore, besok sore rumah ini mau direnovasi." ucap Pak Darto melepaskan pelukan kami.

Gadis itu mengangguk, itu lebih baik dari pada harus pergi pagi ini.

"Boleh Om kasih saran?"

"Boleh,Om."

Tangan Pak Darto terangkat mengelus puncuk kepala Isya. "Lebih baik kamu kejakarta, cari Ayahmu."

Gadis itu terkekeh kecil. "Maksud,Om? Ayah Isya disana kerja, ngga bakal ilang."

Om Darto membuang pandangannya kearah lain. Ada apa ini?

"Sebenernya udah tiga bulan ini Ayahmu tidak ada kabar. Bahkan dia juga tidak pernah mentransfer uang ke rekening Om lagi. Om udah nelfon Ayah mu tapi nomer nya tidak aktif."

Pernyataan apa lagi ini? Kenapa masalah datang secara bersamaan.

"Tapi uang yang kemarin-"

"Itu uang Om, Om ikhlas ngasih uang itu buat Isya sama Dimas."

Isya menunduk. Tanpa aba-aba air matanya langsung mengalir. Kenapa cobaan selalu datang diwaktu yang tidak tepat, batinnya berteriak.

*****

"Loh.. Adek udah bangun?" tanya Isya saat melihat Dimas sedang bermain diatas kasur.

Dimas menjawab nya dengan tertawa.

Melihat Dimas yang lagi anteng, Isya berjalan kearah lemari kayu yang berada di dekat kasur dan mengemasi baju yang akan di bawa pergi pagi besok.

Tangan kurusnya mengambil baju kaos berwarna merah yang sudah buluk dan sedikit robek dibagian ketiak lalu membawa baju itu kedalam pelukannya. Baju ini tidak mahal, tapi butuh pengorbanan untuk membeli nya.

Baju ini Isya beli di pasar malam bersama sahabatnya Fania. Isya ingat saat dia merengek pada neneknya agar dibelikan kaos yang warna nya sama sepertinya. Ahh.. Pasti Isya akan merindukan nya jika sudah berada dijakarta nanti.

Assalamualaikum Wr.Wb

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

Suara speaker masjid terdengar membuat Isya kaget. Inna lillahi wa inna ilahi raji'un, siapa yang meninggal? Langsung buru-buru Isya simpan tas yang sudah berisi baju itu di atas kasur dan langsung menggendong Dimas keluar rumah agar kupingnya lebih jelas mendengar suara speaker nya.

Telah berpulang kerahmattullah Ibu Hasanah binti Alm Abdullaah -

Deg

Nenek, apa itu Nenek? Kenapa harus nenek yang diambil terlebih dahulu? Bahkan ia belum bermaaf'an dan berpamitan pada beliau.

Isya menggeleng keras, itu bukan Nenek. Kaki nya berlari menuju rumah Nenek tanpa alas kaki dengan Dimas yang berada digendongan. Dirinya harus memastikannya sendiri.

Melihat bendera kuning menancap didekat pintu rumah Nenek membuat tubuh Isya lemas hingga merosot kebawah. Untung saja ada tetangga yang langsung menangkap Dimas sehingga ia tidak jatuh dari tangannya. Sungguh, Dada Isya sakit. Tatapannya kosong dengan air mata yang terus mengalir di pipinya

Beliau yang sudah Isya anggap sebagai nenek malah meninggalkannya juga.

Salah satu bapak-bapak menuntun Isya masuk kedalam rumah. Ia duduk dihadapan jenazah Nenek. Mata nya tidak tahan untuk tidak menangis saat melihat Fania yang terisak sambil memeluknya.

Tangan Isya berulangkali mengelus punggung Fania. Ini mengingatkannya pada kejadian 8 bulan yang lalu saat Ibu meninggal dunia sesudah melahirkan Dimas akibat pendarahan hebat.

Saat itu Ayah menenangkannya yang sedang nangis tergugu dengan cara memeluk dan mengusap punggung Isya, padahal Isya tau kalau Ayah juga sangat sedih, tapi Ayah menutupi segala kesedihan nya.

"Fania?!" panggil Isya pelan saat tak mendengar suara tangisnya lagi.

Tak ada sahutan dari Fania

Tubuh Fania lemas dan hampir jatuh saat Isya melepaskan pelukan nya. Mata nya terpejam.

"Ibu-ibu tolong Fania pingsan!" ucap nya khawatir.

Beberapa ibu-ibu mengangkat Fania membawanya kedalam kamar. Isya duduk dipinggir kasur saat Ibu-ibu sudah keluar dari kamar dan tidak lupa Isya mengucapkan terimakasih.

Isya memandang bibir Fania yang pucat serta kedua matanya yang bengkak akibat terlalu lama menangis. Aroma minyak kayu putih yang Isya dekatkan pada hidungnya membuat Fania mengerjapkan mata sadar.

"Isya.." Isya mengangguk seraya menggenggam tangan kanan Fania.

"Iyaa, Fania. Aku disini," Isya seraya membantunya duduk.

"Aku sendiri, Isya.. Aku ga punya siapa-siapa lagi selain kamu hiks."

Kedua orang tua Fania sudah meninggal dunia 10 tahun yang lalu akibat kecelakaan beruntun. Ia hanya tinggal sama Nenek Ana, tapi Nenek Ana sudah tiada. Dan sekarang cuma ada Isya yang tersisa. Lalu bagaimana? Isya menghela nafas pelan.

"Besok kita pergi kejakarta."

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALISYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang