satu - pergi ke chicago

1K 94 0
                                    

20 Desember, 17:24

Rasanya aneh.

Keduanya hanya bisa terdiam di dalam taksi yang membelah kemacetan jalanan kota Seoul dengan kecepatan sedang. Cuaca memang sangat dingin, mengingat ini adalah bulan Desember, tapi yang dirasakan oleh dua orang di dalam taksi tersebut berbeda dengan hembusan angin dingin bulan Desember. Atmosfer yang mengungkung mereka terasa berat, menyesakkan dada, bahkan topik pembicaraan paling ringan pun tidak akan bisa meluluhkan atau menghangatkan suasana di dalam taksi.

Sejenak, sembari melayangkan pandangannya pada pemandangan di pinggir jalan, dengan mall-mall besar di tengah kota dan gedung-gedung pencakar langit, Doyoung merenungkan apa yang sudah terjadi sejauh ini. Benaknya terlempar kepada banyak kejadian yang terjadi beberapa bulan terakhir. Bisa dikatakan, bukanlah sesuatu yang ingin Doyoung ingat. Tapi udara di sekitar mereka seolah menjadi tangan yang menekan tombol kilas balik di kepala Doyoung.

Entah apa alasan utamanya. Entah kapan tepatnya semuanya mulai terasa tercerai berai. Ingatan Doyoung tak cukup kuat untuk mengingatnya. Yang ia rasakan hanyalah bagaimana hatinya akhir-akhir ini sering kali teriris karena kata-kata yang mengalir keluar lewat bibir Johnny, setiap perilakunya, setiap gerak-gerik pria itu, dan keputusan-keputusan yang diambil membuat Doyoung sering kali jengkel dan hampir meledak marahnya.

Ia masih ingat betul janji pernikahan yang diikrarkan. Untuk selalu bersama baik dalam suka maupun duka, senang maupun sakit, kaya maupun miskin, terus menghormati apapun setiap keputusan, dan masih banyak lagi janji. Janji-janji yang perlahan mulai diingkari, satu per satu, secara sadar maupun tidak. Tidak ada lagi kata damai di dalam rumah mereka, hanya caci maki dan amarah yang terus memuncak setiap harinya.

Doyoung tidak suka itu. Doyoung tak pernah menginginkan kehidupan pernikahan yang seperti ini. Yang selalu ada di bayangannya adalah sebuah kehidupan yang damai dengan Johnny. Bangun di hari Minggu pagi sambil menyesap cangkir kopi masing-masing lalu bersantai di ruang tamu sambil menonton High School Musical sampai selesai. Atau, jika di hari biasa, hanya sapaan pagi dan kecupan singkat sebelum berangkat kerja cukup untuk membuat Doyoung tersenyum, senang.

Pada kenyataannya, selama beberapa bulan terakhir, hari Minggu mereka lebih terasa canggung. Rumah mereka diisi dengan ucapan-ucapan kesal bernada tinggi. Hanya ada perlakuan dingin di sisa hari mereka. Tak ada ucapan selamat pagi dengan senyum merekah. Jika tidak dengan nada bicara dingin, keduanya sebisa mungkin bahkan berangkat kerja saat pasangan mereka masih pulas di dalam mimpi. Tidak ada kecupan singkat. Bahkan kontak mata jarang sekali terjadi.

Semua yang terjadi sudah menguras emosi keduanya. Mungkin semuanya sudah melampaui kemampuan mereka untuk bertahan. Setiap argumen yang mereka lontarkan, semuanya tidak membawa mereka pada satu jalan penyelesaian yang pasti. Tak ada lagi yang tahan dengan semuanya. Terutama Doyoung.

"Ayo cerai."

Kata yang terucap itu sungguh dingin, keluar dari mulut Doyoung. Meskipun rasanya pahit di lidah, meskipun hatinya seperti diiris pisau, tapi mempertahankan pernikahan seperti ini hanya akan membawanya ke sebuah jurang yang lebih gelap dan seram. Doyoung tak pernah menjamin dirinya bisa melewati jurang itu. Apalagi, kini, Johnny tampak tak pernah ada di pihaknya.

Doyoung ingat betul ekspresi Johnny yang dingin, saat menoleh ke arah Doyoung setelah sebuah deklarasi mengejutkan itu. Hanya ada desahan pelan yang keluar dari bibir itu, yang dahulu lebih sering menyanyikan berbagai macam pujian bagi Doyoung.

"Aku.." Johnny tak langsung menjawab, membiarkan sisa kalimatnya menggantung sejenak di lidahnya, "..pikir-pikir dulu."

Sampai saat ini, sampai mereka kini ada di dalam taksi, masih belum ada perkembangan diskusi mengenai ide Doyoung waktu itu. Alasan pertama adalah karena mereka berdua menenggelamkan diri salam pekerjaan mereka, mendistraksi pikiran mereka tentang topik perceraian dengan paper work yang harus mereka kerjakan. Alasan kedua, alasan utama mereka, adalah sebuah telepon mendadak dari orang tua Johnny di Chicago.

miracles in christmas ; johndoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang