dua - saat di sana

707 87 11
                                    

22 Desember, 09:01

Seperti yang sudah Doyoung duga sejak selesai makan malam, tidurnya sepanjang malam itu tidaklah senyaman yang ia inginkan. Meskipun kamar tamu yang disediakan oleh orang tua Johnny berukuran besar dengan kualitas terbaik ("It's a king size bed," pikir Doyoung saat melihat kamarnya pertama kali), namun atmosfer yang mengisi kamar itu tidak mendukung sama sekali.

Berterima kasih kepada ukuran kasur yang terlalu besar untuk mereka berdua-bahkan dengan tubuh Johnny yang besar itu-, posisi tidur mereka tidaklah seperti pasangan menikah pada umumnya. Mereka menghadap ke sisi yang bertolak belakang, memberikan punggung pada pasangan masing-masing. Doyoung meringkuk, merasakan suhu dingin negara bersalju menusuk kulitnya, namun tak berani menyabotase selimut itu. Meski keinginannya untuk putus hubungan dengan Johnny masih ada, Doyoung masih punya hati nurani. Sedangkan Johnny, tidur dengan posisi miring, dengan dengkuran halus yang menggema di telinga Doyoung.

Yang membangunkan Doyoung adalah aroma yang sangat familiar, kuat menyeruak di hidung pria itu. Dengan perlahan, ia membuka mata, melihat lewat jendela yang tirainya sudah terbuka dengan cahaya matahari lembut yang menerpa wajahnya. Doyoung tak bisa membuka matanya langsung lebar-lebar, karena jumlah cahaya yang masuk mendadak banyak menimpa matanya. Langit nampak putih, hampir bersih dari awan. Suhu ruangan pun tak sedingin semalam, hanya membuat Doyoung sedikit menggigil meski ia sudah memakai jaket abu favoritnya.

Setelah terduduk di pinggir kasur, direntangkan badannya, tangan ditarik ke atas sejauh mungkin. Namun Doyoung tetap berhati-hati, menjaga peregangannya sehening mungkin, hampir tanpa bergeser. Takut-takut, sang empunya rumah yang masih mendengkur halus itu tiba-tiba terbangun. Doyoung segera berdiri setelah merasakan setiap ototnya lemas, berjalan keluar kamar untuk menyambut aroma kopi yang sedari tadi menggelitik penciumannya.

Di dapur, lagi-lagi, ada ibu Johnny yang kini memunggungi Doyoung. Tidak seperti di rumah mereka yang memiliki mesin kopi sendiri, di rumah orang tua Johnny hanya bisa menyediakan kopi instan untuk kedua anaknya itu. Namun, setidaknya, pikiran ibu mertua Doyoung itu menyentuh hati Doyoung. Hal ini membuatnya semakin bersalah dengan kalimat yang ia ucapkan berminggu-minggu lalu, pernyataan permohonan berpisah yang seharusnya bisa dicegah itu.

"Udah bangun?" tanya ibu Suh, membalikkan badannya dan memberikan senyum lebar yang manis. Matanya menyipit, membentuk bulan sabit, persis seperti Johnny yang sedang tersenyum.

Sebagai balasannya, Doyoung membalas senyuman itu, selebar dan setulus mungkin. "Wangi kopinya kuat banget soalnya, Ma."

Wanita setengah baya itu kembali berbalik setelah mematikan teko listrik berisi air panas, menuangkannya pada dua gelas keramik. Yang satu diisi dengan serbuk kopi instan, sedangkan yang satunya lagi sudah diberikan teh kering.

"Maklum, papa suka yang kopinya kuat soalnya," ibu Suh terkekeh menjelaskan.

Dengan langkah yang agak terseret, pria itu melangkah ke arah dapur, mendekati ibu mertuanya yang masih mengaduk kopi milik Johnny. "Ada yang perlu Doyoung bantu nggak, Ma?" tawar Doyoung, sesegera mungkin menyingkapkan lengan baju panjangnya, menampilkan bagian lengan bawahnya.

"Nggak ada, sayang. Ini semuanya udah jadi kok," ucap ibu Suh, lembut dan bersahaja. "Kalau mau, bangunin Johnny sana. Bilang kalau kita mau pergi."

Segegas itu Doyoung membiarkan sebelah alisnya naik. Bukan hanya kata "pergi" yang mencuri perhatiannya, kata "kita" yang menyertai pun tak urung membuat Doyoung bingung juga. "Emang kita mau pergi ke mana, Ma?"

Ibu mertuanya itu hanya menoleh, mengerlingkan sebelah matanya dengan senyum penuh arti. "Rahasia. Nanti juga kamu tahu."

Doyoung sebenarnya tidak mau. Membangunkan Johnny berarti ia harus menanggung atmosfer canggung yang berputar di udara. Membangunkan Johnny pun harus selembut mungkin, karena tidak mungkin ia meninggikan suaranya di rumah ini. Ia tak mau, tapi ia harus mau.

miracles in christmas ; johndoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang