1: Pamit

212 35 6
                                    

Sebulan lalu, Kai menanam tumbuhan cabai di pot kecil yang dia taruh di kamarku; aku lihat lewat sudut mataku. Itu sebenarnya adalah tugas sekolah kami, tapi aku nggak menaruh terlalu banyak atensi padanya, selain berkata pada Kai untuk meninggalkannya di pekarangan rumahku saja.

Intuisiku bilang kalau dia akan datang lagi jikalau aku yang kala itu duduk di kursi meja belajar bilang, "Aku nggak akan menyiramnya. Kamu urusi sendiri tumbuhan cabainya," agak jahat memang, tapi pikirku, Kai akan datang besok dan besoknya lagi supaya tumbuhannya nggak mati. Kai akan datang lagi ke rumahku buatnya menyiram tumbuhan cabainya yang tersiksa di bawah naungan lalaiku. Kalau sudah begitu, aku tinggal memberinya sekarton susu dari lemari pendingin untuk diminum, lalu kembali ke kamarku sambil melihatinya yang sedang menyirami tumbuhan kami.

Kami. Aku tersenyum tanpa sadar ketika mengucapkan itu dalam hati. Pikiranku melayang ke hari-hari esok, di mana adegan ini akan terus berulang tanpa membuat bosan.

Tapi sekon-sekon kemudian, aku lihat lewat jendela kamarku, Kai pulang ke rumahnya sambil menggendong pot tumbuhan cabainya; dia pergi dari rumahku tanpa berpamit. Dan aku tertinggal sendiri, terpaksa mengubur angan hari-hari esok yang kuimpikan.

ₖₐᵣᵤₜ₋ₘₐᵣᵤₜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang