00 : 00

67 6 7
                                    


[♡︎] — ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ, ᴀʟʟ!

Seperti para remaja pada umumnya, semua berpikir bahwa masa remajalah yang paling bahagia. Ya, benar. Tapi ternyata, tak semua seperti yang kita pikirkan. Kematian remaja di dunia meningkat tiap tahunnya. Salah satu penyebabnya adalah bunuh diri. Lelah, kaki seperti tak sanggup menopang tubuh kembali. Emosi tak menentu. Kadang sedih, stress, bahkan marah. Perasaan itulah yang sedang dirasakan oleh Jungkook saat ini.

"Hey, sudah kubilang, jika kau sedang sedih, kau dapat menceritakannya kepadaku. Kenapa kau suka sekali memendamnya send—" Ucapan Jimin terpotong kala ia meletakkan secangkir tehnya kembali ke meja.

"Kenapa? Kenapa menyemangati orang itu sangatlah mudah? Sedangkan aku tak dapat menyemangati diriku sendiri? Kenapa? Pertanyaan itu yang selalu berputar di kepalaku hingga aku muak!"

Pemuda yang kerap dipanggil Jungkook itu beralih menatap mata Jimin. Tersirat kekecewaan disana. Yang Jimin tahu, kekecewaan pada diri Jungkook sendiri. "Kenapa? Aku juga tak tahu. Sungguh, aku lelah. Bahkan sangat. Aku ingin berhenti saja kalau jadinya seperti ini." Jungkook menarik napas agak dalam, mencoba menenangkan pikirannya.

Raut wajah Jimin seketika berubah. Lebih seperti iba. Benar juga, selama ini Jungkook selalu memasang wajah cerianya. Energi positif itulah yang selalu diambil orang-orang disekitarnya, termasuk Jimin. Namun, Jimin sadar, iapun tak pernah terpikirkan perasaan Jungkook saat dirinya mendapat energi positif tersebut. Apa benar Jungkook sebahagia itu? Apa selama ini ia hanya memasang topeng dan senyum palsu itu? Jimin mulai menumbuhkan rasa bersalah di dalam dirinya.

Jimin berusaha tenang, kembali menyeruput teh nya dan kakinya diturunkan yang sebelumnya sempat ia silangkan menggantung, "Maaf. Aku benar-benar minta ma—"

"Kenapa kau minta maaf, hyung?! Apa kau salah? Tidak! Lalu, kenapa kau harus minta maaf? Ini masalahku, dan kau tak terlibat di dalamnya." Jungkook menurunkan nada bicara di akhir kalimatnya. Ia meremat ujung bajunya, memejamkan matanya berusaha tak membiarkan air matanya lolos.

Jimin semakin merasa bersalah. Hingga Jungkook telah meninggalkannya pulang pun, rasa bersalah itu tetap membekas di hatinya. Membuatnya tak berselera melakukan apapun. Ada rasa ia harus menghubungi Jungkook sekarang juga, tapi rasa gengsinya terlalu tinggi hanya untuk menanyakan kabar sahabatnya itu yang bahkan sudah dianggapnya seperti adik kecilnya sendiri yang menggemaskan.

Tak lama setelah Jungkook pergi, bel rumahnya kembali berbunyi. Jimin pikir, Jungkook kembali lagi, maka dari itu ia bergegas turun dan langsung membuka pintu. Tanpa pikir panjang, ia langsung memeluk sosok yang berdiri di depan pintu. Ia sadar, dari tubuhnya yang lebih tinggi darinya, dia bukanlah Jungkook, melainkan Kim Taehyung—adik kandungnya.

Taehyung melanjutkan studi nya ke Australia dan sudah 7 tahun tak kembali. Entah apa yang ia lakukan disana, Jimin tak tahu. Tak pernah bertukar kabar, hingga tiba-tiba sudah berada di depan pintu rumahnya.

Jimin meremat sedikit ujung kemeja milik Taehyung, "Tolong, seperti ini sebentar saja."

Taehyung heran. Baru kali ini ia melihat sisi Jimin yang rapuh. Tangannya terangkat untuk mengusap pucuk Jimin—menenangkannya, disaat ia merasa sosok didalam dekapannya mulai bergetar dan suara isakpun tak lama terdengar.

Lembut, tenang, ditemani suara rintik hujan yang mendominasi. Taehyung mengurai pelukannya kemudian mengusap kedua belah pipi Jimin yang telah dibasahi oleh air matanya.

Setelah sadar bahwa mereka berdua masih berada diluar rumah, Taehyung pun membawa tubuh Jimin duduk di sofa ruang tamu. Membiarkan kepalanya bersandar di bahu Taehyung sambil sang empunya mengusap bahu kanan Jimin.

Zero O'Clock ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang