Johnny tak mengingat dengan jelas kapan pertama kali ia begitu teradiksi dengan lintingan nikotin di sela-sela jemarinya. Yang ia ingat, ketika itu, asapnya yang mengembus mampu menenangkan pikirannya. Getir dan aroma tembakau mampu mengganti segala sisa-sisa pahit kehidupan di pengecapnya. Meski ia tak terlalu peduli, toh, sebab hidup yang ia rasakan hanya kumpulan monokrom dan tawar-tawar yang rasanya jauh lebih baik dibanding pahit yang pernah Johnny rasakan sebelum-sebelumnya.
Tapi, ada hal-hal lainnya yang masih ia ingat sampai sekarang, seperti, ketika suatu waktu satu entitas lagi tetiba menyejajari langkahnya. Ikut bersandar pada pembatas balkon kelab, dan mencuri satu lintingan dari tangan Johnny.
"One, please."
Suaranya feminin dan terlampau familier. Begitupun aroma yang kemudian Johnny hidu, pink pepper--—lebih pekat dibanding aroma tembakau, juga asap-asapnya yang mematikan, juga alkohol-alkohol di dalam sana, juga hal-hal lainnya yang tak sempat Johnny pikirkan. Mungkin, mungkin saja, ia sedang mabuk. Walau Johnny yakin, ia baru menyesap dua gelas rum dan ia masih tidak apa-apa walau meyesap tiga gelas lagi.
"Kau suka sekali menyendiri, ya."
Johnny mencuri tatap dari sudut matanya, memerhatikan lagi ketika wanita itu berbicara dan mengangkat tangan ke arah Johnny, meminta lighter, tapi alih-alih Johnny mengulurkan rokoknya yang tersisa setengah, untuk kemudian disambungkan kepada rokok baru yang tadi diambil wanita di sebelahnya. Ketika lintingan itu menyala, miliknya dikembalikan, untuk kemudian Johnny sesap dan embuskan lagi asap-asapnya.
"Selamat untuk beasiswa mastermu, by the way."
Johnny kali ini tak mencuri tatap. Terlampau mengerti, dan tahu akan hal-hal yang kemudian ia prediksi. Ia mengenal wanita di sebelahnya, talkative, dan nekat—--kalau mau lebih frontal. Ia toh akan tetap berbicara meski Johnny diam seribu bahasa, tetap akan bertanya meski Johnny tak menjawab, retoris. Ia tetap akan di sini meski Johnny memintanya pergi, kembali ke dalam kelab, kembali kepada Taeyong--—kekasih wanita itu. Dan ia tetap akan di sini meski Johnny tak memberinya rokok di waktu-waktu sebelumnya.
Ada banyak asap di menit-menit selanjutnya, membuat Johnny semakin mabuk. Entah akan apa. Ia sudah tak tahu lagi. Ia tak mau tahu lagi.
"Pada akhirnya, kau akan pergi lagi, ya."
Johnny menanggapi dengan embusan asap, sekali, dua kali. Ia menatap jauh kepada langit kelam, mencari-cari bintang yang tak terlihat (dan ia berusaha tak mencari-cari bintang itu pada objek lain, pada sepasang mata, yang kini tak berhenti menatapnya dari samping), dan memutuskan untuk mengatensikan matanya pada bulan yang terlihat sabit. Sangat cantik.
"Jangan dicari-cari," wanita itu meneruskan. "Toh, kau tidak akan menemukannya."
Pada akhirnya, Johnny menoleh. Memerhatikan dengan penuh figurnya dari samping, senyumnya yang dingin, matanya yang menyipit. Johnny melihat rona merah di belah-belah pipi wanita itu—rona yang tidak dapat Johnny pastikan, berasal dari alkohol, temperatur udara, atau memang pulasan pemerah pipi yang biasa digunakan para wanita-wanita pada umumnya. Johnny ingin menyentuhnya, hanya untuk memastikan, namun kepulan asap yang diembus wanita itu menyadarkannya dari mabuk-mabuk taksa ini.
Tiga detik, ia menghela napas.
Pada akhirnya, memutuskan melakukan ini—
"Cukup, Chungha."
—--merebut rokok yang masih tersisa tiga perempat, menjatuhkannya pada lantai balkon, dan menginjaknya sampai redup.
Dan Johnny tersadar, ia seharusnya melakukan itu sejak tadi, sejak pertama Chungha datang, sejak pertama wanita itu menegurnya, sejak pertama ia merebut satu dari kotak milik Johnny, sejak pertama... sebelum ia mabuk sejauh ini.
"Kukira kau tak peduli." Suara tawa. Hambar. Chungha menyeka sudut-sudut netranya yang masih menyipit. "But, thanks--—" Chungha mengucap lagi. "—--Jo.
Begitu saja. Kemudian, wanita itu pergi. Meninggalkan Johnny dalam langkah-langkah statis dan onomatope tap-tap dari heels-nya yang terlampau tinggi. Johnny tak sempat memerhatikan betapa terekspos kulit-kulit wanita itu dalam balutan mini dress sebab figurnya telah lebih dulu menghilang.
Meninggalkan Johnny dan langit-langit kelam tanpa bintang.
Johnny mendecih.
Mengusap wajah dan mengambil rokok kesekian dari kantungnya.
Sekali lagi.
****
[4 Januari 2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗲𝘃𝗲𝗿𝘆 𝗰𝗹𝗼𝘂𝗱 𝗵𝗮𝘀 𝗮 𝘀𝗶𝗹𝘃𝗲𝗿 𝗹𝗶𝗻𝗶𝗻𝗴 • johnny x chungha
Fanfictionhati tak akan pernah salah memilih tempat untuk kembali.