CHAPTER 3 & INFO PRE ORDER PANCARONA

8.6K 493 246
                                    

Selamat membaca!

---

3.

     Yippie!

Pertengahan tahun 2005, aku resmi diterima di SMAN 18 Bandarlampung. Sebetulnya, aku tidak berekspektasi akan masuk di salah satu SMA favorit melihat nilai raporku sebetulnya pas-pasan. Tidak ada nilai merah saja sudah keajaiban dunia kedelapan. Padahal mengerjakan soal masuknya juga asal-asalan saja, belajar seadanya. Sebetulnya aku ini adalah anak jenius, hanya malas saja haha! Iya, kan?

Ibu yang mengetahui namaku ada di koran pun terlihat senang bukan kepalang. Dia langsung menghubungi teman-temannya, ibu-ibu memang suka pamer, ya?

Lalu Ibu memelukku dengan ekspresi terharu. Aku juga jadi berkaca-kaca, ternyata begini rasanya membuat orangtua bangga. Ada perasaan asing membuncah dalam dada, seolah-olah jantungmu akan meledak akan rasa bahagia.

Rasa senang Ibu membuatnya mengadakan acara makan-makan di rumah. Dia membongkar tabungan ayam hasil keuntungan warung dan mengundang para tetangga. Dalam tradisi Lampung ada sebuah budaya yang biasa dilakukan untuk bersilaturahmi, namanya; nyeruwit. Kami duduk lesehan, lalu menikmati ikan bakar, sambal terasi beserta lalapannya, diberi kuah pindah dan dicampur.

"Selamat ya Rim, nggak nyangka nih Emak. Ternyata lu pinter juga, inget-inget noh kalau jadi orang, jangan lupain tetangga elu." Mak Lela datang dengan banyak koyo menempel di kening dan lehernya. Dia memberiku uang lumayan banyak, tambahan untuk beli seragam dan buku baru.

"Mang Abdul mana?" tanya Ibu.

"Nggak tahu, udah aku panggil, tadi sih lagi sibuk ngadu ayam."

"Emang dah tuh orang. Nggak danta kerjaannya, kalau nggak main gaplek, paling lagi sabuk ayam!"

"Ada makan-makan nih!" Panjang umur, orang yang sedang dibicarakan akhirnya datang. Mang Abdul muncul sambil membawa ayam goreng. Aku ternganga.

"Ayam sapa noh, Dul?"

"Ayam gua lah, Mak. Si Bedol, gue potong."

"Hah, Bedol dipotong? Demi apa Mang?" aku terkejut, masalahnya si Bedol salah satu ayam kesayangannya Mang Abdul, yang sengaja dia rawat sejak kecil dengan penuh kasih sayang.

"Kalah tadi gua ngadu ayam, sekalian aja gua potong." Tawa membahana membludak dalam ruangan. Semua orang geleng-geleng kepala mendengarnya.

"Bedol kasian amat nasib elu, waktu menang aja disayang-sayang. Giliran kalah langsung dipotong!" ujarku sambil geleng-geleng kepala.

"Namanya juga hidup, Mak. Hidup jadi manusia aja susah, apalagi jadi ayam."

"Iya udah, duduk dulu Abdul. Ibu siapkan piringnya, ya. Sini ayamnya biar Ibu sajikan." Ibu mengambil ayam goreng dari Mang Abdul dan pergi ke dapur. Untuk sejenak, kami tertawa bahagia. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah ingin menikmati waktu, sama sekali tidak sadar bahwa sebetulnya kami sedang membuat sebuah kenangan bahagia yang akan selalu membuatku tersenyum jika diingat di waktu akan datang.

Pukul sembilan malam, rencananya Mak Lela ingin memindahkan alat karaokean di rumahnya ke rumahku, tapi rencana itu digagalkan akan kedatangan Ayah. Dia terlihat marah melihat begitu ramai orang berkumpul. Wajahnya merah padam, dia langsung membanting pintu. "Acara apaan ini? Pulang, pulang! Saya mau istirahat!"

Semua tetangga akhirnya memilih pulang. Rumah kembali sepi, hanya tersisa aku dan Ibu.

"Ngadain acara nggak bilang-bilang?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PANCARONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang