CHAPTER 2

42.5K 3.7K 1.5K
                                    

Happy reading!

----

Tahun 2003 aku masuk ke sebuah SMP 32 di Bandarlampung. Aku sudah bisa naik angkutan umum. Di tahun itu sinetron Di Sini Ada Setan sedang hits dan tiap kali mendengar soundtrack-nya terputar otomatis di televisi, aku jadi parno sendiri. Tontonanku pun berganti, tidak lagi menggilai kartun, tapi tiap minggu menunggu Meteor Garden yang tayang di Indosiar. Saking ngefansnya, sampai memakai kotak pensil berwajah F4 dan mengoleksi kertas binder-nya, bahkan punya posternya, hadiah dari majalah yang kutempel di dinding kamar. Suka kuciumi setiap malam sampai Ibu geleng-geleng kepala. Ada juga poster Naff, maklum, aku fans beratnya! Bahkan punya koleksi kasetnya yang kubeli dari hasil tabunganku sendiri.

Di tahun itu, kalau kamu masih ingat, Inul Daratista pun muncul sebagai artis pendatang baru yang langsung kontroversial dengan goyang ngebor-nya dan sempat menghiasi berbagai acara gosip di layar kaca karena pertengkarannya dengan Rhoma Irama. Bahkan saking hits-nya seorang Inul, sampai muncul pensil lentur yang dinamakan pensil Inul. Acara Akademi Fantasi jadi tontonan sehari-hari dan ajang taruhan dengan teman siapa kira-kira yang akan tereleminasi.

Di tahun itu juga aku kali pertama pakai ponsel. Nokia 3650, hadiah dari Ibu sebagai kado ulang tahun ke 13. Zaman dulu, itu sudah keren, karena ada kamera VGA dan video. Banyak temanku meminjam hanya untuk numpang foto. Aku juga suka pamer ke mereka, meskipun harus sembunyi-sembunyi, kalau ketahuan guru bisa diambil karena peraturannya tidak boleh membawa ponsel.

Temanku sewaktu SMP tidak terlalu banyak, hanya satu orang, Feni. Selebihnya kebanyakan teman laki-laki. Sebetulnya alasan kami berteman sepele; karena ponselku, mereka mau meminjam untuk foto dan video hingga akhirnya menjadi akrab. Sepulang sekolah, biasanya mampir ke Artomoro untuk menonton, film pertama yang aku tonton adalah Eiffel I'm in Love. Aku pun jadi tergila-gila untuk titip salam ke radio, kalau dulu istilahnya "tisam". Hanya di depan mereka aku mencari pelarian, rasanya masalah yang ada di rumah seolah terlupakan kalau bersama teman.

Waktu berlalu begitu cepat, rasanya seperti baru terjadi kemarin, ternyata sudah bertahun lalu terlewati. Waktu memang sesuatu paling kejam, dia akan berlalu begitu saja, entah manusia siap atau tidak.

****

Kenaikan kelas dua SMP, aku berkenalan dengan Rendi. Dia teman sekelas Feni (di kelas dua, aku pisah kelas dengan Feni). Sebetulnya aku yang terlebih dahulu mengaguminya karena dia adalah kapten basket, pintar, ganteng juga. Suatu hari, dia sedang latihan di sekolah, sedangkan aku sedang menemani Feni piket. Rendi terlihat keren, aku refleks mengambil fotonya, yang disadari oleh teman Rendi. "Eh, ada yang ngambil foto lo, tuh!" kata temannya sambil menunjuk ke arahku.

Aku kelimpungan, malu karena ketahuan, dan berpura-pura melihat bunga. Rendi mendekat ke arahku, dia menjulurkan tangan. "Mana hape lo?" tanyanya dengan kondisi wajah berkeringat, tapi tetap terlihat ganteng di mataku. Jantungku berdebar begitu cepat, aku bingung sendiri harus bereaksi apa.

"Maksudnya?"

"Pinjam hapenya sebentar."

Aku akhirnya memberikan ponselku. Aku tidak tahu dia melakukan apa, tapi seperti menekan nomor dan menekan tombol hijau. "Ini nomor gue, juga udah miscall ke nomor gue." Aku bingung harus merespons apa.

"Maksudnya?"

"Daripada foto diem-diem, mending kita kenalan aja, gimana? Nanti malam gue SMS, ya?"

Dia mengembalikan ponselku dan melemparkan senyum maut, lalu kembali ke lapangan. Aduh, rasanya jantungku seperti mau meledak. Aku segera berbalik dengan wajah terasa panas. Feni menghampiri sembari meledekku. "Ecieeee, cuit cuiiitt ada yang dapat nomor hape Rendi nih. Mimpi apa lo semalem, hah?"

Aku membungkam bibir Feni. "Iiih diem, malu kaliii....," aku tersenyum geli, "tapi itu dia beneran atau main-main, sih?"

"Tungguin aja nanti malem, kalau dia SMS, kabar-kabariin yak!"

Alhasil, aku menunggu sepanjang malam. Ponsel tidak lepas dari tanganku, sembari melihat jam di dinding, menunggu dengan waswas. Benar saja, Rendi mengirim sebuah pesan.

Halo? Ini Rendi.

Telapak tanganku refleks menutup mulut, menahan agar tidak berteriak. Jantungku berdebar lagi, aku menarik napas, mengembuskannya perlahan. Jemariku gemetar sewaktu membalasnya.

Hal0... nhie Rima, slm kenal yach,...! J

Hampir sebulan kami dekat, hingga akhirnya kami berpacaran. Hubungan kami pun berlanjut lama, aku yang tadinya pulang naik angkutan umum, akhirnya bisa menghemat karena diantar Rendi. Tentu saja tidak di depan rumah, biasanya aku turun di depan gang, takut ketahuan Ayah.

Ayah masih belum berubah. Masih berselingkuh di belakang Ibu dan setia dengan simpanannya bahkan aku dengar dari tetangga—yang juga karyawan Ayah—simpanannya itu sering datang ke kantor, sudah memiliki satu anak laki-laki dan kabarnya sudah dibelikan rumah oleh Ayah. Tapi aku dan Ibu tidak mau mempermasalahkan, karena sadar, Ayah bisa melakukan hal lebih parah jika hal itu berusaha dibicarakan.

Ayah bahkan jarang pulang, dia seperti orang asing yang terkadang bertingkar selayaknya tamu di rumah. Datang sekadar mengambil barang penting, lalu pergi lagi.

Kembali bicara tentang Rendi. Dia anak yang baik dan perhatian. Dia suka datang ke kelas sambil membawakan makanan dan minuman. Pernah suatu hari aku sakit karena halangan, dia yang paling khawatir, sampai bolos hanya untuk mengurusi aku di UKS dan mengantarku pulang. Meskipun terkadang dia suka mengontrolku, seperti dia tidak suka melihatku bergaul dengan teman laki-laki, jadi aku mengurangi intensitasku bermain, dan hanya menjaga hubunganku terhadap Feni.

Menjelang kelulusan SMP, kami sempat bertengkar, Rendi memaksaku untuk satu sekolah dengannya. Aku menolak. Kali pertama aku bertengkar dengan Rendi. "Kamu tuh ya, nggak tau terima kasih banget, sih! Selama ini aku udah baik sama kamu, aku banyak berkorban, masa iya kamu nggak mau kali ini ngalah buat aku?"

Aku ribut besar dengan Rendi.

"Aku pulang sendiri aja."

"Rim, Rima!"

Aku melangkah dengan cepat, sementara Rendi menyusul dengan motornya, berusaha menyamai langkah. "Rim, maaf!" Dia berusaha membujukku, "kamu naik nggak? Kalau kamu nggak naik, aku bakal tabrakin motor ini ke pohon, Rim aku serius!"

Awalnya aku berusaha tidak mendengarkan, hingga akhirnya Rendi berniat menabrakkan kendaraannya, aku langsung berteriak. "Oke! Aku naik sekarang!"

Sejak hari itu, aku jadi mengetahui sikap lain dari Rendi. Bukan Rendi yang berubah, hanya saja dia mulai menunjukkan sikap aslinya, di pikiranku seseorang kan baru bisa menampakkan hal jujur jika sudah merasa nyaman. Rendi pasti sudah nyaman denganku, makanya dia bisa menunjukkan sikap yang awalnya ditutupi. Perlahan-lahan dia meruntuhkan topengnya, dan sudah seharusnya aku bisa menerima dia seratus persen, bukan hanya Rendi sesuai kemauanku, tapi Rendi seutuhnya. 

----

Oya tabungan kamu udah terkumpul berapa nih?

Udah siap buat ketemu Rendi, Rima dan Keano di tanggal 5 Januari 2021?

Ada saran nggak, bagusnya apa merchandise bonusnya? Coba komentar di sini.

Bantuin promosi ceritanya yaaa, kalau udah baca, silakan snapgram dan tag Instagram aku di eriscafebriani

thank yooou!


PANCARONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang