Naylara

3 2 3
                                    

Dua orang gadis kini sedang berdiri berhadapan. Muka mereka tampak sama persis sama saat seperti sedang bercermin, hanya saja penampilan mereka berbeda. Ya, kedua gadis itu kembar, Nayra dan Nayla. Nayra dengan hijabnya, sedangkan Nayla tidak.

"Akhirnya setelah sembilan tahun berpisah, kita bertemu Lagi, Nayla." Itu Nayra dengan suara lembut nya. Saking senangnya bertemu kembali  Nayra memeluk tubuh adiknya, Nayla. Sedangkan Nayla masih tercengang dengan apa yang tengah di hadapinya, ia tak menyangka kembaran nya sekarang ada disini.

Sejenak mereka saling berpelukan. Ralat, hanya Nayra yang memeluk Nayla, sedangkan yang di peluk tidak membalasnya. Nayla melepaskan pelukan Nayra dari tubuhnya, lalu bertanya, "Kenapa lo ada disini?" Tanya Nayla. Setahunya Nayra itu tinggal jauh dari kota yang ditinggali nya sekarang.

"6 bulan yang lalu, aku dan ayah memutuskan pindah ke kota ini, Nayla," Ucap Nayra.

"Kamu mau anterin aku ke makam ibu?" Tanya Nayra. Ya, ibu mereka telah meninggal, Nayra mendengar kabar ini sejak enam bulan yang lalu. Sejak saat itu pula Nayra berusaha keras mencari keberadaan Nayla.

"Lo mau kesana?"  Tanya Nayla kepada orang yang baru saja menanyainya.

"Iya."

—o0o—

Nayra dan Nayla kini sedang duduk dihadapan gundukan tanah yang tertancap batu nisan bertuliskan Nidhya binti Hasyim. Nayra menangis tersendu-sendu sambil memeluk batu nisan bertuliskan nama ibunya. Rasanya sesak menghujam dada nya, ia tak menyangka pertemuannya dengan ibunya sembilan tahun yang lalu adalah pertemuan terakhir nya.

Sudah satu jam Nayra terus menangis hingga dia memutuskan untuk membawa pergi Nayla dari makam ibunya. Melihat Nayla yang tampak kuat membuatnya berpikir untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Kini, Nayra maupun Nayla sama-sama berjalan keluar dari makam.

"Setelah ibu meninggal, kamu membiayai kehidupanmu sendiri?" Tanya Nayra kepada Kembarannya itu. Sekarang ini mereka sudah berada disebuah cafe berukuran minimalis tempat Nayla bekerja.

"Menurut lo siapa lagi kalau bukan diri gue sendiri?" Tanya Nayla membuat Nayra tertunduk merasa bersalah. Andai saja, dia lebih cepat menemukan keberadaan Nayla mungkin saja sekarang adiknya itu tidak perlu bekerja untuk membiayayai kehidupannya sendiri.

"Maaf Nayla. seharusnya kamu tidak merasakannya. Andai aku tahu dari dulu, pasti aku tidak akan membiarkanmu untuk kepalanya.

"Tapi kita sudah bertemu sekarang, jadi mari kita tinggal bersama." Lanjutnya mengajak Nayla tinggal berdua bersamanya.

"Emangnya ayah lo bakal mau nerima gue?" Tanya Nayla merasa tak yakin.

"Malah ayah pasti senang bisa bertemu kamu lagi. Kamu tahu tidak? Kami selalu mencari keberadaan kamu." Jelas Nayra.

"Oh ya?" Ucap Nayla sok kaget, Ia tak percaya kalau ayahnya masih peduli dengan nya.

Nayra menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Gue mau ikut sama lo, tapi dengan satu syarat." Ucap Nayla.

"Apa?"

"Lo harus biayain biaya sekolah, gue mau sekolah." Mendengar itu, Nayra tersenyum.

"Tentu saja, Nayla. Bukan hanya biaya sekolah, biaya kehidupanmu juga akan di tanggung oleh ayah kita."

"Oke gue ikut lo."

—o0o—

Kini mereka berdua berada dalam sebuah rumah yang sangat megah, Nayla sempat tak percaya bahwasanya dia akan tinggal di tempat sebesar itu. Pasalnya, rumah ini berukuran  lima kali lipat lebih besar dari rumah yang dia tinggali bersama ibunya. Ah, dia lupa bahwasannya ayahnya itu ssngat giat bekerja, membeli rumah ini bukan hal yang susah bagi ayahnya. Tapi yang mengherankan Nayla adalah kenapa rumah ini keliatan sepi sekali?

"Ini beneran tempat tinggal lo?" Nayra menganggukkan kepala nya.

"Lo tinggal disini sendirian?" Tanya Nayla diangguki lagi oleh Nayra.

"Iya, soalnya ayah gak tinggal disini. Ayah tinggal bersama bunda." Nayla membelalakkan mata nya tak percaya. Bukan karena mendengar ayahnya telah menikah lagi, dia cuma tak habis pikir kenapa Nayra harus tinggal di rumah sebesar ini padahal dia hanya seorang diri disini. "Lo gak tinggal bareng keluarga lo?" Nayra menggeleng, dia punya alasan mengapa tidak tinggal bersama keluarga barunya itu.

"Sebenarnya ini semua aku yang mau. Aku ingin hidup mandiri, lagipula rumah ini lebih dekat dengan sekolah." Jelas Nayra mungkin saat lulus nanti dia baru akan tinggal dengan keluarganya.

"Yakin cuma itu alasannya?" Tanya Nayla tak percaya, "Jangan-jangan ayah gak peduli sama lo, makanya lo tinggal sendiri disini." Oceh Nayla, dia sebenarnya agak tidak suka dengan ayahnya, sebab perceraian ayah dan ibunya itu membuat dirinya merasa telah dilupakan oleh ayahnya sendiri.

"Ayah sangat peduli dengan kita, Nayla. Hanya saja caranya yang salah." Ujar Nayra dia sangat yakin bahwa ayahnya itu sangat peduli dengan anak-anaknya.

Nayla memutar bola malas matanya, " Terserah lo deh, sekarang bisa lo tunjukin dimana kamar gue?" Tanyanya.

"Tentu saja." Nayra membawa Nayla kesebuah kamar yang berhadapan langsung dengan kamarnya. "Ini kamar kamu. Kamu pasti capek—" Perkataan Nayra terpotong,

"Tuh tau." Celetuk Nayla berhasil membuat Nayra terkekeh.

"Kalau begitu kamu bisa tidur dikamar sekarang, kita lanjut ngobrol besok. selamat tidur, Nayla." Pamit Nayra lalu memasuki kamarnya. Dia berharap hari esok tiba dengan cepat, sebab banyak sekali yang ingin dia tanyakan kepada kembaran nya, Nayla.

 Dia berharap hari esok tiba dengan cepat, sebab banyak sekali yang ingin dia tanyakan kepada kembaran nya, Nayla

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


NAYLARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang