Lorong gelap dekat pembuangan sampah kumuh itu aku menetap. Tempat aku tidur melepas kantuk dan menahan rasa lapar. Angin malam teramat dingin. Kini tubuhku menggigil. Perut kosong membuatku mual. Beberapa hari ini aku tak makan. Kegiatanku hanyalah meringkuk tidur. Seperti inilah nasibku. Terbuang dan terabaikan. Yang akan abadi sepanjang massa.
Pagi hari nan cerah. Tubuhku terasa kaku. Akibat angin malam yang menerpa sekujur tubuhku. Hari ini ku langkahkan empat kakiku mencari makan. Ku berjalan entah kemana aku tak tahu. Yang terpenting aku bisa mendapatkan ikan atau daging sisa. Untuk mengenyangkan perutku.
Tubuh ini sudah tak terurus lagi. Kurus dan memprihatinkan. Terkadang, aku diusir setiap kali aku mengeong meminta makanan. Aku rasanya tak tahan lagi untuk hidup.
Kini aku berada di sebuah pasar yang ramai. Di kedai sederhana, aku mencium aroma ayam bakar. Perutku terus memberontak. Ku duduk dekat tenda kedai. Mengharap sisa daging ayam yang terbuang. Perutku sangat mual. Ku tak tahan lagi akan rasa lapar. Aku harap, aku bisa makan hari ini.
Namun, nahas harapanku. Aku duduk berjam-jam. Aku mengeong mengharap belas kasihan. Tak ada daging sisa terbuang untukku makan. Aku sudah tak tahan. Terpaksa aku diam-diam mengambil ayam bakar di atas panggangan. Yap! Ku berhasil. Ku berlari secepat mungkin. Menjauh dari manusia yang mengejarku. Menyantap ayam bakar yang sejak tadi kutunggu-tunggu.
Syukurlah. Rasa laparku sedikit menghilang. Ku langkahkan empat kakiku. Berjalan menyusuri jalanan becek. Sreet! Tiba-tiba sebuah mobil besar melaju kencang. Cipratan lumpur mengenai buluku. Seperti inilah nasibku. Sejak terbuang oleh ayah tuanku.
Ku rindu seorang gadis kecil. Yang merawat aku dari masih bayi. Aku rindu saat kami bermain bersama. Ku rindu saat aku membangunkan ia untuk berangkat ke sekolah. Aku rindu menyapanya saat ia pulang sekolah. Aku rindu semua itu. Tetapi, ayahnya malah membuangku. Akibat aku mengotori kertas-kertas di atas meja miliknya. Ayahnya marah besar dan membuangku ke lorong dekat pembuangan sampah. Tempat saat ini aku tinggali.
Setiap malam aku sering duduk di depan gerbang rumah si gadis kecil tuanku. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Sudah lama aku tak melihat wajahnya. Aku sungguh rindu dengannya. Aku masih ingat disaat ia menangis melihat aku dibuang oleh ayahnya. Aku tak ingin berpisah olehnya. Karena aku takut hidup di luar sana. Menghadapi segala macam hal yang mengerikan, seperti tak makan beberapa hari.
Aku hanyalah kucing kecil. Aku tak tahu siapa ibuku. Tak tahu dimana ibuku sekarang. Yang aku ingat ada seorang gadis kecil yang memungutku dari kardus di dekat toko. Sungguh baik sekali hatinya. Aku sungguh beruntung karena pernah menjadi teman baginya. Ia selalu terhibur oleh tingkahku yang menurutnya gemas. Bulu putih yang selalu ia jaga. Kini sudah sedikit berdebu. Karena selama aku hidup di lorong itu, aku jarang mandi. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku bisa bertahan hidup.
Malam haripun tiba. Rintik-rintik air hujan turun. Yang lama-kelamaan menjadi deras. Ku tepikan langkah kakiku ke teras toko. Cipratan air hujan mengenaiku. Aku takut air. Apalagi air hujan. Mataku mulai mengantuk. Aku lelah hari ini. Ku pejamkan mataku. Tiba-tiba seorang pria gemuk mengusirku. Membawa sapu panjang ditangannya. Aku terpelonjak kaget. Hari sedang hujan. Terpaksa aku berlari dari toko itu melewati derasnya hujan. Saat aku berlari, sebuah mobil melaju kencang mengarah kepadaku. Aku kaget dan tak sengaja kakiku lecet. Aku berjalan terpincang-pincang. Ku tepikan diriku di depan toko yang sudah tutup. Menahan derita hidup yang aku jalani saat ini.
Ku pejamkan mata. Karena hawa kantuk yang tak tertahan. Aku tertidur pulas. Aku berharap tak ada yang menganggu tidurku. Aku hanya ingin tertidur tenang. Tanpa diganggu manusia.
“Meoongggg….” tiba-tiba aku terbangun. Mendengar suara mengeong. Seekor kucing besar berwarna hitam dengan mata menyala. Melihat tajam ke arahku. Saat ini aku sangat takut. Takut jika ia melukaiku. Kakiku berjalan mundur. Kemudian, kucing itu malah mencakar tubuhku. Aku berusaha untuk melawan. Ya! Ini hal pertama kali aku berkelahi. Sebelumnya aku tak pernah seperti ini. Entahlah yang terjadi dengan diriku. Aku bukan lagi kucing peliharaan, melainkan sudah menjadi kucing liar jalanan.
Hawa dingin memang sudah terbiasa terjadi. Apalagi saat malam. Aku berjalan dengan kaki pincang akibat perkelahian dengan kucing liar tadi. Aku menuju lorong kumuh tempat aku tinggal. Untuk mengistirahatkan tubuhku yang sudah remuk. Betapa kejamnya dunia ini. Kami membutuhkan kasih sayang, ingin dilindungi dan dikasihi. Andaikan aku adalah manusia, aku akan merawat ribuan kucing yang terlantar di jalanan. Karena aku tahu rasanya hidup mengharapkan belas kasihan, terbuang, dan tak makan beberapa hari. Aku harap keajaiban datang esok pagi. Saat aku terbangun nanti, aku adalah manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati Yang Tak Terdengar [KISAH CERPEN]
Short StoryJika hanya suara hati manusia saja yang dapat terdengar, bagaimana dengan mereka yang bukan manusia ?