1. Matahari Senin

8 1 0
                                    

Senin itu momok mengerikan bagi setiap siswa, pergantian dari minggu yang nyaman ke hari senin yang menyebalkan. Anehnya setiap hari senin tuh ga pernah turun hujan alias selalu cerah menyilaukan.
Bagi anak penyembah kebo alias susah bangun pagi seperti Kafka, butuh 4 orang abang-abangnya untuk turun tangan dalam hal membangunkan si bungsu untuk sekolah.
Seperti saat ini, Agus sibuk membangunkan Kafka yang masih setia berada di atas tempat tidurnya, Agus sudah lelah karna hampir dua puluh menit, Kafka masih belum bergerak. Sedangkan ia sendiri juga harus berangkat kerja pagi-pagi. Akhirnya Agus memutuskan untuk kembali ke dapur membantu abang tertuanya memasak sarapan untuk mereka.
Hamdan dan Rapmon juga ikut membantu menata meja makan, Satya sudah meletakkan makanan diatas meja, adik-adiknya sudah duduk dengan tenang. Tapi ia merasa masih ada yang kurang, ternyata si bungsu belum juga beranjak dari kamarnya.
Satya selalu mempunyai cara untuk membangunkan Kafka. Lelaki itu bergegas pergi ke kamar Kafka, dilihatnya adik lelakinya masih tidur tanpa menggunakan baju dengan mulut terbuka.
"Bangun atau uang jajan lo gue potong sampe 50%", Satya membisikkan kalimat itu ke kuping Kafka. Kafka bergerak, membuka mata, duduk lalu langsung masuk ke kamar mandi tanpa aba-aba. Satya menggelengkan kepala,
"Denger kata duit aja langsung melek lo."
Kafka bergabung ke meja makan 10 menit kemudian, ikut makan bersama abang-abangnya.
"Tidur jam berapa kamu tadi malam?", tanya Agus, abang kedua Kafka yang mempunya kulit paling putih diantara mereka.
"Jam 3." Kafka kembali memakan nasi gorengnya, tidak berani menatap abangnya yang paling cuek itu.
"Kan gue udah bilang, begadang tuh ga baik buat kesehatan." Kata Rapmon, pemuda itu merupakan yang terpintar diantara mereka berlima, wajar aja keterima di fakultas kedokteran universitas terkemuka di kota mereka.
"Dih, kaya lo ga begadang aja. Gue keluar kamar lo masih nugas di depan tipi." Hamdan menimpali, abangnya Kafka yang satu ini paling suka nyengir, apa-apa nyengir, pokoknya hobinya nyengir deh. Hamdan beda setaun doang dari Rapmon, mereka kuliah di kampus yang sama, bedanya Hamdan kuliah di Jurusan Perternakan.
"Gus, nanti lo yang nganter Kafka ya? Gue ada temu client pagi ini takut ga keburu." Seru Satya sambil mengangkat piring-piring kotor kembali ke dapur, jam dinding udah menunjukkan pukul 7 lewat, ia harus segera bersiap-siap.
"Gausah Bang, aku dijemput sama Ravi nanti." Jawab Kafka sambil merapikan seragam sekolah dan tasnya. Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor di luar rumah mereka, petanda Ravi udah datang.
"Aku pergi dulu ya abang-abangkuu!" Seru Kafka, tapi belum lagi dia keluar rumah, Satya sudah berteriak,
"Bekal kamu jangan lupa udah abang siapin."
"Makasih Abang", Kafka memeluk abangnya sekilas sambil tersenyum. Hal yang selalu bikin hatinya menghangat, abangnya ga pernah lupa buat bikini bekal makanan mereka, padahal dia tau Bang Satya juga sibuk.
"Dasinya dibenerin dulu Ka" ,Agus menimpali, Kafka langsung memberi tanda oke sambil nyengir lebar.
Setelah menyalam abang-abangnya dan pamit, Kafka segera berlari ke luar rumah, menghampiri Ravi yang udah nunggu dengan wajah kaya mangga muda, asem bener.
"Mpiiii", teriak Kafka ke arah sahabatnya, yang dipanggil hanya melengos malas, Kafka langsung naik ke atas motor vario hitam tersebut.
"Lama", ujar Ravi jengkel.
Kafka menggetok helm Ravi dari belakang, ikut jengkel.
"Lama darimana sih anjritos, lo nunggu baru dua menit ye."
"Dua menit gue itu berharga ye." Ravi nyaut dari balik helm yang ia pakai.
"Haa?"
"Apanya haa?"
"Lo ngomong apa gue ga denger?"
"Dua menit gue berhargaa??!!"
"Haaaaaa?"
"Budeeeg lo ya?!"
"Haaaaaaaa?"
Ravi mengegas motornya kencang, kesal. Dibelakang Kafka tertawa dengan kencang, dia dengar tapi sengaja ha ho ha ho, ngeliat Ravi kesel tuh emang hobinya dari dulu!

***
Sesampainya di sekolah, mereka menemukan Jimmi yang juga baru datang. Jimmi berlari ke arah Ravi dan Kafka dengan senyum cerah dan matanya yang hampir gaada kalo dia lagi senyum.

"Aaaa temen-temenku", Jimmi merangkul Ravi dan Kafka dengan dia yang berada di tengah, cowok itu terlihat mungil kalo disandingkan dengan Kafka dan Ravi.

Kopi dan SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang