Chapter 1.

35 10 1
                                    


•••

Suara alarm dari handpone nya membuat sang empu terusik. Dengan rasa kantuk yang masih menguasai, dirinya menggapai handpone yang menimbulkan suara bising.

Sunyi. Setelah alarm di matikan keadaan kamar nya menjadi senyap. Tak ambil pusing, gadis tersebut mengambil handuk biru langit miliknya, lalu ia melangkah menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya.

Air hangat yang mengenai tubuhnya membuat seluruh nyawa nya terkumpul dengan cepat.

Terdengar dari luar jika ada seseorang yang membuka pintu kamar sembari meneriaki namanya. Dia sudah tau jika itu adalah ulah sang Kakak yang diperintah oleh sang Bunda.

"Regina!" Regina Meylani Putriyanka. Itu adalah nama lengkapnya. Ia biasa dipanggil Gina oleh orang-orang.

"Apa, Kak?" balas Regina setelah ia menutup pintu kamar mandi.

"Sarapan. Cepet pake baju sekolahnya, terus turun ya!" ujar sang Kakak, Syila Fresya Putriyanka.

"Iya, Kak." Regina anak kedua dari dua bersaudara. Memiliki satu Kakak perempuan cukup menyenangkan. Tapi, akan lebih menyenangkan jika ada Kakak laki-laki. Pikirnya.

Regina melihat pantulan dirinya di cermin, ia membenahkan dasi yang tergantung pada kerah baju nya. Setelah semua rapi, ia mulai melangkahkan kaki menuju ruangan makan, tepat di bawah kamarnya.

"PR sudah semua?" tanya Mira, sang Bunda ketika melihat anak bungsu nya turun.

"Udah kok Bun."

"Bagus." selang beberapa menit, sarapan telah usai. Regina berpamitan pada Mira dengan cara mencium punggung tangan Mira dan mengucap salam. Itu diikuti oleh Syila yang akan pergi ke kampusnya.

•••

Motor yang dikendarai oleh gadis berambut hitam pekat sebahu itu tengah dilanda kebingungan. Tempat parkiran sekolah nya penuh, ia jadi bingung untuk memarkirkan motor nya ini.

"Woii!" teriakan itu tak terdengar oleh indra pendengarannya. Tapi ekor matanya menangkap sosok lelaki yang berteriak padanya sambil melambaikan tangan.

Regina memberi isyarat lewat alisnya. Tentu saja lelaki tersebut mengerti.

"Lo cari tempat parkir, kan? Ini, samping motor gue." ucapnya. Regina mengangguk lalu kembali mengendarai motor nya ke arah lelaki tersebut.

Setelah selesai. Regina tersenyum hangat pada sosok lelaki tadi. Lelaki tersebut membalasnya.

"Makasih ya."

"Iya. Gue duluan ya."

"Iya, silahkan." selanjutnya, Regina menghela napas ketika suara dingin dari seorang gadis di sampingnya. Sahabatnya ini memang hobi membuat dirinya terkejut tiba-tiba.

"Siapa tadi?" hanya dua kata namun membut hawa disekitar menjadi tidak enak.

"Gak tau. Baru ketemu tadi." mata tajam dari gadis yang bertanya tadi menatap Regina dengan nyalang. Itu yang selalu Regina waspadai jika sedang dekat dengan Sahila Anindya.

"Lo baru ketemu tadi? Dan sikap lo se-imut tadi?" baiklah, Regina mengerti kenapa tatapan Sahila berubah menjadi nyalang tadi. Sahila orangnya agak dingin, sedikit sih. Agak tomboy juga. Kalau liat Regina komunikasi sama orang yang gak di kenal. Biasanya Sahila suka marah-marah gak jelas. Alasannya karna Sahila memiliki trauma berat. Cerita dikit. Dulu, sahabat kecil Sahila di culik karna berkomunikasi dengan perempuan tak dikenal. Hingga ketika sahabat kecilnya itu ditemukan, keadannya hampir membuat nyawa melayang. Hingga sosoknya memang pulang ketika sudah dibawa ke ruang UGD. Perempuan yang menculik sahabat kecil Sahila itu ternyata mengalami gangguan jiwa.

"Aku gak imut kok. Cuma ngucapin terima kasih aja, salah emang?"

"Enggak. Udah lupain." tubuh Sahila sudah beranjak dari area parkir. Regina mengikuti dari belakang.

"Gue ingetin sekali lagi. Jangan komunikasi sama orang yang lo gak kenal." ucap Sahila.

"Tapi dia tadi baik kok, La." jawab Regina yang mengejar langkah Sahila yang beda tiga langkah darinya.

"Awalnya emang suka baik. Tapi akhirnya selalu munafik." Regina menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal dibarengi dengan berhentinya langkah. Sahila ikut menghentikkan langkahnya.

"Kok Hila jadi curigaan?"

"Gue bukan curigaan. Tapi itu fakta yang pernah gue alamin." yang awal tubuhnya menghadap Regina. Kini ia hempaskan tubuhnya dengan lembut ke lawan arah untuk kembali melangkah.

Rambut panjang yang ia kuncir satu sedikit mengenai wajah Regina. Dengusan kecil terdengar di indra pendengarannya.

"Cepet."tidak ingin diseret Sahila seperti waktu itu. Regina kembali mengikuti Sahila ke kelas.

•••

Sebuah bola berwarna orange yang terhempas kesana kemari membuat sebagian insan yang ada di dekat bola tersebut melangkah untuk mengikuti dan memasukannya ke dalam ring.

Namun, keadaan sekolah mendadak hening ketika seorang gadis yang tak sengaja melempar bola itu ke arah area kelas dan memecahkan kaca. Untung saja, tidak ada orang yang menjadi korban pecahan kaca.

"Reginaa!" teriak seorang Wanita paruh baya yang dikenal sebagai guru Sejarah.

"Eh. Ibu, hehe. Maaf yaa." ucapnya disertai dengan cengiran khas.

"Sini kamu!" dengan pasrah. Regina terpaksa menggerakkan kakinya ke arah guru Sejarah itu.

"Seharusnya kamu bermain dengan hati-hati. Sebagai hukuman, kamu bersihkan kedua lapang sekolah ini. Saya waktu, jam istirahat kedua harus sudah selesai. Mengerti?"

"Iya Bu." banyak segerombolan insan yang mendatanginya dan mengucap kan kata semangat. Termasuk Pak Rehan yang baik hati memberikan waktu istirahat sebelum memulai aktivitas yang diperintahkan oleh Bu Vita, guru Sejarah tadi.

•••

Botol mineral yang disodorkan oleh tangan berkulit putih membuat Regina menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat sosok tersebut.

"Eh?"

"Iya. Ini, buat lo. Lo capek, 'kan?" dia adalah lelaki yang memberi tau tempat parkir tadi.

Sang lelaki tersebut mengulurkan tangannya dengan berkata pada umumnya yang memperkenalkan diri.

"Gue Alif Aliansyah Sajagat." Regina menerima uluran tangannya. Dan membalas perkenalan tersebut.

"Namaku, Regina Meylani Putriyanka."

"Oke. Semangat Regina!" jantung Regina rasanya sedang lomba lari.

"Minum dulu atuh." ucapan Alif membuat Regina mengerjapkan matanya.

"Ini buat Gina?"

"Iyalah. Tadi kan gue beli buat lo."

"Makasih banyak ya, Alif." setelah mengucapkan hal itu. Regina meneguk air mineral hingga tersisa setengah.

"Sini. Gue bantuin. Lo istirahat aja dulu." Alif mengambil sapu lidi yang digenggam oleh Regina.

"Gak usah. Ini tugas aku."

"Gak papa kali. Sini, gue bantu. Lo istirahat aja dulu." rasa pegal yang datang di tangannya membuat ia dngan ikhlas menyerahkan pada Alif yang memang bersedia membantu nya.

"Jarang banget ada cowok kayak Alif." ucap Regina dalam hati sambil memandang tubuh Alif yang sedang berjongkok karna mengambil daun kering yang berserakan.

Tak enak hati, jika Alif yang mengerjakan hukumannya. Regina mulai kembali melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Bu Vita.

•••

Apa kesan pertama di part 1 ini?

Selamat membaca part selanjutnya^^.



DILEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang