====
Euforia itu datang lagi, sedetik kemudian melipur lara yang mengendap bersama masa untuk berjalan tanpa pernah berhenti. Tapak kaki ini harus menyusuri jalan yang berbeda, untuk bisa merasakan hal berbeda di setiap inchi petualangan hidup. Katanya, diperlukan perubahan untuk hasil yang berbeda. Maka setidaknya, raga dan jiwa ini harus bisa menerima hal baru sebagai sebuah kenikmatan. Karena tanpa kenikmatan itu, maka akan berhenti di tengah jalan. Layaknya jalan dengan berbagai hambatan, lampu lalu lintas yang berwarna merah, kemacetan, bebatuan, dan lain sebagainya.
Seorang gadis dengan hijab putih instan itu terduduk di atas ranjang dengan kedua nakas di samping kirinya. Perbedaannya dengan kemarin adalah, jika kemarin ruangan yang ditempatinya penuh dengan nuansa putih, maka sekarang tidak. Tempat yang ditempatinya kini bahkan terdapat meja belajar, lemari, kamar mandi dalam, dan lain-lain sebagaimana kamar mestinya.
Sejak 2 jam yang lalu, pandangannya masih tertuju dengan benda pipih itu. Selain itu, raut wajahnya juga menampakkan senyum yang tiada hentinya dengan sesekali menjerit dan meloncat-loncat diatas kasur. Gadis itu juga berulang kali mengucapkan kalimat hamdalah dan sujud syukur. Tanpa ia sadari, teriakannya itu membuat orang-orang yang berada di lantai bawah terburu-buru menuju kamarnya untuk mengecek apa yang telah terjadi.
"Kara, ada apa? Om denger kamu teriak-teriak." Reno melangkah mendekat dengan Melisa. Mereka seolah khawatir terjadi apa-apa pada Kara.
"Lihat ini om!" Kara menunjukkan email yang menyatakan bahwa dirinya diterima masuk di salah satu universitas impiannya. Bagian paling mengejutkannya adalah, universitas tersebut masuk dalam jajaran universitas terbaik tingkat dunia.
"Universitas Columbia?" Melisa merebut HP itu dari Kara demi melihat lebih jelas apa yang sudah dilihatnya.
"Iya! Aku nggak mungkin bohong Tan," ujar Kara meyakinkan wanita beranak satu itu.
"Serius kamu, Kar?" tanya Om Reno memastikan. Kara mengangguk sekali lagi dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Sejurus kemudian, Om Reno keluar dari kamar Kara, dia berteriak, "KARA! KARA DITERIMA DI UNIVERSITAS COLUMBIA!"
Seluruh penghuni rumah berhamburan menuju kamar Kara. Ada ibu yang meninggalkan masakannya, Bi inem dengan sayuran yang masih digenggamnya, Pak Suprio yang juga meninggalkan mobil yang dicucinya. Selain itu, masih banyak lagi yang jika disebutkan akan menghabiskan banyak kata-kata.
"Yang benar Kar?" tanya ibu.
Gadis itu mengangguk seraya tersenyum dan mengiyakan. Jika bukan karena doa ibu yang selalu meminta di sepertiga malam, maka impian Kara tidak akan terkabul. Lagipula, segala sesuatu sudah ada yang mengatur, entah itu dengan skenario yang sama dengan yang diimpikan atau mungkin berbeda. Jika skenario itu tidak sama dengan kisah yang telah dirancang, maka pasti ada kisah baru yang lebih baik dari kisah yang telah dirancang sebelumnya.
Ibu berjalan mendekat, dia menangis. Dengan sigap, Kara menghapus air mata itu, ia tidak pernah menginginkan ibunya menangis ataupun sedih sedikitpun. Melihatnya menangis, Kara jadi ikut menangis, sebelum kata-kata itu muncul dan sedikit menenangkannya.
"Jangan nangis, ibu cuma terharu, akhirnya apa yang kamu impikan tercapai. Belajar yang rajin ya, banyak orang diluar sana yang tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan kamu, nak. Jangan lupa bersyukur," ujar wanita paruh baya itu dengan parau.
Kara mengangguk dan tersenyum kepada ibunya--lagi.
Tahu rasanya ketika apa yang diimpikan tercapai? Agaknya seperti itulah apa yang terjadi saat ini, ada tawa dan air mata. Bukan air mata duka, namun air mata kebahagiaan.
Allah, rencana-Mu sungguh diluar kepala.
===
Dua anak manusia itu masih di sana, berada di tempat yang sama, walau petang harusnya tak datang terlalu cepat. Keduanya terduduk diatas pasir pantai, menyaksikan senja yang akan membawa malam datang kemudian menghilangkan rona merah di cakrawala.
Sepertinya memang benar, laki-laki dan perempuan tidak pernah benar-benar bersahabat. Diantara mereka pasti ada sesuatu yang tumbuh, kemudian mendekatkan keduanya atau justru menjauhkan. Antara salah satunya pasti ada yang mencintai, atau mungkin keduanya sama-sama mencintai.
Dua anak manusia itu, masih dini untuk merasakannya. Harusnya, mereka tidak pernah bertemu. Harusnya, mereka tidak pernah tertawa bersama dan saling merasakan. Jika itu tidak pernah terjadi, maka sudah pasti, mereka tidak akan terlibat dengan rasa yang kini berbelit di hati dan pikiran. Pada akhirnya, harusnya mereka juga sadar, bahwa menyesal tidak akan mengubah apapun.
"Banyak orang yang menantikan masa depannya, tapi ia lupa kalau hari ini adalah masa depan dari masa lalunya. Yang ketika dulu banyak sekali yang diinginkannya, dan sekarang beberapa darinya telah tercapai, namun ia memilih untuk menantikan masa depan yang belum terlaksana. Lalu, ketika dia sudah meraih masa depan yang diimpikannya, dia kembali menyusun rencana baru atau mungkin daftar impian yang ingin diraihnya--lagi. Manusia itu gak pernah puas, Van." Laki-laki itu menoleh ke arah kiri, tepat ke arah perempuan yang kini sedang menatap ke depan.
"Sok puitis banget," cibir perempuan itu.
"Faktanya, memang begitu."
"Ada orang yang gak begitu, Fan."
Agak aneh memang mendengar percakapan keduanya, mereka bahkan masih SMP namun bahasa yang digunakan terlalu dalam untuk menyatakan kata-kata penuh makna itu.
Tapi kata-kata itu memang benar, manusia memang tidak pernah puas.
Perempuan itu, kini jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Dengan atau tanpa laki-laki yang pernah menemani hampir setiap harinya dengan hal berharga dari kata yang keluar dari mulutnya. Untuk tidak lagi berharap, pada tempat yang salah. Karena ia sekarang tahu, dimana seharusnya harapan itu digantungkan.
Ketika dua anak manusia itu dipertemukan lagi, harusnya mereka sudah tidak saling mencintai karena salah satunya telah menghapus harapan semu yang pernah berkabung di hati dan pikirannya.
TBC
Saya gak tau lagi nulis apa🙂
"Sebaik-baik bacaan adalah Al Qur'an"
"Ambil baiknya buang buruknya"
-Fbryna20
2842k21
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Cerita Di New York
Подростковая литератураKara dan Elfan, dua insan yang dulu pernah saling mencinta, yang pernah berjanji bahwa kelak akan bersama, merangkai sebuah alur yang menetap pada skenario cerita. Sayangnya, itu hanyalah sebuah angan, kenyataan mengembalikan ekspektasi yang berkemb...